Pencarian

Selasa, 16 April 2013

Menggali Pemikiran Cak Nur

IDENTITAS BUKU: Judul: Satu Menit Pencerahan Nurcholish Madjid | Penulis: Budhy Munawar-Rachman, Elza Peldi Taher | Penerbit: IIMA.

REVIEW: Nurcholish Madjid mustahil dipisahkan dari pembicaraan tentang Islam di Indonesia, bahkan tentang Indonesia secara keseluruhan. Ia salah seorang anak bangsa yang terbesar, dengan kontribusi yang tak kalah besarnya. Bukan saja karena dalam dirinya terkandung banyak unsur sejati kebangsaan Indonesia, tetapi juga karena padanya pulalah unsur-unsur itu mendapatkan pencapaiannya yang amat tinggi. Semuanya itu ia abdikan bukan bagi kepentingan kelompoknya, tapi bangsa dan negara secara keseluruhan.

Nurcholish adalah contoh par excellence bagi wajah kaum Muslim santri, kelompok terbesar rakyat Indonesia. Dimulai dengan “proyek pembaruan pemikiran” pada awal tahun ’70-an, memprakarsai pendidikan kultural bagi pembentukan kelas menengah
kota yang lebih religius, hingga ikut mendorong demokratisasi di Indonesia. Nurcholish terus-menerus membakar bara transformasi dalam tubuh bangsa ini. 

Buku ini merekam berbagai aspek pemikiran Nurcholish Madjid. Sebagian berasal dari Twitter @fileCaknur, sebagian lainnya berasal dari kutipan-kutipan asli pemikiran Nurcholish Madjid. Buku ini menyajikan pemikiran keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan Nurcholish Madjid dalam bentuk yang populer, sehingga bisa diakses oleh banyak pihak yang tertarik pada pemikiran Islam Nurcholish Madjid yang mempunyai visi membangun Indonesia yang berkeadilan, terbuka, dan demokratis. [Sumber: www.mizan.com]

Demokrasi Islam, Mungkinkah?



IDENTITAS BUKU: Penulis: Idris Thaha; Judul Buku: Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais; Editor: Taufiq; Desain Sampul: Yudiarto Iskandar; Tata Letak: Qomar NS; Penerbit: Penerbit Teraju, PT Mizan Publika; Cetakan Pertama: Februari 2005; Jumlah Halaman: xxi + 356; Ukuran Buku: 14 x 20 cm.

REVIEW: Buku ini berusaha menggali pemikiran dua tokoh besar Islam di Indonesia, yakni Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, mengenai hubungan antara Islam dan demokrasi di Indonesia. Pembahasan ini tentu tidak terlepas dari tiga variabel penting yang saling berkaitan, yakni Islam, demokrasi, dan Indonesia. Mengenai kaitan antara dua variabel pertama—Islam dan demokrasi—telah banyak melahirkan diskursus dan perdebatan di kalangan para ulama dan intelektual Muslim di seluruh dunia. Di antara kelompok Muslim ada yang menerima demokrasi, ada pula yang menolaknya, serta ada yang menerima dengan beberapa catatan. Sedangkan dalam konteks Indonesia, ketiga model hubungan tersebut—menerima, menolak, dan menerima dengan catatan—juga sama-sama hidup dan berkembang. Dalam konteks inilah penulis buku ini merasa curious untuk mengetahui di manakah posisi Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais di antara ketiga model tersebut. Bagaimanakah pemikiran dan pandangan kedua tokoh ini mengenai Islam dan demokrasi dalam kaitannya dengan praktik kehidupan politik bangsa Indonesia, tempat mereka hidup dan tinggal. Melalui buku inilah penulis berusaha mengemukakan jawaban-jawabannya.

Penulis membagi buku ini ke dalam enam bab. Bab pertama adalah pembukaan yang berisi pengantar menuju wacana. Bab kedua membahas tentang demokrasi dan sistem Syura dalam Islam. Selanjutnya, dalam bab ketiga penulis menyajikan pembahasan mengenai biografi pemikiran dan aksi politik kedua tokoh. Bab keempat membahas praktik demokrasi di Indonesia, serta pandangan kedua tokoh terhadapnya. Pada bab kelima penulis menjelaskan pemikiran politik kedua tokoh mengenai Islam dan demokrasi. Bab terakhir adalah kesimpulan. Dalam bab ini penulis menyajikan pemikiran kedua tokoh mengenai apa yang disebutnya sebagai “demokrasi religius” ala Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais yang patut diterapkan dalam kehidupan politik-pemerintahan bangsa Indonesia.

Terkait dengan demokrasi, penulis menjelaskan bahwa sebenarnya sistem ini, baik pemikiran teoretis maupun praktiknya, telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Tokoh-tokoh demokrasi Yunani Kuno yang dikenal dalam dunia pemikiran politik kala itu antara lain adalah Solon (638-558 SM), Kleitheus, Periclus (490-429 SM), dan Demosthenes (383-322 SM). Lebih jauh, praktik kehidupan politik-pemerintahan pada masa itu juga telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Pada masa pemerintahan Periclus misalnya, semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, terlibat dalam merumuskan kebijakan publik, serta jaminan akan kebebasan berbicara bagi seluruh rakyat (hlm. 20).

Kemudian pada abad-abad pertengahan, pemikiran dan praktik demokrasi juga mulai masuk dan berkembang di negara-negara Eropa. Ini tidak terlepas dari dua peristiwa penting yang terjadi kala itu, yakni Renaissance (1350-1600) dan Gerakan Reformasi (1500-1650). Renaissance merupakan aliran yang berusaha menghidupkan kembali minat kepada kesusasteraan dan kebudayaan Yunani Kuno. Sedangkan Reformasi adalah aliran yang menyerukan kebebasan beragama dan pemisahan yang tegas antara kekuasaan agama (Gereja) dan Negara. Kedua aliran inilah yang mengantarkan Eropa Barat kepada masa Aufklarung (Abad Pemikiran), liberalisme, serta rasionalisme pada tahun 1650-1800. Lahirlah pada masa-masa ini tokoh-tokoh demokrasi seperti John Lucke, Baron de Montesquieu, dan Jean Jacques Rosseau. Montesquieu adalah pencetus pemikiran Trias Politica, yaitu pemisahaan kekuasaan secara tegas antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Meskipun para ahli berbeda pendapat mengenai definisi demokrasi, namun penulis mengemukakan bahwa ciri khas yang paling fundamental dalam demokrasi adalah keterlibatan warga negara dalam pengambilan keputusan politik. Sedangkan prasyarat yang harus ada sebagai indikator penerapan demokrasi secara empirik adalah: akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekrutmen politik secara terbuka, pemilihan umum, serta jaminan hak-hak dasar bagi seluruh warga negara (hlm. 33).

Jika Barat mempunyai demokrasi, maka Islam juga mempunyai Syura yang dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan demokrasi. Syura (musyawarah) dalam Islam merupakan mekanisme untuk mengambil keputusan atau kebijakan yang terbaik dengan cara mempertimbangkan saran-saran yang ada, serta melibatkan komponen-komponen yang terdapat dalam masyarakat. Syura berasal dari tradisi Arab pra-Islam yang kemudian dilestarikan oleh Islam dengan beberapa perubahan, termasuk landasan teologisnya. Kemudian, sistem ini dipraktikkan oleh Rasulullah dan para Khulafa’ al-Rasyidin pengganti beliau terkait dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan pengelolaan pemerintahan. Landasan hukum dari Syura adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Karena banyaknya manfaat yang terkandung dalam Syura,  penulis berpendapat bahwa pelakanaan Syura merupakan kewajiban bagi setiap manusia, terutama bagi para pemimpin (hlm. 37-38).

Seiring dengan masuknya pemikiran dan budaya Barat ke negara-negara Muslim, maka pemikiran dalam bidang politik-pemerintahan berupa demokrasi juga turut masuk ke negara-negara yang berpenduduk Muslim tersebut. Dalam menyikapi demokrasi, para intelektual Muslim mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Kelompok pertama disebut penulis sebagai golongan ‘konservatif’, di mana mereka menolak keterpaduan antara Islam dan demokrasi. Kelompok kedua adalah golongan ‘liberal’, yang berpandangan bahwa Islam dan demokrasi memiliki keterkaitan yang erat dan berdampingan. Kelompok ketiga adalah golongan ‘moderat’, yang mencoba mencari titik temu antara kedua kelompok sebelumnya dengan mengemukakan adanya persamaan dan perbedaan antara Islam dan demokrasi. Terlepas dari perbedaan pendapat ketiga kelompok tersebut dengan segala argumentasinya, secara substansial demokrasi dan Islam memang memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan. Kesamaannya antara lain adalah: jaminan atas hak-hak dasar tertentu dalam perpolitikan, kedudukan yang sama di hadapan UU, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, keadilan sosial, d.l.l. Sedangkan perbedaannya terletak pada: konsep ‘bangsa’ dalam demokrasi dan konsep ‘ummah’ dalam Islam, tujuan akhir keduanya, serta pemegang otoritas kekuasaan tertinggi. Demikian dikutip oleh penulis dari Dhiya’ al-Din Rais (hlm. 50).

Dalam bab tiga, penulis membahas tentang sejarah hidup dan latar belakang pendidikan yang mendasari pemikiran dan aksi politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais. Nurcholish Madjid lahir dan beranjak remaja di kalangan tradisionalis. Dia pernah mengenyam pendidikan dasar di Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang, yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama (NU), selama beberapa tahun (hlm. 71). Ayahnya adalah seorang kyai ternama yang pada waktu belajar di Pesantren merupakan murid kesayangan K.H. Hasyim Asy’ari, sang pendiri NU. Meskipun demikian, Nurcholish Madjid juga mengenyam pendidikan modern, yakni di Pesantren Modern Gontor, Ponorogo. Pemahaman tentang nilai-nilai dan pemikiran-pemikiran modern juga didapatkan Nurcholish ketika studi di IAIN Jakarta, serta di University of Chichago, Illinois, A.S.  Latar keluarga dan pendidikan awal yang tradisionalis, serta pemahaman terhadap nilai-nilai modernitas di tingkat lanjut itulah yang membentuk karakter pemikiran Nurcholish Madjid mengenai keislaman dan modernitas.

Selain itu, Nurcholish Madjid juga memiliki sederet pengalaman yang panjang dalam mengelola organisasi, baik dalam ranah kemahasiswaan, intelektual-akademik, kemanusiaan, hingga politik. Bahkan dia pernah menjadi Ketua Umum PB HMI, sebuah organisasi kemahasiswaan yang cukup besar, pada tahun 1966-1970. Basis keilmuan dan intelektualitas yang kuat, serta pengalaman di pelbagai bidang organisasi mengantarkan Nurcholish Madjid untuk terjun di dunia politik. Pada tahun 2003 Nurcholish Madjid sempat mendeklarasikan diri sebagai bakal calon presiden pada Pilpres 2004. Namun, karena pertimbangan tertentu, akhirnya dia batal mengikuti Pilpres. Terkait dengan perpolitikan Indonesia, Nurcholish Madjid melandaskan pemikiran terhadap pengelolaan bangsa Indonesia atas paham pluralisme. Artinya, nilai-nilai positif pluralisme bangsa Indonesia seharusnya menumbuhkan sikap bersama yang sehat dalam kerangka kemajemukan itu sendiri, serta untuk mendukung pengayaan budaya bangsa (hlm. 104).

