Pencarian

Kamis, 30 Mei 2013

Inside Coca Cola

Judul Buku: INSIDE COCA COLA: Cerita Kehidupan Seorang CEO dalam Membangun Brand Paling Terkemuka di Dunia | Judul Asli: INSIDE COCA COLA: A CEO's Life Story of Building the World's Most Popular Brand | Penulis: Neville Isdell & David Beasley | Penerbit: Esensi (Grup Erlangga).

BUKU ini merupakan biografi seorang mantan Chairman & CEO Coca Cola, Neville Isdell. Melalui buku ini, Isdell menuturkan pengalamannya selama berkarir di perusahaan tersebut. Yang menarik dari buku ini adalah visi sang penulis tentang 'kapitalisme terhubung' (connected capitalism). Konsep ini mengandaikan kemitraan yang solid dan mutualistik di antara tiga lembaga, yakni: perusahaan, organisasi nirlaba, dan pemerintah, dalam mengatasi permasalahan-permasalahan global. Perusahaan, menurutnya, tak boleh tutup mata atas pelbagai permasalahan dunia. Alih-alih, mereka seharusnya turut menyelesaikannya. Partisipasi aktif perusahaan dalam mengatasi permasalahan global akan berdampak terhadap dua hal: majunya komunitas global, dan profit bagi perusahaan. "Tak perlu malu menghasilkan profit, asalkan bertanggung jawab secara sosial," ungkap penulis. [*]

Selasa, 16 April 2013

Menggali Pemikiran Cak Nur

IDENTITAS BUKU: Judul: Satu Menit Pencerahan Nurcholish Madjid | Penulis: Budhy Munawar-Rachman, Elza Peldi Taher | Penerbit: IIMA.

REVIEW: Nurcholish Madjid mustahil dipisahkan dari pembicaraan tentang Islam di Indonesia, bahkan tentang Indonesia secara keseluruhan. Ia salah seorang anak bangsa yang terbesar, dengan kontribusi yang tak kalah besarnya. Bukan saja karena dalam dirinya terkandung banyak unsur sejati kebangsaan Indonesia, tetapi juga karena padanya pulalah unsur-unsur itu mendapatkan pencapaiannya yang amat tinggi. Semuanya itu ia abdikan bukan bagi kepentingan kelompoknya, tapi bangsa dan negara secara keseluruhan.

Nurcholish adalah contoh par excellence bagi wajah kaum Muslim santri, kelompok terbesar rakyat Indonesia. Dimulai dengan “proyek pembaruan pemikiran” pada awal tahun ’70-an, memprakarsai pendidikan kultural bagi pembentukan kelas menengah
kota yang lebih religius, hingga ikut mendorong demokratisasi di Indonesia. Nurcholish terus-menerus membakar bara transformasi dalam tubuh bangsa ini. 

Buku ini merekam berbagai aspek pemikiran Nurcholish Madjid. Sebagian berasal dari Twitter @fileCaknur, sebagian lainnya berasal dari kutipan-kutipan asli pemikiran Nurcholish Madjid. Buku ini menyajikan pemikiran keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan Nurcholish Madjid dalam bentuk yang populer, sehingga bisa diakses oleh banyak pihak yang tertarik pada pemikiran Islam Nurcholish Madjid yang mempunyai visi membangun Indonesia yang berkeadilan, terbuka, dan demokratis. [Sumber: www.mizan.com]

Demokrasi Islam, Mungkinkah?



IDENTITAS BUKU: Penulis: Idris Thaha; Judul Buku: Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais; Editor: Taufiq; Desain Sampul: Yudiarto Iskandar; Tata Letak: Qomar NS; Penerbit: Penerbit Teraju, PT Mizan Publika; Cetakan Pertama: Februari 2005; Jumlah Halaman: xxi + 356; Ukuran Buku: 14 x 20 cm.