Berbeda dengan Nurcholish Madjid yang lahir dan beranjak remaja di lingkungan keagamaan yang tradisionalis, M. Amien Rais tumbuh dan berkembang dalam keluarga agamis yang modern. Orang tuanya yang Muhammadiyah tulen mengarahkan pendidikannya pada sekolah-sekolah agama yang berafiliasi kepada Muhammadiyah. Meskipun demikian, dia mendapatkan pendidikan tingginya di universitas-universitas umum, yakni S1 di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan pasca-sarjana di universitas-universitas di Amerika. Selain itu, Amien Rais juga aktif dalam organisasi Muhammadiyah, bahkan sempat menjadi ketua umumnya. Latar akademisi yang bagus dan pengalaman menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah tersebut akhirnya mengantarkannya terjun di dunia politik dengan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) pada tahun 1998. Pemikiran sosial-politik yang selalu ditekankan oleh Amien Rais adalah ajarannya mengenai ‘tauhid sosial’. Tauhid sosial ini berarti pembebasan yang radikal dari tirani dan kezaliman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (hlm. 137). Manusia dan umat yang tauhid-oriented, menurut Amien Rais, memikul kewajiban untuk menegakkan suatu order sosial yang adil dan etis. Ini semua didasari atas pandangan bahwa semua manusia pada hakekatnya diciptakan dalam kedudukan yang sama dan setara. Tak ada satu manusia pun yang lebih superior ataupun lebih inferior atas manusia lainnya.

Pada bab empat penulis mengelaborasi pasang-surut pelaksanaan demokrasi di Indonesia sejak kemerdekaan hingga masa reformasi. Dalam hal ini penulis membagi masa-masa demokrasi di Indonesia menjadi empat periode. Keempat peride itu adalah masa Demokrasi Parlementer (Januari 1950 s.d. Juli 1959), Demokrasi Terpimpin (Juli 1959 s.d. September 1965), Demokrasi Pancasila (Oktober 1965 s.d. Mei 1998), dan Demokrasi Transisi, yakni pasca-reformasi tahun 1998. Dalam keempat masa-masa reformasi tersebut penulis juga menjelaskan peran, partisipasi, dan tanggapan umat Islam atas kondisi pemerintahan tersebut. Misalnya masa Demokrasi Parlementer, Ketua MASYUMI kala itu, yakni M. Natsir, berjasa menyatukan Negara Indonesia dari RIS menjadi NKRI. Karena itulah M. Natsir diangkat menjadi Perdana Menteri pertama dalam sistem Demokrasi Parlementer (hlm. 161). Kemudian pada masa Demokrasi Pancasila yang dikendalikan oleh Pemerintah Orde Baru, penulis mengemukakan tiga bentuk interaksi antara pemerintah dengan umat Islam. Secara umum, umat Islam pada masa itu berada dalam posisi marginal. Partisipasi umat Islam dalam pengelolaan bangsa yang sangat intens pada awal-awal kemerdekaan, pada masa Orde Baru hampir sama sekali dibungkam. Setidaknya ini tampak dari kebijakan pemerintah yang enggan merehabilitasi MASYUMI. Praktis, umat Islam tak bisa mengakses panggung politik praktis dalam bentuk pendirian parpol Islam.

Pasca-tumbangnya Orde Baru, bangsa Indonesia—tak terkecuali umat Islam—mengalami euforia politik yang luar biasa. Tak pelak, partai-partai Islam banyak bermunculan begitu kran kebebasan politik dibuka. Namun pada Pemilu 1999 partai-partai Islam hanya memeroleh sedikit pendukung, masih kalah oleh parpol-parpol beraliran nasionalis-sekuler. Penulis mencatat, pada Pemilu 1999 partai Islam secara keseluruhan hanya meraih 17,7 % suara (hlm. 205). Meskipun demikian, koalisi partai-partai Islam kala itu berhasil mendudukkan wakilnya, K.H. Abdurrahman Wahid, menjadi Presiden RI.

Atas pasang-surut perkembangan demokrasi di Indonesia selama puluhan tahun tersebut, Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais menganggap bahwa itu semua merupakan sebuah trial and error untuk menciptakan bentuk pemerintahan yang ideal. Meskipun demikian, ada saatnya para pemimpin berbuat kesalahan. Misalnya Soekarno yang pada masa Demokrasi Terpimpin mengangkat dirinya sebagai Presiden kseumur hidup. Atau Soeharto yang pada masa Demokrasi Pancasila menyeragamkan kehidupan nasional, khususnya dalam bidang politik, di tengah kondisi bangsa Indonesia yang plural. Karena itu, Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais menilai bahwa uji coba demokrasi selama ini menemukan jalan buntu, bahkan mengalami kegagalan (hlm. 209).

Bertolak dari kegagalan uji coba demokrasi selama beberapa periode tersebut, Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais menawarkan beberapa gagasan, pemikiran, dan aksi politik mereka tentang demokrasi di Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim. Nurcholish Madjid mengajukan 10 platform politik pada tahun 2004 ketika dia bersiap mencalonkan diri sebagai Presiden RI pada Pilpres 2004. Sedangkan Amien Rais mengemukakan 10 kriteria demokrasi/ 10 harapan kepada Pemerintah yang diungkapkannya dalam pengantar sebuah buku yang terbit pada tahun 1986. Dalam buku ini, penulis merangkum gagasan-gagasan kedua tokoh ini menjadi 6 hal. Keenam pokok-pokok pemikiran itu adalah: melibatkan partisipasi rakyat, membuka kebebasan, menegakkan hukum, mewujudkan keadilan sosial, meningkatkan mutu pendidikan, dan menuju masyarakat madani.

Dalam bab penutup, penulis menguraikan sebuah konsep demokrasi yang dicetuskan oleh Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais dalam konteks bangsa Indonesia. Penulis menyebutnya dengan istilah ‘demokrasi religius’. Demokrasi Religius ini diartikan sebagai demokrasi yang sejalan dan mendapatkan rujukannya dari nilai-nilai agama Islam, khususnya tauhid (hlm. 314). Menurut Amien Rais, demokrasi dalam banyak hal telah sejalan dengan nilai-nilai keislaman, misalnya mengenai keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, toleransi, keterbukaan, dan kebebasan. Selain itu, menurut Nurcholish Madjid, Pancasila yang dimiliki bangsa Indonesia secara tidak langsung sebenarnya menyerap nilai-nilai yang ada dalam agama Islam. Sila pertama misalnya, bisa dilacak rujukannya dari ajaran Islam berupa tauhid. Menurutnya, sebagaimana dikutip dari M. Hatta, sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila utama yang menyinari dan menjadi dasar etis atas sila-sila lainnya. Dalam pandangan Nurcholish, sila ini merupakan manifestasi dari iman kepada Tuhan. Sedangkan empat sila lainnya merupakan perwujudan dari amal shalih kepada sesama manusia. [*]

Mengungkap Teori Sosiologi Modern

IDENTITAS BUKU: Penulis: Bernard Raho, SVD; Judul Buku: Teori Sosiologi Modern; Editor: John Wolor; Desain Cover: Sulitno Harahap; Setting: M. Fathur Rahman; Penerbit: Prestasi Pustaka Publisher; Cetakan Pertama: Desember 2007; Jumlah Halaman: ix + 214; Ukuran Buku: 14 x 20,5 cm.


REVIEW: Dalam masyarakat yang masih sederhana, orang berusaha untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di sekitarnya dengan menggunakan mitologi-mitologi atau kepercayaan tertentu. Namun pada masyarakat modern, mitologi tak mampu lagi menjelaskan fenomena-fenomena sosial tersebut. Dengan menggunakan cara berpikir rasional, orang berusaha menjelaskan kejadian-kejadian yang dialami manusia. Salah satu cara untuk menjelaskan fenomena-fenomena sosial tersebut adalah dengan berteori. Teori merupakan usaha untuk menjelaskan kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar kita dengan menggunakan daya nalar. Dalam konteks inilah buku ini hadir di hadapan pembaca. Buku ini memuat sejumlah teori sosiologi yang diharapkan dapat memberikan pencerahan dalam memahami fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita. Isi buku lebih banyak berhubungan dengan teori-teori sosiologi modern secara garis besar tanpa adanya diskursus secara mendetail. Dalam hal ini, pembahasan mengenai teori-teori sosiologi modern memusatkan analisa pada aliran-aliran sosiologi, dan bukan pada pemikiran tokoh-tokoh tertentu dalam ilmu sosiologi sebagaimana menjadi concern teori sosiologi klasik.

Terkait dengan kata “teori” penulis mendefinisikan sebagai satu kegiatan mental dan merupakan satu proses pengembangan ide-ide yang memungkinkan seorang ilmuwan dapat menjelaskan mengapa peristiwa atau hal tertentu bisa terjadi. Menurut penulis, sebagaimana dikutip dari Doyle van Johnson, teori dibangun atas beberapa komponen yang terdiri dari konsep, sistem klasifikasi, proporsi, penjelasan kausal, serta variabel independen dan variabel dependen (hlm. 6). Teori berperan penting dalam lapangan ilmu pengetahuan. Dalam konteks ilmu sosiologi, teori-teori sosiologi membantu para ahli untuk memperoleh kerangka berpikir teoretis dalam menganalisa situasi-situasi sosial yang terjadi. Dengan demikian, teori-teori tersebut dapat menjadi semacam “pisau analisa” untuk mengkaji fenomena sosial yang ada.

Secara spesifik, teori-teori yang dibahas dalam buku ini adalah enam teori sosiologi modern, yakni teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, teori ethnometodologi, serta teori pertukaran sosial. Selain itu, buku ini juga membahas beberapa perkembangan terakhir dalam teori sosiologi modern. Pembahasan ini berisi tiga teori sosiologi termutakhir, yakni teori strukturalisme, teori post-strukturalisme, dan teori sosial post-modern.

Dalam sejarahnya, ilmu sosial atau sosiologi lahir akibat dari beberapa perkembangan sosial yang terjadi pada zamannya. Merujuk pada Ritzer, penulis mengungkap dua kekuatan raksasa yang membidani kelahiran ilmu sosiologi, yakni kekuatan-kekuatan sosial dan kekuatan-kekuatan intelektual atau perkembangan ilmu pengetahuan. Kekuatan-kekuatan sosial tersebut antara lain adalah: revolusi politik yang diawali dengan Revolusi Prancis pada 1789; revolusi industri dan kebangkitan kapitalisme; bangkitnya sosialisme dan urbanisasi; serta perubahan kehidupan keagamaan (hlm. 21-24). Terkait dengan pola kehidupan keagamaan misalnya, melemahnya peran agama dalam kehidupan masyarakat modern memicu para sosiolog untuk mengamati, menjelaskan, menganalisa, sekaligus mencarikan jalan keluarnya. Dalam konteks inilah Emile Durkheim menulis bukunya, The Elementary Forms of Religious Life, dan Max Weber menulis The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism.

Sedangkan kekuatan-kekuatan intelektual yang menjadi cikal-bakal sekaligus pelopor ilmu-ilmu sosiologi pada awalnya muncul di negara-negara Eropa. Penulis mengelompokkan beberapa ilmuwan sosiologi yang lahir dan berkembang di Eropa seperti Prancis, Jerman, Inggris, dan Italia. Di Prancis muncul tokoh-tokoh seperti Claud Henry Saint-simon (1760-1825), Auguste Comte (1798-1857), dan Emile Durkheim (1858-1917). Sedangkan di Jerman muncul tokoh-tokoh sosiologi seperti Karl Marx (1818-1883), Max Weber (1864-1920), dan George Simmel (1858-1918). Demikian juga di Inggris yang memunculkan Herbert Spencer (1820-1902) dan di Italia yang memunculkan Vilfredo Pareto (1848-1923) dan Gaetano Mosca (1858-1923). Oleh penulis, sosiologi yang berkembang di Prancis dicirikan sebagai sosiologi yang konsisten terhadap pentingnya keteraturan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap peristiwa Revolusi Prancis dan aufklarung yang memporakporandakan tatanan sosial yang lama, serta memberikan kebebasan secara lebih kepada akal-budi manusia. Demikian juga Karl Marx yang muncul dengan pemikiran sosialisme yang revolusioner sebagai bentuk reaksi—atau lebih tepatnya perlawanan—terhadap ketimpangan sosial-ekonomi akibat kapitalisme yang tengah marak saat itu (hlm. 28).

Sedangkan di Amerika, berkembangnya ilmu sosiologi di sana ditandai dengan pendirian Departemen Sosiologi untuk pertama kalinya di Universitas Kansas pada tahun 1889. Selanjutnya pada tahun 1892 Albion Small berhijrah ke Universitas Chicago dan mendirikan Departemen Sosiologi di universitas tersebut. Di departemen inilah kajian ilmu sosiologi menjadi semarak, terutama setelah berdirinya aliran sosiologi tersendiri yang disebut dengan The Chicago School. Dari departemen ini pula lahir jurnal ilmiah tentang sosiologi yang bernama Journal of Sociology, dan dibentuk pula di sana perkumpulan para ahli sosiologi se-Amerika dengan nama American Sociological Society atau American Sociological Association (hlm. 36).

Tokoh-tokoh utama yang menyokong aliran The Chicago School adalah W.I. Thomas, Robert Park, Charles Horton Cooley, dan George Herbert Mead. Aliran The Chicago School mencapai puncaknya pada tahun 1920-an dan pelan-pelan memudar sejak tahun 1930-an ketika Herbert Mead meninggal dan Robert Park meninggalkan Universitas Chicago. Pasca-menurunnya aliran The Chicago School, perkembangan sosiologi selanjutnya berpusat di Universitas Harvard. Dan jika Universitas Chicago terkenal dengan produk pemikirannya berupa teori interaksionisme simbolik, maka Universitas Harvard mempunyai produk yang khas berupa teori fungsionalisme struktural. Sementara itu, secara perlahan-lahan teori kritis yang dipelopori oleh Frankfurt School juga memasuki Amerika. Teori kritis ini mencapai puncak kepopulerannya di Amerika pada tahun 1960-an.

Terkait dengan pembahasan utama, teori pertama yang dijelaskan oleh penulis dalam buku ini adalah teori fungsionalisme struktural. Teori ini didefinisikan sebagai salah satu paham atau perspektif dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain, bagian yang satu tak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain. Perubahan yang terjadi pada salah satu bagian akan menyebabkan ketidakseimbangan, sehingga pada gilirannya akan menciptakan perubahan pada bagian lain (hlm. 48).

Salah satu penyokong teori ini yang cukup terkenal adalah duo Kingsley Davis dan Wilbert Moore dengan teorinya tentang stratifikasi sosial. Menurut Moore, stratifikasi sosial merupakan kenyataan yang universal dan perlu untuk mempertahankan keberlangsungan hidup suatu masyarakat. Tak ada masyarakat yang tak punya sistem startifikasi sosial. Karena itu, stratifikasi adalah suatu keharusan.

Pendukung teori fungsionalisme struktural lainnya adalah Talcott Parsons. Menurutnya, ada empat persyaratan mutlak yang harus dimiliki supaya suatu masyarakat bisa berfungsi. Keempat syarat tersebut dalam istilahnya disebut ‘AGIL’: A adalah Adaptation (penyesuaian diri), G adalah Goal Attainment (pencapaian tujuan), I adalah Integration (penyatuan), dan L adalah Latency atau Pattern Maintenance (pemeliharaan pola-pola yang sudah ada) (hlm. 53-54). Selain itu, dalam teorinya dia juga menjelaskan sistem tindakan, skema tindakan, dan perubahan sosial. Sedangkan Robert King Morton, dalam usaha memperbaiki teori yang dicetuskan gurunya Talcott Parsons, mengemukakan pokok-pokok pikiran baru seperti teori taraf menengah, distingsi, fungsi manifes, fungsi laten, dan peringkat peran (role set).

Teori kedua yang dibahas dalam buku ini adalah teori konflik. Teori ini didefinisikan sebagai salah satu perspektif dalam ilmu sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, di mana komponen yang satu berusaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memeroleh kepentingan sebesar-besarnya (hlm. 71). Secara substansial sebenarnya teori ini sama dengan teori fungsionalisme struktural. Letak perbedaannya adalah pada goal atau tujuan akhir dari masing-masing komponen dalam masyarakat tersebut. Pada fungsionalisme struktural, tujuan akhir dari fungsional masing-masing komponen adalah untuk menciptakan sebuah fungsi sosial bersama secara selaras dan saling ketergantungan. Sedangkan pada teori konflik, tujuan akhir masing-masing kelompok dalam masyarakat adalah untuk mencapai kepentingan kelompok mereka masing-masing dengan cara penaklukan, sehingga akan dapat menciptakan ketidakselarasan bahkan konflik. Para ilmuwan yang turut menyokong teori ini antara lain adalah Karl Marx, Ralf Dahrendorf, Jonathan Turner, Lewis Coser, para pencetus Frankfurt School (Max Horkheimer, Theodor Adorno, Erich Fromm, Herbert Marcuse, dan Jurgen Habermas), serta C. Wright Mills.

Teori selanjutnya yang dibahas dalam buku ini adalah teori interaksionisme simbolik. Perspektif ini memusatkan perhatiannya pada analisa hubungan antarpribadi. Individu dipandang sebagai pelaku yang menafsirkan, menilai, mendefinisikan, dan bertindak (hlm. 95-96). Teori in berkembang menjadi satu perspektif dalam sosiologi atas usaha dua teoretikus sosiologi terkenal, yaitu George Herbert Mead dan Herbert Blumer. Mead adalah pencetus teori ini, sedangkan Blumer yang tak lain adalah murid Mead, adalah pengembangnya. Prinsip-prinsip dasar interaksionisme simbolik sebagaimana dicetuskan oleh Blumer dan kawan-kawannya adalah: kemampuan untuk berpikir, aktivitas berpikir dan berinteraksi, pembelajaran makna-makna simbol, aksi dan interaksi, membuat pilihan-pilihan, self atau diri, serta kelompok-kelompok dan masyarakat.

Penyokong yang lain atas teori interaksionisme simbolik ini adalah Erving Goffman. Dalam bukunya, Presentation of Self in Everyday Life, Goffman menjelaskan ketegangan yang terjadi antara seseorang sebagai aspek diri yang spontan (“I”) dan seseorang sebagai aspek diri yang dibebani oleh norma-norma sosial (“Me”). Ketegangan itu terjadi karena ada perbedaan antara keharusan atau ekspektasi orang lain maupun masyarakat atas diri kita, dengan apa yang ingin kita lakukan secara spontan. Dalam konteks ini, manusia di satu sisi bisa berperan secara ideal dan normatif yang digambarkan sebagai peran Front Stage atau bagian depan panggung. Namun di sisi lain dia juga bisa berperan sesuai apa yang menjadi karakter aslinya, yang diistilahkan Goffman sebagai peran Back Stage atau bagian belakang panggung.

Teori fenomenologi adalah teori keempat yang dibahas dalam buku ini. Secara umum, teori ini melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang berada di luar individu. Kenyataan merupakan suatu realitas yang berdiri sendiri di luar sana dan terkadang bisa memengaruhi individu. Dengan kata lain, kenyataan sosial itu tidak bergantung kepada makna yang diberikan oleh individu, melainkan pada kesadaran subyektif si aktor (hlm. 125). Ini tentu adalah sebuah paradigm yang berhadap-hadapan (bertentangan) dengan teori interaksionisme simbolik yang menyatakan bahwa eksistensi realitas sosial sangat bergantung kepada makna yang diberikan oleh individu dan tidak memiliki arti di dalam dirinya sendiri. Tujuan fenomenologi adalah menganalisa dan melukiskan realitas sosial yang hidup sehari-hari sebagaimana disadari oleh aktor itu sendiri. Dalam melakukan studi fenomenologi, seorang peneliti harus mengurungkan (bracketing off) dan meninggalkan semua asumsi atau pengetahuan yang ada tentang struktur sosial, dan mengamati sesuatu secara langsung dan apa adanya.

Para ilmuwan yang turut menyokong teori ini antara lain adalah Edmund Husserl, Alfred Schutz, George Psathas dan Frances Walkler, serta Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Sumbangan Edmund Husserl terhadap fenomenologi antara lain adalah penekanannya terhadap proses-proses abstraksi atas kesadaran, dan kritiknya terhadap ilmu pengetahuan yang menyatakan independensi dan keterpisahan antara dunia fakta dan kesadaran manusia. Sedangkan Alfred Schutz berkontribusi dalam memadukan fenomenologi Husserl dengan teori aksi dari Max Weber dan interaksionisme simbolik dari The Chicago School.
Teori ethnometodologi adalah teori kelima yang menjadi pembahasan buku ini. Teori ini dicetuskan oleh Harold Garfinkel, salah seorang mahasiswa Alfred Schutz yang juga pernah belajar pada Talcott Parsons. Secara harfiyah, ethnometodologi adalah sebuah studi atau ilmu tentang metode yang digunakan oleh orang awam (masyarakat biasa) untuk menciptakan keteraturan atau keseimbangan di dalam situasi di mana mereka berinteraksi. Ethnometodologi bertujuan untuk membuat studi tentang metode yang digunakan oleh orang kebanyakan secara tetap dan terus-menerus dalam mengonstruksi dunia sosial (hlm. 152). Menurut teori ini, struktur sosial merupakan suatu konsep yang berangkat dari kesadaran orang akan struktur itu, dan bukan sesuatu yang berdiri sendiri di luar sana. Akar-akar intelktual teori ini sebenarnya dapat dilacak pad aide-ide yang berasal dari teori interaksionisme simbolik, analisia dramaturgi ala Erving Goffman, dan teori fenomenologi.