REVIEW: Buku ini berusaha menggali pemikiran dua tokoh besar Islam di Indonesia, yakni Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, mengenai hubungan antara Islam dan demokrasi di Indonesia. Pembahasan ini tentu tidak terlepas dari tiga variabel penting yang saling berkaitan, yakni Islam, demokrasi, dan Indonesia. Mengenai kaitan antara dua variabel pertama—Islam dan demokrasi—telah banyak melahirkan diskursus dan perdebatan di kalangan para ulama dan intelektual Muslim di seluruh dunia. Di antara kelompok Muslim ada yang menerima demokrasi, ada pula yang menolaknya, serta ada yang menerima dengan beberapa catatan. Sedangkan dalam konteks Indonesia, ketiga model hubungan tersebut—menerima, menolak, dan menerima dengan catatan—juga sama-sama hidup dan berkembang. Dalam konteks inilah penulis buku ini merasa curious untuk mengetahui di manakah posisi Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais di antara ketiga model tersebut. Bagaimanakah pemikiran dan pandangan kedua tokoh ini mengenai Islam dan demokrasi dalam kaitannya dengan praktik kehidupan politik bangsa Indonesia, tempat mereka hidup dan tinggal. Melalui buku inilah penulis berusaha mengemukakan jawaban-jawabannya.

Penulis membagi buku ini ke dalam enam bab. Bab pertama adalah pembukaan yang berisi pengantar menuju wacana. Bab kedua membahas tentang demokrasi dan sistem Syura dalam Islam. Selanjutnya, dalam bab ketiga penulis menyajikan pembahasan mengenai biografi pemikiran dan aksi politik kedua tokoh. Bab keempat membahas praktik demokrasi di Indonesia, serta pandangan kedua tokoh terhadapnya. Pada bab kelima penulis menjelaskan pemikiran politik kedua tokoh mengenai Islam dan demokrasi. Bab terakhir adalah kesimpulan. Dalam bab ini penulis menyajikan pemikiran kedua tokoh mengenai apa yang disebutnya sebagai “demokrasi religius” ala Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais yang patut diterapkan dalam kehidupan politik-pemerintahan bangsa Indonesia.

Terkait dengan demokrasi, penulis menjelaskan bahwa sebenarnya sistem ini, baik pemikiran teoretis maupun praktiknya, telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Tokoh-tokoh demokrasi Yunani Kuno yang dikenal dalam dunia pemikiran politik kala itu antara lain adalah Solon (638-558 SM), Kleitheus, Periclus (490-429 SM), dan Demosthenes (383-322 SM). Lebih jauh, praktik kehidupan politik-pemerintahan pada masa itu juga telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Pada masa pemerintahan Periclus misalnya, semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, terlibat dalam merumuskan kebijakan publik, serta jaminan akan kebebasan berbicara bagi seluruh rakyat (hlm. 20).

Kemudian pada abad-abad pertengahan, pemikiran dan praktik demokrasi juga mulai masuk dan berkembang di negara-negara Eropa. Ini tidak terlepas dari dua peristiwa penting yang terjadi kala itu, yakni Renaissance (1350-1600) dan Gerakan Reformasi (1500-1650). Renaissance merupakan aliran yang berusaha menghidupkan kembali minat kepada kesusasteraan dan kebudayaan Yunani Kuno. Sedangkan Reformasi adalah aliran yang menyerukan kebebasan beragama dan pemisahan yang tegas antara kekuasaan agama (Gereja) dan Negara. Kedua aliran inilah yang mengantarkan Eropa Barat kepada masa Aufklarung (Abad Pemikiran), liberalisme, serta rasionalisme pada tahun 1650-1800. Lahirlah pada masa-masa ini tokoh-tokoh demokrasi seperti John Lucke, Baron de Montesquieu, dan Jean Jacques Rosseau. Montesquieu adalah pencetus pemikiran Trias Politica, yaitu pemisahaan kekuasaan secara tegas antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Meskipun para ahli berbeda pendapat mengenai definisi demokrasi, namun penulis mengemukakan bahwa ciri khas yang paling fundamental dalam demokrasi adalah keterlibatan warga negara dalam pengambilan keputusan politik. Sedangkan prasyarat yang harus ada sebagai indikator penerapan demokrasi secara empirik adalah: akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekrutmen politik secara terbuka, pemilihan umum, serta jaminan hak-hak dasar bagi seluruh warga negara (hlm. 33).

Jika Barat mempunyai demokrasi, maka Islam juga mempunyai Syura yang dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan demokrasi. Syura (musyawarah) dalam Islam merupakan mekanisme untuk mengambil keputusan atau kebijakan yang terbaik dengan cara mempertimbangkan saran-saran yang ada, serta melibatkan komponen-komponen yang terdapat dalam masyarakat. Syura berasal dari tradisi Arab pra-Islam yang kemudian dilestarikan oleh Islam dengan beberapa perubahan, termasuk landasan teologisnya. Kemudian, sistem ini dipraktikkan oleh Rasulullah dan para Khulafa’ al-Rasyidin pengganti beliau terkait dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan pengelolaan pemerintahan. Landasan hukum dari Syura adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Karena banyaknya manfaat yang terkandung dalam Syura,  penulis berpendapat bahwa pelakanaan Syura merupakan kewajiban bagi setiap manusia, terutama bagi para pemimpin (hlm. 37-38).

Seiring dengan masuknya pemikiran dan budaya Barat ke negara-negara Muslim, maka pemikiran dalam bidang politik-pemerintahan berupa demokrasi juga turut masuk ke negara-negara yang berpenduduk Muslim tersebut. Dalam menyikapi demokrasi, para intelektual Muslim mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Kelompok pertama disebut penulis sebagai golongan ‘konservatif’, di mana mereka menolak keterpaduan antara Islam dan demokrasi. Kelompok kedua adalah golongan ‘liberal’, yang berpandangan bahwa Islam dan demokrasi memiliki keterkaitan yang erat dan berdampingan. Kelompok ketiga adalah golongan ‘moderat’, yang mencoba mencari titik temu antara kedua kelompok sebelumnya dengan mengemukakan adanya persamaan dan perbedaan antara Islam dan demokrasi. Terlepas dari perbedaan pendapat ketiga kelompok tersebut dengan segala argumentasinya, secara substansial demokrasi dan Islam memang memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan. Kesamaannya antara lain adalah: jaminan atas hak-hak dasar tertentu dalam perpolitikan, kedudukan yang sama di hadapan UU, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, keadilan sosial, d.l.l. Sedangkan perbedaannya terletak pada: konsep ‘bangsa’ dalam demokrasi dan konsep ‘ummah’ dalam Islam, tujuan akhir keduanya, serta pemegang otoritas kekuasaan tertinggi. Demikian dikutip oleh penulis dari Dhiya’ al-Din Rais (hlm. 50).

Dalam bab tiga, penulis membahas tentang sejarah hidup dan latar belakang pendidikan yang mendasari pemikiran dan aksi politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais. Nurcholish Madjid lahir dan beranjak remaja di kalangan tradisionalis. Dia pernah mengenyam pendidikan dasar di Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang, yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama (NU), selama beberapa tahun (hlm. 71). Ayahnya adalah seorang kyai ternama yang pada waktu belajar di Pesantren merupakan murid kesayangan K.H. Hasyim Asy’ari, sang pendiri NU. Meskipun demikian, Nurcholish Madjid juga mengenyam pendidikan modern, yakni di Pesantren Modern Gontor, Ponorogo. Pemahaman tentang nilai-nilai dan pemikiran-pemikiran modern juga didapatkan Nurcholish ketika studi di IAIN Jakarta, serta di University of Chichago, Illinois, A.S.  Latar keluarga dan pendidikan awal yang tradisionalis, serta pemahaman terhadap nilai-nilai modernitas di tingkat lanjut itulah yang membentuk karakter pemikiran Nurcholish Madjid mengenai keislaman dan modernitas.

Selain itu, Nurcholish Madjid juga memiliki sederet pengalaman yang panjang dalam mengelola organisasi, baik dalam ranah kemahasiswaan, intelektual-akademik, kemanusiaan, hingga politik. Bahkan dia pernah menjadi Ketua Umum PB HMI, sebuah organisasi kemahasiswaan yang cukup besar, pada tahun 1966-1970. Basis keilmuan dan intelektualitas yang kuat, serta pengalaman di pelbagai bidang organisasi mengantarkan Nurcholish Madjid untuk terjun di dunia politik. Pada tahun 2003 Nurcholish Madjid sempat mendeklarasikan diri sebagai bakal calon presiden pada Pilpres 2004. Namun, karena pertimbangan tertentu, akhirnya dia batal mengikuti Pilpres. Terkait dengan perpolitikan Indonesia, Nurcholish Madjid melandaskan pemikiran terhadap pengelolaan bangsa Indonesia atas paham pluralisme. Artinya, nilai-nilai positif pluralisme bangsa Indonesia seharusnya menumbuhkan sikap bersama yang sehat dalam kerangka kemajemukan itu sendiri, serta untuk mendukung pengayaan budaya bangsa (hlm. 104).