Asumsi dasar teori ethnometodologi ini adalah: (1) keteraturan sosial dipertahankan dengan menggunakan teknik-teknik yang memberikan rasa (sense) kepada aktor bahwa mereka menghadapi realitas yang sama; (2) substansi dari realitas yang sama tersebut kurang penting dalam memecahkan masalah keteraturan daripada penerimaan oleh aktor akan sejumlah teknik yang sama. Atas dasar ini, proporsi yang muncul adalah: (1) semakin aktor gagal mengetahui penggunaan teknik interaktif, semakin besar kemungkinan interaksi sosial bisa dipertahankan; (2) semakin interaksi beralih kepada sisi realitas yang berbeda dan diterima begitu saja (taken for granted), semakin besar kemungkinan interaksi terganggu dan kecil kemungkinan keteraturan sosial bisa dipertahankan (hlm. 160).

Keenam adalah teori pertukaran sosial. Teori ini berangkat dari asumsi do ut des yang berarti “saya memberi supaya engkau memberi”. Menurut teori ini, semua konflik di antara manusia bertolak dari skema member dan mendapatkan kembali dalam jumlah yang sama. Dengan kata lain, tingkah laku manusia tersebut didasarkan atas pertimbangan untung dan rugi atau costs and rewards (hlm. 171). Teori ini dikembangkan oleh George Casper Homans, Peter M. Blau, dan Peter Singleman. Namun konsep-konsep dasarnya dapat ditemukan dalam karya-karya George Simmel dan Brosnilaw Malinowski.

Terkait pertukaran sosial, Homans mengemukakan beberapa proporsi untuk menjelaskan tingkah laku sosial yang paling dasar. Proporsi-proporsi tersebut adalah proporsi sukses, proporsi rangsangan atau stimulus, proporsi nilai, proporsi kejenuhan, serta proporsi persetujuan.  Sedangkan Peter M. Blau mencoba menarik analisa Homans tersebut ke dalam konteks yang lebih luas, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat dan komponen-komponen masyarakat lainnya yang lebih luas. Sementara Singleman berkontribusi dalam menganalisa titik konvergensi antara teori interaksionisme simbolik dan teori pertukaran sosial karena eratnya hubungan kedua teori ini.

Kemudian, beberapa perkembangan terakhir dalam ilmu sosiologi modern juga disinggung dalam buku ini. Dalam hal ini, penulis menampilkan tiga teori sosiologi mutakhir, yakni teori strukturalisme, teori post-strukturalisme, dan teori post-modernisme. Strukturalisme disokong oleh para ilmuwan seperti Ferdinand Saussure dan Claude Levi Strauss. Sedangkan post-strukturalisme disokong antara lain oleh Jacques Derrida dan Michael Foucault. Post-modernisme disokong antara lain oleh Frederic Jameson dan Jean Baudrillard. [*]

Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer

IDENTITAS BUKU: Penulis: Dr. Nasihun Amin, M.Ag.; Judul Buku: Dari Teologi Menuju Teoantropologi: Pemikiran Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer; Editor: M. Mukhsin Jamil, M.Ag.; Desain Cover: Mohammad Nor Ichwan; Setting/ Layout: Team Walisongo Press; Penerbit: Walisongo Press; Cetakan Pertama: November 2009; Jumlah Halaman: xii + 136; Ukuran Buku: 14 x 20 cm.

REVIEW: Berangkat dari kegelisahan intelektual penulis menyaksikan ketidakberdayaan teologi, yang notabene bagian dari agama, dalam menyelesaikan pelbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, buku ini hadir di hadapan pembaca. Adakah sesuatu yang salah dengan bangunan teologi yang ada selama ini, sehingga perlu diadakan pemahaman dan konstruksi ulang agar lebih mampu menjawab tantangan zaman? Lantas, konsep teologi yang bagaimana yang dibutuhkan oleh masyarakat pada masa kini? Melalui buku ini penulis menguraikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dalam konteks ini, penulis berusaha menggali pemikiran Asghar Ali Engineer mengenai konsep Teologi Pembebasan. Teologi Pembebasan memastikan bahwa konsep teologi yang selama ini dikenal abstrak dan transenden menjadi bisa dipahami dan diterapkan dalam kerangka dan perspektif yang lebih ”manusiawi”. Dengan demikian, pembahasan-pembahasan yang ada dalam teologi akan dapat menyentuh secara langsung terhadap kebutuhan dan persoalan-persoalan riil manusia. Secara lebih spesifik, Teologi Pembebasan mengupayakan manusia untuk bisa terlepas dari pelbagai tindak ketidakadilan, penindasan, pemiskinan, pembodohan, d.l.l. (hlm. 10).

Untuk mendapatkan gambaran secara utuh atas konsep Teologi Pembebasan ini, penulis membagi buku ini ke dalam enam bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang dan pengantar menuju wacana. Bab kedua memotret perkembangan dan paradigma teologi dalam Islam, kegagalan teologi dalam merespons persoalan aktual, serta solusi atas persoalan ini. Bab tiga menguraikan tentang sosok dan riwayat hidup Asghar Ali Engineer, latar sosial di mana dia hidup, serta kerangka metodologis pemikirannya. Bab empat menguraikan secara rinci tentang konsep Teologi Pembebasan yang dicetuskan oleh Asghar Ali Engineer. Bab lima merupakan analisa penulis yang menjelaskan tentang apa yang disebutnya sebagai teoantropologi. Sedangkan bab enam adalah penutup yang berisi kesimpulan atas seluruh pembahasan, serta saran-saran untuk perbaikan ke depan.

Memasuki bab dua, penulis menyoroti pelbagai kelemahan dan ketidakberdayaan teologi Islam yang ada selama ini mengahadapi tantangan masyarakat modern yang serbakompleks, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Konsep-konsep teologi aliran yang ada dikritik penulis sebagai sebuah produk pemikiran yang hanya relevan pada masanya, tetapi tidak cocok untuk kehidupan masyarakat masa kini. Sebab, perhatian aliran-aliran teologi tersebut difokuskan hanya pada permasalahan yang terkait dengan ketuhanan. Misalnya konsep tentang keadilan yang oleh Mu’tazilah dipahami sebagai perbuatan Tuhan yang selalu dan harus baik. Tuhan tidak mungkin melakukan perbuatan yang tidak baik, dan tidak akan meninggalkan apapun yang sudah menjadi kewajiban-Nya. Demikian juga Asy’ariyah yang memahami konsep keadilan ini sebagai perbuatan Tuhan yang tidak bisa dilawan, ditentang, maupun disalahkan. Keadilan, dengan demikian, adalah hak pererogatif Tuhan yang tak bisa diganggu-gugat. Menurut penulis, konsep ini pada tataran manifestasinya akan menimbulkan kesalahpahamn, bahkan menjadi alat legitimasi bagi praktik-praktik kehidupan yang keliru (hlm. 21). Semua itu pada gilirannya akan mengungkung manusia dalam ketidakberdayaan, kelemahan, dan keterbelakangan dalam segala aspek kehidupan, baik individual maupun sosial.

Bertolak dari keadan tersebut, diperlukan sebuah konsep teologi yang bersifat liberatif. Teologi, dalam tataran kehidupan masa kini, haruslah menyentuh akar persoalan hidup manusia secara riil. Dalam konteks inilah Teologi Pembebasan menjadi alternatif solusi untuk memecah kebuntuan dalam bidang teologi tersebut. Di kalangan Islam, konsep Teologi Pembebasan ini disuarakan antar lain oleh Hassan Hanafi, Ziaul Haq, Asghar Ali Engineer, Farid Essack, moeslim Abdurrahman, d.l.l. Meskipun demikian, konsep ini pada awalnya lahir dari rahim pemikiran Kristen pada akhir tahun 1960-an sebagai reaksi atas kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi di Amerika Latin. Para pencetus awal konsep ini antara lain adalah Leonardo Boff dan Gustavo Gutierrez. Boff memahami Teologi Pembebasan sebagai proses menuju kemerdekaan, baik merdeka dari segala bentuk sistem yang menindas, maupun bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang memungkinkannya untuk menentukan dirinya sendiri, tujuan-tujuan hidupnya, serta pilihan-pilihan poltik, ekonomi, dan kulturnya sendiri (hlm. 27).

Dalam konteks Islam, Farid Essack memaknai Teologi Pembebasan sebagai sebuah pembebasan dari struktur sosial, politik, dan keagamaan yang didasarkan kepada kepatuhan tanpa kritik, serta kebebasan seluruh manusia dari segala bentuk ketidakadilan dan eksploitasi, termasuk yang disebabkan oleh ras, gender, kelas, dan agama (hlm. 30). Menurut penulis, konsep teologi ini termasuk ke dalam paradigma teologi transformatif di antara ketiga paradigma lainnya.

Asghar Ali Engineer, dalam konteks Teologi Pembebasan ini, adalah salah satu pelopor. Pemikirannya mengenai konsep teologi ini tak terlepas dari latar belakang keluarga, latar kehidupan sosial, dan pemikiran-pemikiran yang dipelajarinya, baik mengenai keislaman maupun keilmuan-keilmuan lainnya. Terlahir di kalangan keluarga Syi’ah Isma’iliyah, Asghar kecil memeroleh pengajaran-pengajaran keagamaannya dari sang ayah secara tradisional. Bekal pengetahuan tentang Islam dan bahasa-bahasa asing dari sang ayah tersebut menjadi modal yang sangat berharga bagi Asghar dalam mengonstruksi pemikiran-pemikiran dan aksinya. Selain itu, dia juga aktif di pelbagai organisasi sosial dan akademik-inelektual. Sebagai aktivis sosial-keagamaan, dia juga gigih memperjuangkan pembebasan, antara lain dalam bidang hak asasi manusia, hak-hak perempuan, pembelaan rakyat tertindas, perdamaian etnis dan agama, rehabilitasi lingkungan, d.l.l. (hlm. 43). Latar sosial masyarakatnya yang masih diliputi dengan ketidakadilan, penindasan, diskriminasi, dan keterbelakangan, menjadi pendorong yang sangat kuat baginya untuk merumuskan pemikiran dan aksinya mengenai pembebasan dari kondisi-kondisi tersebut.

Maka, menggunakan kerangka metodologi hermeneutika dan filsafat praksis, Asghar Ali Engineer merumuskan pemikirannya mengenai Teologi Pembebasan ini. Penggunaan metode hermeneutika dalam pemikiran Asghar terlihat pada konsistensinya dalam memulai pembahasan sebuah tema dengan menyinggung konteks sosial-historis kemunculan konsep-konsep keagamaan dan konteks skarang untuk memahami pelbagai ajaran agama (hlm. 56).

Dalam konteks al-Qur’an, pemakaian metode ini didasarkan pada keyakinan bahwa al-Qur’an tidak bisa dipahami secara teologis an sich tanpa melihat kerangka sosiologis yang melingkupinya. Sedangkan penggunaan filsafat praksis sebagai kerangka berpikir Asghar terlihat dari pelbagai tulisannya yang menekankan adanya pengutamaan pada praksis ketimbang teori-teori metafisika. Filsafat praksis adalah sebuah pemikiran yang menitikberatkan pada kesatuan dialektis antara teori dan aksi, teori dan praksis, serta iman dan amal. Praksis, dengan demikian, dipahami sebagai tindakan partisipatif dalam sejarah, serta praktik-praktik yang memperjuangkan berkembangnya kemerdekaan dalam masyarakat.

Selanjutnya pada bagian keempat, penulis menguraikan penjelasan tentang Teologi Pembebasan Islam yang digagas oleh Asghar Ali Engineer. Konsep teologi ini, sebagaimana dikutip penulis dari Asghar, menekankan pada kebebasan, persamaan dan keadilan distribusi, serta menolak keras penindasan, penganiayaan, dan eksploitasi manusia oleh manusia lainnya (hlm. 72). Gagasan Asghar ini sangat terkait dengan latar sosiologis dan kesejarahan atas lahirnya Islam itu sendiri. Menurut Asghar, teologi bukan sekadar aspek keyakinan akan ketuhanan semata, tetapi juga terkait dengan hal-hal praktis yang menyentuh persoalan riil kemanusiaan. Dan jika teologi pada awalnya adalah respons sosial-politik pada masanya, maka Teologi Pembebasan Islam ini juga menjadi respons sosial-politik pada masa sekarang. Islam, menurut Asghar, hadir dalam rangka mengkritisi terhadap kemapanan kekuasaan, baik yang dibangun di atas otoritas politik, ekonomi, maupun agama yang cenderung menindas dan eksploitatif. Islam adalah agama dengan sumber ajaran dan sejarah yang paling kaya, sehingga memungkinkan untuk berkembang menjadi ajaran teologis yang revolusioner dan membebaskan. Islam, di sisi lain, juga menekankan adanya kesatuan kemanusiaan yang tidak diskriminatif, serta menghendaki adanya keadilan dalam seluruh aspek. Keadilan ini, menurut Asghar, hanya bisa direalisasikan jika ada kebebasan.

Sedangkan karakteristik Teologi Pembebasan Islam yang menjadi gagasan Asghar ini adalah: berangkat dari realitas kekinian di dunia ini, kemudian baru dikaitkan dengan kehidupan akhirat; anti terhadap kemapanan atau status quo, baik dalam bidang politik maupun keagamaan; menjadi inspirator ideologis bagi orang-orang yang tertindas untuk menghadapi penindas; menekankan terwujudnya tatanan sosial yang adil, egaliter, dan tidak eksploitatif (hlm. 75-76). Untuk mewujudkan karakteristik-karakteristik tersebut diperlukan beberapa hal, antara lain: meneladani dan menerapkan semangat profetik dan liberasi kenabian Muhammad di Makkah; meneladani teologi-teologi revolusioner yang pernah ada dalam sejarah Islam, baik dalam tataran ide maupun praktis; melakukan interpretasi ulang terhadap ayat-ayat yang selama ini telah, menurut istilah Asghar, “diselewengkan” oleh ulama yang pro kemapanan. Maka, dalam kerangka Teologi Pembebasan Islam ini Asghar mengajukan rumusan ulang terhadap beberapa konsep kunci dalam teologi Islam yang telah mapan, yakni mengenai konsep tauhid-syirik, iman-kufur, adil, dan jihad.

Konsep tauhid misalnya, yang secara original mengacu pada keesaan Allah, dalam konteks Teologi Pembebasan Islam diinterpretasikan sebagai kesatuan seluruh manusia dalam segala hal. Sebuah masyarakat yang bertauhid, dengan demikian, tidak akan membenarkan diskriminasi dalam bentuk apapun, baik yang didasarkan atas ras, agama, kasta, maupun kelas (hlm. 81). Demikian juga konsep tentang iman, dalam hal ini al-iman bi al-ghayb, diinterpretsikan oleh Asghar sebagai keyakinan terhadap potensi-potensi dan kemungkinan-kemungkinan, baik yang terdapat dalam diri manusia maupun alam, yang dapat digunakan untuk perbaikan manusia di masa depan. Dengan demikian, ini akan menjadi inspirasi dan memacu kreativitas manusia untuk menciptakan hal-hal baru.

Dari pemikiran-pemikiran teologis yang digagas oleh Asghar Ali Engineer tersebut, juga konsep-konsep teologi lainnya dalam Islam, tampak bahwa teologi tak lain adalah sebuah gagasan, renungan, dan rumusan pemikiran ketuhanan yang terbentuk sesuai dengan latar historis-sosiologis pada masanya. Dalam konteks Asghar, dia lebih menekankan orientasinya pada aspek kemanusiaan secara praksis karena memang masyarakat pada masanya membutuhkan hal itu. Melalui gagasan Teologi Pembebasan Islam, Asghar, menurut analisa penulis, hendak melakukan perubahan struktur secara fundamental atas teologi. Dia berusaha mengarahkan Teologi Pembebasan Islam sebagai sebuah teologi yang reflektif-sosiologis, dan berorientasi kepada kemanusiaan “saat ini” dan “di sini”. Ini tampak dari pergeseran orientasi teologinya dari Tuhan ke manusia, dari akhirat ke dunia, dari keabadian ke waktu, dari eskatologi ke futurologi, dari takdir kepada kehendak bebas, dan dari teoretis ke tindakan praktis. Dengan kata lain, Asghar ingin mengubah teologi menjadi apa yang disebut penulis sebagai “teoantropologi” (hlm. 108).

Menurut penilaian penulis, Teologi Pembebasan Islam yang digagas oleh Asghar Ali Engineer ini dipengaruhi oleh Marxisme. Hanya saja, terdapat perbedaan yang fundamental antara Asghar dan Marxisme. Rumusan pemikiran Asghar, di satu sisi, berangkat dari kepercayaannya kepada kemampuan yang membebaskan dari agama. Agama, dalam rumusan Teologi Pembebasan Islam Asghar, menjadi inspirator untuk gerakan kebebasan. Sedangkan Marxisme, di sisi lain, justeru menganggap agama sebagai “candu” yang hanya berfungsi sebagai alat legitimasi bagi struktur masyarakat yang tidak adil dan opresif. Agama, dalam pandangan Marxisme, sama sekali tidak akan mampu menjadi kekuatan yang membebaskan rakyat dari belenggu penindasan antarkelas dan eksploitasi oleh pemodal (hlm. 117). Meskipun demikian, pemikiran teologis yang digagas Asghar Ali Engineer ini patut diapresiasi sebagai sebuah mitra dialog dan alternatif teologi atas sistem-sistem teologi yang sudah ada selama ini. [*]

Jihad Damai ala Pesantren

IDENTITAS BUKU: Penulis: Prof. Ronald Alan Lukens-Bull, Ph.D.; Judul Buku: Jihad ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika; Judul Asli: A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education and Religious Identity Construction; Penerjemah: Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D., Najahan Musyafak, Ismail S.M., Sulaiman Al-Kumayi, Ahmad Maghfurin, Abdul Nasir; Penyunting: Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D.; Desain Sampul: Syamsul Falaq; Tata Letak: Rahmat Janary; Penerbit: Gama Media; Cetakan Pertama: Juli 2004; Jumlah Halaman: xxiv + 292; Ukuran Buku: 15 x 21 cm.

REVIEW: Buku ini merupakan disertasi di Arizona State University, A.S. yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari edisi aslinya yang berjudul A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education and Religious Identity Construction. Secara umum, buku ini mengungkapkan bagaimana para kyai dan santri serta pengikutnya di Jawa Timur terlibat dalam gerakan jihad damai melalui pendidikan dan reformasi kemasyarakatan. Para kyai dan pengikutnya berusaha membangun sebuah identitas dalam hal kepercayaan terhadap nilai-nilai keagamaan tradisional, sekaligus pada saat yang sama menumbuhkan kesadaran terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat yang mengglobal. Penelitian lapangan dilakukan selama satu tahun, yakni dari November 1994 hingga Oktober 1995 di beberapa Pondok Pesantren di Jawa Timur. Pondok Pesantren yang menjadi sampel penelitian adalah: Pesantren An-Nur II yang terletak di Bululawang, Kabupaten Malang; Pesantren Tebuireng di Kabupaten Jombang; dan Pesantren Mahasiswa Al-Hikam di Kota Malang. Selain itu, penulis juga menambahkan dua sampel Pesantren lainnya yang setipe dengan Al-Hikam, yakni Pondok Mahasiswa Al-Firdaus dan Pesantren Kampus Ainul Yaqin. Keduanya berlokasi di Kota Malang.

Penulis membagi buku ini ke dalam tujuh bab. Bab pertama merupakan pengantar wacana yang berisi tentang globalisasi dan konstruksi identitas. Bab dua dan tiga membahas mengenai dunia Pesantren dengan segala komponen dan sistem yang ada di dalamnya, serta tinjauan makro atas pesantren yang dilihat dalam bingkai organisasional Nahdlatul Ulama (NU), paham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), dan bangsa Indonesia. Sedangkan dalam bab empat, lima, dan enam penulis menguraikan tentang hasil penelitiannya terhadap Pesantren Tebuireng, An-Nur II, Al-Firdaus, Al-Hikam, dan Ainul Yaqin. Bab ketujuh merupakan inti, yang berisi tinjauan dan analisa penulis terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan. Dalam hal ini, penulis mengelaborasi tema Pesantren yang dikaitkan dengan tema jihad damai di era globalisasi.

Tema besar dalam buku ini adalah pertarungan pengaruh antara modernisasi dan globalisasi di satu sisi, dengan nilai-nilai tradisional yang bersifat lokal di sisi lain. Nilai-nilai tradisional dalam hal ini direpresentasikan kepada lembaga pendidikan keagamaan yang secara turun-temurun telah ada di Indonesia jauh sebelum negara ini merdeka, yakni Pondok Pesantren. Dikatakan tradisionalis karena Pesantren mewarisi tradisi keagamaan dan keilmuan Islam yang diajarkan oleh para ulama yang bersumber dari ajaran Nabi Muhammad. Selain itu, lembaga Pesantren secara ramah juga menyerap tradisi-tradisi dan kultur masyarakat, dalam hal ini Jawa, yang hidup di lingkungan sekitar Pesantren.

Derasnya arus globalisasi yang datang dari negara-negara Barat telah menembus sekat-sekat kenegaraan. Dan Pesantren sebagai realitas sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia tak luput dari perkembangan itu. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang telah terkepung oleh modernisasi itulah, lembaga Pesantren ditantang untuk menghadapi dan menyikapinya. Pesantren dalam hal ini berusaha membangun identitas mereka yang khas, bukan saja untuk kalangan mereka sendiri, melainkan juga untuk bangsa Indonesia secara keseluruhan. Ini mereka lakukan dengan menyelaraskan apa yang dibawa oleh modernisasi dengan nilai-nilai tradisional yang menjadi pegangan mereka selama ini. Proses ini memfokuskan pada moralitas dan religiositas sebagai penentu karakteristik-karakteristik identitas. Masyarakat Pesantren tidak ingin menolak perkembangan ekonomi atau teknologi, bahkan westernisasi, tetapi mereka berkeinginan untuk menyiapkan perubahan-perubahan ini dengan fondasi moralitas dan agama yang kuat (hlm. 14-15).

Berkenaan dengan bab dua yang membahas mengenai lembaga Pesantren, kyai, dan identitas, penulis mengidentifikasi Pesantren sebagai Jawa, Indonesia, dan Islam. Pesantren erat sekali kaitannya dengan Wali Songo yang merupakan pendakwah dan penyebar Islam di Pulau Jawa. Bentuk awal dari Pesantren adalah mushala atau masjid. Namun, seiring dengan perkembangan waktu, Pesantren berubah menjadi bentuk madrasah. Penulis mengemukakan bahwa Pesantren di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, merupakan kombinasi dua hal, yakni tempat untuk mempelajari dan mempraktikkan mistisisme Islam atau tasawuf, serta tempat untuk mempelajari keilmuan-keilmuan Islam lainnya (hlm. 160).

Secara umum, menurut penulis, kurikulum yang ada di Pesantren meliputi empat hal, yakni: ngaji dan pendidikan agama; pengalaman, pendidikan moral, dan pengabdian; sekolah dan pendidikan umum; serta keterampilan dan kursus. Pesantren tradisional (salafiyah) biasanya memiliki dua kurikulum pertama yang merupakan karakter asli dan khas Pesantren. Sedangkan Pesantren Modern bisa mencakup keempat kurikulum tersebut.

Dalam kehidupan Pesantren, kyai merupakan figur utama yang berperan sangat signifikan dalam mengelola dan mengembangkan Pesantren. Menurut pandangan penulis, kyai dapat membentuk identitas kolektif masyarakat dengan bentuk identitas pribadi mereka, yakni sebagai role model atau contoh sikap dan tingkah laku. Seorang kyai dalam tradisi Pesantren Jawa memiliki empat kriteria, yakni: pengetahuan, kekuatan spiritual, keturunan (baik biologis maupun spiritual), dan moralitas (hlm. 88-89). Keempat komponen itulah yang mengonstruksi identitas khas kyai, sehingga menjadikannya sebagai figur sentral, baik dalam internal Pesantren maupun dalam masyarakat.

Tinjauan yang lebih luas dan makro atas identitas dunia Pesantren juga dilakukan oleh penulis, yakni dalam kerangka organisasi NU, paham Aswaja, dan keindonesiaan. Dalam konteks ini, masyarakat Pesantren berusaha mencari dan memainkan peran-perannya secara seimbang atas identitas-identitas tersebut. NU dalam hal ini membentuk identitas dunia Pesantren, terutama lewat penyediaan sebuah struktur organisasional yang menghubungkan kyai dan Pesantren. Ketika kyai dan masyarakat Pesantren lain dikaitkan oleh pelbagai macam tujuan, maka hubungan NU mengaitkan bersama-sama seluruh komunitas. Sebagai sebuah organisasi, NU menyediakan kesempatan bagi para kyai untuk memperdebatkan pelbagai isu menghadapi umat Islam Indonesia (hlm. 120). Di sisi lain, NU mengorganisasi kyai dan Pesantren ke dalam sebuah kekuatan nasional.

Kemudian dalam konteks paham Aswaja, Pesantren melalui wadah oranisasionalnya berupa NU mengidentifikasi dirinya sebagai penganut dan bagian dari komunitas Aswaja secara global dan secara simultan menyatakan sebagai pewaris agama Islam yang murni. Menurut penulis, sebagaimana dikutip dari Zamakhsyari Dhofier, ciri-ciri paham Aswaja dalam konteks Pesantren di Jawa adalah mengikuti ajaran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam sisi teologi, menganut salah satu dari empat mazhab dalam hal yurisprudensi Islam (fiqih), serta menganut Abu Qasim al-Junaidi dalam sisi tasawuf (hlm. 122-124). Sedangkan dalam kaitannya dengan bangsa Indonesia, Pesantren menampilkan diri sebagai komponen bangsa yang turut berkontribusi dalam pembentukan dan perjuangan negara RI. Melalui pendidikan yang diselenggarakannya, Pesantren juga turut berkontibusi dalam mewarnai corak kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Dalam bab mengenai Pesantren Tebuireng, penulis menguji diskurus seputar pendidikan Pesantren dengan menampilkannya sebagai suatu mikrokosmos untuk keseluruhan dunia Pesantren. Menurut penulis, Tebuireng selalu berada di garis depan dalam dialog-dialog tentang Islam, pendidikan, dan modernitas. Didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899, Pesantren Tebuireng kini menjadi rujukan dan kiblat dari dunia Pesantren, khususnya di Pulau Jawa. Gaya, kurikulum, dan praktik-praktik keagamaan yang ada di dalamnya menjadi model bagi Pesantren lain. Kurikulum yang diterapkan di Tebuireng adalah ngaji (belajar nilai-nilai keislaman dan tradisi Pesantren), pengalaman (menerapkannya dalam keseharian), dan sekolah formal.

Dari penelitian yang dilakukannya, penulis melihat adanya beberapa visi yang berkompetisi di internal Pesantren Tebuireng terkait dengan kurikulum pendidikan dan posisi terhadap pemerintah. Terkait dengan pendidikan, ada faksi yang menginginkan Tebuireng terus melaju ke arah peningkatan pendidikan sekuler dengan tetap mempertahankan dasar-dasar keagamaan. Kelompok ini dipelopori oleh Yusuf Hasyim, putera tertua K.H. Hasyim Asy’ari. Ini dilakukan sebagai respons terhadap kebutuhan masyarakat yang kian berkembang. Sedangkan faksi lainnya menginginkan untuk membangun kembali Tebuireng sebagai pusat pendidikan ulama yang mahir dalam masalah teologi dan ilmu-ilmu keislaman, serta praktik keagamaan. Faksi ini dipelopori oleh Gus Isyom yang merupakan cucu K.H. Hasyim Asy’ari (hlm. 156). Terkait dengan visi dan posisi terhadap pemerintah, terdapat Yusuf Hasyim yang menginginkan Pesantren berafiliasi dengan pemerintah. Faksi lainnya diperankan oleh Abdurrahman Wahid yang cenderung menjaga jarak dengan pemerintah.

Pesantren kedua yang dijadikan sampel penelitian ini adalah Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo yang berada di Bululawang, Kabupaten Malang. Penulis menggambarkan Pesantren yang didirikan oleh K.H. Anwar Nur pada tahun 1942 ini sebagai Pesantren yang tidak terkenal tetapi cukup berhasil dalam menjalankan pendidikan agamanya. An-Nur menawarkan pendidikan agama yang dikombinasi dengan pendidikan sekuler. Penambahan pendidikan sekuler bertujuan menyiapkan lulusan agar dapat mandiri ketika sudah terjun dalam masyarakat. Tujuan utama pendirian Pesantren ini, sebagaimana dikutip penulis dari pengelolanya, adalah untuk menyebarkan Islam, sekaligus menjadi pusat pendidikan agama (hlm. 194). Menurut penulis, visi Pesantren ini sederhana, yakni menyiapkan warga negara yang baik sekaligus Muslim yang taat. Karena itu, kurikulum yang diterapkan di sini adalah ngaji, pengalaman, sekolah umum, serta kursus dan keterampilan. Pendidikan di Pesantren ini lebih difokuskan pada ilmu keagamaan daripada umum. Ini berbeda dengan Tebuireng yang cenderung memberi porsi yang lebih besar kepada pendidikan umum daripada keagamaan (hlm. 211).

Sampel ketiga yang diteliti oleh penulis dalam disertasinya ini adalah Pesantren Perguruan Tinggi, yang terdiri dari Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Pondok Mahasiswi Al-Firdaus, dan Pesantren Kampus Ainul Yaqin. Ketiganya terletak di Kota Malang. Al-Hikam dan Al-Firdaus berlokasi di luar lingkungan kampus, sedangkan Ainul Yaqin terintegrasi dan khusus menerima santri dari Universitas Islam Malang. Fenomena Pesantren Perguruan Tinggi ini merupakan trend baru dunia Pesantren. Para pelopor dan inisiator Pesantren Perguruan Tinggi melihat Perguruan Tinggi sebagai barisan terdepan dalam modernisasi dan globalisasi di Indonesia. Karena itu, mereka membangun di dekat lingkungan kampus sebuah Pesantren yang berfungsi sebagai tempat pembelajaran dan praktik keagamaan bagi para mahasiswa. Ini bertujuan guna membentuk nilai dan moral religius bagi calon-calon pemimpin Indonesia di masa depan. Selain itu, pedirian Pesantren tipe ini juga dimaksudkan untuk membekali mahasiswa atau santri agar terhindar dari gerakan ekstremisme dan fundamentalisme keagamaan yang belakangan marak terjadi di lingkungan kampus-kampus.

Bertolak dari uraian pada bab-bab sebelumnya, dalam bab tujuh penulis menganalisa dan mengambil simpulan mengenai tiga hal yang terkait dengan wacana dunia Pesantren dan identitas kolektif, serta tinjauan yang lebih luas mengenai wacana Islam, modernisme, dan globalisasi. Terkait dengan wacana dunia Pesantren, penulis mendokumentasikan bagaimana dunia Pesantren berhasil mengenali kebutuhan bangsa Indonesia, baik kebutuhan terhadap tenaga kerja yang bermoral, terhadap pemimpin yang agamis, maupun terhadap ulama yang dapat berpartisipasi dalam globalisasi. Ini dilakukan oleh Pesantren dengan mengombinasikan keilmuan umum dan agama sekaligus.

Lebih jauh, Pesantren juga mempunyai visi tentang Indonesia, bagaimana masyarakat bangsa ini di masa mendatang bisa memodernisasi diri tanpa jatuh pada perangkap moral dan dampak-dampak negatif yang ditimbulkannya. Meskipun di kalangan internal Pesantren terdapat perbedaan mengenai bentuk kurikulum dan teknis pendidikannya, namun mereka tetap menyepakati satu poin yang fundamental bahwa Pesantren seharusnya tetap menyediakan pendidikan moral. Di samping itu, inti pendidikan Pesantren seharusnya diarahkan pada bentuk pendidikan menyeluruh yang bersifat pada pembentukan karakter dan tidak hanya memberikan pengetahuan saja (hlm. 253).

Berkenaan dengan identitas kolektif, penulis melihat adanya beberapa identitas yang multiaspek yang masing-masing berinteraksi dengan yang lain. Dalam hal ini, identitas orang Indonesia, Muslim, Jawa atau Madura, insan Pesantren, dan konsumer global memengaruhi satu sama lain. Mereka bukanlah label berbeda-beda yan dipakai orang dalam situasi yang berbeda-beda. Identitas dalam kasus ini dimainkan secara simultan.

Sedangkan yang terkait dengan wacana Islam, modernisme, dan globalisasi, penulis membawa pelbagai isu yang telah didiskusikan sebelumnya kepada konteks yang lebih luas, yakni seluruh umat Islam di dunia. Maka pertanyaan besar yang muncul adalah, dapatkah umat Islam mengadopsi modernisme dari Barat dengan tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran dan tradisi Islam klasik yang dibawa Nabi Muhammad? Mengutip Bernard Lewis, penulis menguraikan tiga sikap dasar yang diambil oleh umat Islam terhadap modernisasi dan globalisasi. Pertama, mengadopsi apa saja yang dianggap bermanfaat tanpa mengadopsi agama dan nilai-nilai Barat. Kedua, memadukan elemen-elemen terbaik dari dua peradaban. Dan ketiga, menerima dan mengadopsi sama sekali. Dalam konteks ini, Pesantren lebih memilih sikap kedua, meskipun di internal mereka terdapat pelbagai perdebatan dan dinamika. Menururt penulis, dunia Pesantren telah berbuat dengan mencoba mengawinkan yang terbaik dari dua peradaban, yakni modernisasi dari Barat dan etika-moral dari Islam. Mereka membuat modernitas Islam, sekaligus pada saat yang sama tetap berpegang pada nilai-nilai tradisional Islam dan memerhatikan pada keselamatan dunia dan akhirat (261).

Terakhir, yakni terkait dengan tesis Samuel Huntington tentang terjadinya benturan peradaban (clash of civilization) antara Islam dan Barat. Tesis ini mengasumsikan bahwa Islam dan modernisme tidak dapat digabungkan. Melalui penelitian ini, penulis membuktikan bahwa melalui pelbagai usahanya, dunia Pesantren mematahkan tesis itu. Pesantren berusaha membentuk sebuah identitas baru yang dapat meminjam dari Barat secara selektif tanpa terkena efek samping yang buruk dari modernisme, seperti materialisme, egoisme, seks bebas, serta terhindar dari fundamentalisme keagamaan. Dengan demikian, komunitas Pesantren telah menjalankan perubahan masyarakat dan dunia lebih banyak melalui pendidikan, keteladanan, dan dakwah, daripada melalui konflik kekerasan. Dalam istilah penulis, upaya-upaya dunia Pesantren tersebut disebutnya sebagai “a peaceful jihad” atau jihad damai (hlm. 269). Istilah ini merujuk pada term jihad akbar dalam sebuah hadits Nabi Muhammad mengenai jihad. Oleh penulis, jihad akbar ini didefinisikan sebagai perjuangan secara damai untuk mencapai pemenuhan moral individu dan sosial. [*]

Konservasi Alam dalam Islam

IDENTITAS BUKU: Penulis: Fachruddin M. Mangunjaya; Judul Buku: Konservasi Alam dalam Islam; Editor: Suer Suryadi dan Barita O. Manullang; Desain Cover: Rahmatika Creative Design; Penerbit: Yayasan Obor Indonesia atas bantuan The World Bank dan Conservation International Indonesia; Edisi Pertama: Juni 2005; Jumlah Halaman: xxiii + 142; Ukuran Buku: 14,5 x 21 cm.

REVIEW: Dalam era informasi seperti sekarang ini, negara-negara di dunia kian menyatu dalam sebuah irama besar yang disebut globalisasi. Mereka saling membuka diri terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh negara lain. Alhasil, perdagangan bebas antarnegara merupakan fenomena yang lumrah di zaman ini. Ini memicu mereka untuk memproduksi sebanyak-banyaknya barang guna memenuhi kebutuhan masyarakat bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di negara-negara lain. Ketika permintaan terhadap suatu barang—yang umumnya berbahan baku yang diambil dari alam—semakin tinggi dan agresif, maka yang sering terlupakan adalah bahwa kita harus meningkatkan volume eksploitasi terhadap sumber daya alam. Eksploitasi terhadap alam secara besar-besaran dan tak terkendali itulah yang akan merusak keseimbangan dan kelestarian ekosistem kita. Akibatnya, bukan hanya alam yang merana, manusia pun ikut sengsara.

Itulah sekelumit gambaran akan sebuah kondisi yang membuat penulis resah, hingga melahirkan buku ini. Menurut sebuah data yang dikutip oleh penulis, Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan sumber daya alam. Ini menempatkan Indonesia di peringkat kedua setelah Brazil dalam hal keanekaragaman hayati. Bahkan jika keanekaragaman hayati laut dimasukkan, Indonesia bisa menjadi negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (2). Akan tetapi, kini kekayaan alam itu satu persatu mulai habis terkuras. Parahnya lagi, hal itu terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga menimpa hampir semua negara-negara di dunia.

Keprihatinan itulah yang membuat penulis buku ini berpikir dan bertanya-tanya, apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan ekosistem kita agar tetap seimbang dan lestari? Maka, sebagai seorang Muslim, penulis merefleksikan diri atas ajaran-ajaran Islam yang selama ini dianutnya. Dari hasil perenungannya, akhirnya penulis sampai pada sebuah pemikiran bahwa jauh sebelum ekosistem kita rusak seperti sekarang ini, Islam sebenarnya telah mempunyai konsep dan ajaran-ajaran mengenai keseimbangan dan kelestarian ekosistem, baik eksplisit maupun implisit. Melalui buku inilah penulis menuangkan hasil “ijtihad”-nya terkait dengan konsep dan ajaran Islam yang concern terhadap kelestarian alam. Dengan demikian, sebagai umat Islam, apabila kita melaksanakan ajaran-ajaran tersebut secara konsisten, maka secara langsung maupun tidak langsung kita telah turut berpartisipasi dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Penulis membagi buku ini ke dalam tujuh bab: (1) pendahuluan; (2) menuju teori lingkungan Islami; (3) akhlak terhadap hidupan liar; (4) konservasi alam dalam Islam; (5) menjaga pola konsumsi; (6) perdagangan binatang berdasarkan syariat Islam; dan (7) kesimpulan. Di samping itu, penulis juga menambahkan dalam buku ini beberapa data dan informasi penting terkait topik buku ini yang dikemas dalam boks-boks. Bagi pembaca yang awam akan istilah-istilah biologi konservasi maupun istilah-istilah keislaman, penulis membuatkan daftar istilah di bagian akhir buku ini. Menurut penulis, buku ini berusaha menjembatani dan mengombinasikan dua disiplin ilmu, yaitu Islam dan biologi konservasi. Karena itu, kosakata-kosakata yang terkait dengan kedua disiplin keilmuan tersebut harus dijelaskan secara lebih lanjut agar memudahkan para pembaca.

Dalam pandangan penulis, kerusakan ekosistem yang selama ini terjadi disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Misalnya saja pola konsumsi manusia yang sembarangan dan tanpa mengacu pada batasan-batasan norma etika maupun agama. Pada akhirnya hal itu akan mengakibatkan kepunahan satwa-satwa tertentu yang hidup di habitat aslinya. Selain itu, kelalaian dan dominasi manusia terhadap alam dan pengelolaan lingkungan yang tidak beraturan, membuat segala unsur harmoni dan hal-hal yang bersifat alamiah berubah menjadi kacau, bahkan bisa berakibat bencana. Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam, seperti minyak bumi, batu bara, tembaga, emas, timah, nikel, dan barang-barang tambang lainnya menyisakan lubang-lubang raksasa, pencemaran udara dan air, serta sisa-sisa galian yang terbengkalai dan tak terurus.

Sementara itu, pembabatan hutan secara membabi-buta juga terus terjadi di permukaan bumi. Akibat ini semua, bencana-bencana alam pun terjadi sebagai dampak langsung dari ulah manusia tersebut. Maka, telinga kita pun kian akrab mendengar berita-berita tentang bencana di mana-mana, seperti tanah longsor, banjir, pencemaran air, tanah, dan udara, serta punahnya banyak flora dan fauna.

Penulis mencatat beberapa bencana alam akibat ulah manusia tersebut. Misalnya bencana tanah longsor, banjir, dan air bah yang terjadi di Padang, Sumatera Barat, pada awal Desember tahun 2000. Bencana yang disebut dengan ‘Galado” itu menelan korban jiwa sebanyak 111 orang, serta kerugian finansial yang mencapai Rp. 302 milyar. Pada tahun 2003 juga terjadi bencana banjir bandang di Bohorok, Sumatera Utara, yang menelan 250 korban jiwa dan kerugian materi yang tidak sedikit. Sepanjang tahun yang sama, pemerintah juga mencatat terjadinya banyak tanah longsor di seluruh Indonesia, terutama Jawa Barat yang mencapai 70 %. Bencana ini menelan 176 orang korban jiwa, 93 orang luka-luka, serta ribuan rumah rusak maupun hancur (hlm. 11).

Selain bencana alam, penulis juga mencatat pelbagai kelangkaan, bahkan kepunahan, yang menimpa banyak satwa di Indonesia. Menurut penulis, Indonesia telah mencatat beberapa hidupan liar yang sudah tidak dapat ditemukan lagi di muka bumi karena telah punah. Misalnya harimau Jawa (Panthera Tigris) dan harimau Bali (Panthera Tigris Balica). Selain itu, Indonesia juga dicekam dengan keprihatinan atas terancam punahnya 126 jenis burung, termasuk diantaranya cendrawasih, beo, jalak Bali, dan kakatua.

Dalam catatan lain, 63 jenis mamalia juga terancam punah karena keruskan habitat mereka. Mamalia-mamalia yang hampir punah itu antara lain orangutan di Kalimantan, gajah dan harimau di Sumatera, serta jenis primata seperti ungko dan siamang. Satwa lainnya yang juga terancam kepunahan adalah buaya, ular phiton, penyu belimbing, penyu sisik, dan 17 jenis reptil lainnya (hlm. 13-14). Selain rusaknya habitat alami satwa-satwa tersebut, kelangkaan dan kepunahan satwa-satwa itu juga disebabkan oleh perburuan liar dan perdagangan secara tak terkendali oleh manusia.

Ini semua berpangkal pada pengelolaan yang salah terhadap ekosistem. Dalam memperlakukan alam, manusia lebih mementingkan hawa nafsu dan keserakahan mereka daripada keseimbangan dan kelestarian alam. Karena dominasi nafsu tersebut, maka manusia dianggap sebagai aset produksi yang dengan leluasa dan semena-mena mengeksploitasi alam tanpa mempertimbangkan akhlak, moral, dan etika terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungan. Karena itu, hendaknya manusia kembali kepada Sang Pencipta dalam memperlakukan alam ini. Sebab, alam raya ini dan semua kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah ciptaan Tuhan. Maka, pengelolaannya pun haruslah didasarkan atas petunjuk dan ajaran-ajaran-Nya.

Secara lebih spesifik, penulis memformulasikan prinsip-prinsip Islam yang dapat dijadikan sebagai landasan atas pengelolaan terhadap lingkungan. Dalam Islam, menurut penulis, syariahlah yang harus melandasi teori dan hukum lingkungan. Ini semua bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umat manusia, khususnya orang-orang Muslim, baik di dunia maupun di akhirat nantinya. Akan tetapi, dalam menerapkan hukum-hukumnya, syariah juga mengutamakan keselamatan bagi semua makhluk hidup. Dalam konteks inilah, Islam yang disampaikan kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad, menjadi rahmat (penebar kasih sayang) bagi seluruh alam.

Prinsip-prinsip tersebut adalah tauhid, khilafah (kepemimpinan), istishlah (kemaslahatan), dan halal-haram. Tauhid merupakan pengesaan dan kepasrahan secara total kepada Allah. Dengan demikian, memahami ketauhidan secara utuh berarti juga harus memberikan penghargaan yang tinggi kepada ciptaan-Nya, yakni alam raya ini. Sebab, Allah telah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk mengelola alam ini dengan sebaik-baiknya. Maka, manusia harus menjalankan amanat itu dengan sebaik-baiknya.

Sedangkan khilafah dalam hal ini bermakana bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi bergantung pada peran dan kepemimpinan manusia untuk melestarikannya. Maka, khilafah merupakan pilar penting yang dapat membawa perbaikan bagi lingkungan. Seorang yang diberi tanggung jawab sebagai khalifah, baik dalam skala individu maupu kolektif, haruslah bertanggung jawab terhadap kelangsungan kehidupan bumi (hlm. 24). Mengenai istishlah atau kemaslahatan umum, ini berarti memberikan perawatan terhadap lingkungan, baik hewan, tumbuhan, maupun manusia itu sendiri, secara benar, proporsional, dan berkelanjutan. Artinya, apapun yang kita ambil dari alam haruslah secukupnya, tidak berlebihan, dan tidak merusaknya.

Sedangkan halal-haram merupakan perangkat dalam Islam yang mengatur apa saja yang boleh dilakukan dan apa saja yang tidak boleh dilakukan. Kedua istilah ini menjadi pembatas yang sangat tegas untuk mencegah perilaku manusia agar tidak merusak tatanan yang teratur dalam ekosistem dan tata kehidupan masyarakat. Halal dan haram ini didasarkan atas al-Qur’an dan Sunnah Rasul (hlm. 30).

Dalam bab III, penulis memberikan penjelasan tentang etika terhadap hidupan liar—khususnya satwa—berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam. Hidupan liar mempunyai peran penting dalam menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam. Sebab, semua spesies yang hidup di alam berinteraksi satu sama lain dan menjalin sebuah rantai ketergantungan di antara mereka. Apabila salah satu spesies punah, maka rantai ketergantungan pun akan putus. Ini akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi spesies di komunitasnya maupun spesies-spesies lainnya. Oleh karena itu, menurut penulis, Islam memberikan pandangan yang tegas bahwa semua yang ada di bumi adalah karunia Tuhan yang harus dipelihara agar semuanya menjadi stabil dan lestari (hlm. 37).

Rasulullah sendiri sebagai pemimpin tertinggi umat Islam memberikan teladan mengenai etika terhadap alam. Beliau pernah menetapkan konsep hima’, yakni larangan terhadap umat Islam untuk menggarap sebidang lahan di suatu daerah tertentu. Hima’ atau kawasan lindung itu semata-mata ditujukan untuk menjaga ekosistem suatu daerah agar kelestarian makhluk yang hidup di dalamnya dapat terpenuhi (hlm. 37). Di samping itu, Rasulullah juga mencontohkan etika-etika yang harus dilakukan terhadap satwa, seperti menyayangi mereka, tidak membakar habitat mereka, tidak membebani mereka dengan pekerjaan-pekerjaan yang terlalu berat, tidak menyakiti dan menyiksa mereka, dan lain-lain.

Menurut penulis, dalam syariat Islam binatang pun harus dihormati hak-hak asasinya. Penulis kemudian mengutip tulisan seorang ahli hukum Islam bernama ‘Izz al-Din ‘Abd al-Salam dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam yang menetapkan hak-hak binatang sebagai salah satu unsur syariah. Hak-hak binatang tersebut adalah: (1) Manusia harus menyediakan pakan bagi mereka; (2) Manusia harus menyediakan makanan kepadanya, walaupun binatang itu sudah tua atau sakit sehingga dianggap tidak menguntungkan bagi mereka; (3) Manusia tidak boleh membebani binatang itu melebihi kemampuannya; (4) Manusia dilarang menempatkan binatang itu bersama dengan apapun yang dapat melukainya; (5) Jika hendak menyembelihnya, hendaknya manusia menjagalnya dengan cara yang baik, tidak menguliti atau mematahkan tulangnya sehingga tubuhnya menjadi dingin dan nyawanya melayang; (6) Manusia tidak boleh membunuh anak-anaknya di depan matanya; (7) Manusia harus memberikan kenyamanan bagi mereka, baik tempat maupun wadah makannya; (8) Manusia harus menempatkan jantan dan betina secara bersamaan pada musim kawin; (9) Manusia tidak boleh membuang mereka dan menganggapnya sebagai binatang buruan; (10) Manusia tidak boleh menembak mereka, atau membuat tulangnya patah, atau menghancurkan tubuhnya, atau memperlakukan mereka dengan apa saja yang membuat daging mereka tidak syah untuk dimakan (hlm. 48-49).

Semua ini ditujukan utuk menjaga eksistensi dan kelestarian satwa-satwa tersebut di alam. Lebih jauh, penulis mendorong intervensi lembaga-lembaga negara, khususnya yang beratribut agama, untuk turut memberikan fatwa mengenai pelestarian ekosistem. Misalnya dengan mengharamkan pemeliharaan satwa yang hampir punah di luar habitatnya. Atau dengan mengharamkan untuk menangkap, menjual, membunuh, ataupun aktivitas-aktivitas lainnya yang mengakibatkan kepunahan hewan tersebut di habitat aslinya.

Dalam bab yang membahas mengenai konservasi alam dalam Islam, penulis menghadirkan dua konsep, yakni hima’ dan ihya’ al-mawat. Hima’ adalah suatu kawasan yang secara khusus dilindungi oleh pemerintah (imam negara atau khalifah) atas dasar syariat guna melestarikan hidupan liar atau hutan. Termasuk dalam pelestarian hutan ini adalah perlindungan terhadap lembah, sungai, gunung, dan pemandangan alam lainnya di mana makhluk hidup tinggal di dalamnya (hlm. 53). Terkait dengan hal ini, Rasulullah pernah mencagarkan kawasan sekitar Madinah sebagai hima’ guna melindungi lembah, padang rumput, dan tumbuhan yang ada di dalamnya. Sunnah Rasul ini juga diikuti dan dilestarikan oleh para Khalifah pengganti beliau, seperti Abu Bakr,’Umar ibn Khattab, dan ‘Utsman ibn ‘Affan.

Ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah yang mati) adalah pengolahan dan pengelolaan lahan yang mati (tidak produktif) menjadi tanah yang produktif sehingga dapat digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat (hlm. 58). Ini didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah yang mengatakan, barang siapa yang menghidupkan dan memakmurkan sebidang tanah yang belum dimiliki orang lain, maka dialah yang berhak atas tanah itu. Menurut mayoritas ulama, sebagaimana dikutip oleh penulis, ketentuan penggarapan lahan tersebut tidak berlaku untuk tanah yang telah dimiliki oleh orang lain, atau terhadap kawasan-kawasan yang apabila digarap akan mengganggu kemaslahatan umum (seperti lembah dan lereng yang dapat berakibat tanah longsor).

Selanjutnya, dalam bab V yang membahas mengenai pola konsumsi, penulis menyajikan gambaran dan penjelasan tentang aktivitas konsumsi manusia di zaman ini, dampak yang ditimbulkan oleh konsumsi tersebut terhadap ekosistem, dan ajaran-ajaran Islam mengenai pola konsumsi manusia. Dalam Islam, manusia diperintahkan untuk memakan makanan yang halal dan baik saja (halalan thayyiban). Perintah ini diturunkan tentu bukan tanpa alasan, melainkan dimaksudkan untuk kebaikan dan kemaslahatan manusia. Sebab, dengan memakan makanan yang baik maka akan berdampak kepada kesehatan manusia.

Dalam skala yang lebih besar, pola konsumsi yang sembarangan, khususnya atas hewan, akan berdampak negatif terhadap kelestarian alam. Perilaku manusia yang merambah hutan secara membabi-buta, dan memburu segala jenis hidupan liar untuk diperjual-belikan maupun dikonsumsi, akan mengancam kelestarian satwa tersebut. Akibatnya, dalam jangka panjang satwa-satwa itu pun akan punah. Dalam konteks inilah syariat Islam tampil untuk menjaga kelestarian alam, khususnya satwa. Fiqh yang merupakan perwujudan secara praktis atas syariat Islam, menjelakan tentang binatang apa yang boleh dikonsumsi dan apa saja yang dilarang untuk memakannya. Dengan kata lain, fiqh membatasi konsumsi hanya pada spesies-spesies binatang tertentu (hlm. 74-75).

Belakangan diketahui bahwa binatang-binatang yang tidak boleh dikonsumsi menurut fiqh, kebanyakan adalah satwa-satwa yang termasuk dalam spesies kunci (keynote species). Spesies kunci adalah flora maupun fauna yang mempunyai peran dan manfaat yang sangat besar terhadap keseimbangan ekosistem. Keynote species tersebut antara lain adalah karnivora pemangsa puncak, herbivora besar, binatang penyebar biji, serangga penyerbuk, dan lain-lain. Lebih spesifik, satwa-satwa yang termasuk dalam spesies kunci ini adalah burung elang dan burung pemakan bangkai, binatang bertaring dan berkuku tajam, harimau, kancil, tokek, binatang melata dan tikus, kodok, buaya dan penyu, monyet dan kera, serta kelelawar.

Memang, para ulama fiqh berbeda pendapat mengenai halal-haramnya sebagian binatang tersebut (lihat tabel 2 halaman 78) dengan alasan-alasan tertentu. Akan tetapi keputusan mereka itu dilakukan pada belasan abad yang lalu, jauh sebelum permasalahan ekosistem terjadi. Maka, apabila mereka melihat kondisi terkini atas satwa-satwa kita yang kian langka bahkan punah, tentu putusannya akan lain. Karena itulah penulis berpandangan akan perlunya pemahaman dan pertimbangan secara kontekstual-ilmiah oleh para ulama dalam mengambil putusan hukum Islam terkait satwa-satwa tersebut.

Kemudian, dalam bab yang membahas tentang perdagangan binatang berdasarkan syariat, penulis dengan tegas menyatakan keharaman memperjual-belikan satwa-satwa liar, terutama yang oleh agama Islam diharamkan. Dengan mendasarkan pada syariat Islam, penulis menyatakan bahwa hewan yang dagingnya haram dimakan, maka haram pula hukumnya memburunya, menjadikannya sebagai cendera mata, memajang kulitnya, dan termasuk memakan hasil jual-beli hewan tersebut (hlm. 99).

Sebagai kesimpulan, penulis kembali menekankan kepada pembaca untuk kembali kepada ajaran-ajaran Islam. Islam menyatakan bahwa segala perbuatan kita, termasuk menjaga kelestarian alam, haruslah diniatkan sebagai ibadah kepada Allah. Islam juga memerintahkan kepada kita untuk berbuat kebaikan di muka bumi, serta tidak melakukan kerusakan, termasuk kerusakan alam. Islam pun memerintahkan umatnya untuk memakan hanya makanan yang halal dan baik. Menurut penulis, hikmah dari semua itu adalah untuk menjaga kelestarian alam. Pada gilirannya, ini semua ditujukan untuk kebaikan manusia juga. Kesadaran inilah yang harus diterapkan oleh umat Islam khususnya, dan manusia pada umumnya. [*]