Berbeda dengan Nurcholish Madjid yang lahir dan beranjak remaja di lingkungan keagamaan yang tradisionalis, M. Amien Rais tumbuh dan berkembang dalam keluarga agamis yang modern. Orang tuanya yang Muhammadiyah tulen mengarahkan pendidikannya pada sekolah-sekolah agama yang berafiliasi kepada Muhammadiyah. Meskipun demikian, dia mendapatkan pendidikan tingginya di universitas-universitas umum, yakni S1 di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan pasca-sarjana di universitas-universitas di Amerika. Selain itu, Amien Rais juga aktif dalam organisasi Muhammadiyah, bahkan sempat menjadi ketua umumnya. Latar akademisi yang bagus dan pengalaman menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah tersebut akhirnya mengantarkannya terjun di dunia politik dengan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) pada tahun 1998. Pemikiran sosial-politik yang selalu ditekankan oleh Amien Rais adalah ajarannya mengenai ‘tauhid sosial’. Tauhid sosial ini berarti pembebasan yang radikal dari tirani dan kezaliman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (hlm. 137). Manusia dan umat yang tauhid-oriented, menurut Amien Rais, memikul kewajiban untuk menegakkan suatu order sosial yang adil dan etis. Ini semua didasari atas pandangan bahwa semua manusia pada hakekatnya diciptakan dalam kedudukan yang sama dan setara. Tak ada satu manusia pun yang lebih superior ataupun lebih inferior atas manusia lainnya.

Pada bab empat penulis mengelaborasi pasang-surut pelaksanaan demokrasi di Indonesia sejak kemerdekaan hingga masa reformasi. Dalam hal ini penulis membagi masa-masa demokrasi di Indonesia menjadi empat periode. Keempat peride itu adalah masa Demokrasi Parlementer (Januari 1950 s.d. Juli 1959), Demokrasi Terpimpin (Juli 1959 s.d. September 1965), Demokrasi Pancasila (Oktober 1965 s.d. Mei 1998), dan Demokrasi Transisi, yakni pasca-reformasi tahun 1998. Dalam keempat masa-masa reformasi tersebut penulis juga menjelaskan peran, partisipasi, dan tanggapan umat Islam atas kondisi pemerintahan tersebut. Misalnya masa Demokrasi Parlementer, Ketua MASYUMI kala itu, yakni M. Natsir, berjasa menyatukan Negara Indonesia dari RIS menjadi NKRI. Karena itulah M. Natsir diangkat menjadi Perdana Menteri pertama dalam sistem Demokrasi Parlementer (hlm. 161). Kemudian pada masa Demokrasi Pancasila yang dikendalikan oleh Pemerintah Orde Baru, penulis mengemukakan tiga bentuk interaksi antara pemerintah dengan umat Islam. Secara umum, umat Islam pada masa itu berada dalam posisi marginal. Partisipasi umat Islam dalam pengelolaan bangsa yang sangat intens pada awal-awal kemerdekaan, pada masa Orde Baru hampir sama sekali dibungkam. Setidaknya ini tampak dari kebijakan pemerintah yang enggan merehabilitasi MASYUMI. Praktis, umat Islam tak bisa mengakses panggung politik praktis dalam bentuk pendirian parpol Islam.

Pasca-tumbangnya Orde Baru, bangsa Indonesia—tak terkecuali umat Islam—mengalami euforia politik yang luar biasa. Tak pelak, partai-partai Islam banyak bermunculan begitu kran kebebasan politik dibuka. Namun pada Pemilu 1999 partai-partai Islam hanya memeroleh sedikit pendukung, masih kalah oleh parpol-parpol beraliran nasionalis-sekuler. Penulis mencatat, pada Pemilu 1999 partai Islam secara keseluruhan hanya meraih 17,7 % suara (hlm. 205). Meskipun demikian, koalisi partai-partai Islam kala itu berhasil mendudukkan wakilnya, K.H. Abdurrahman Wahid, menjadi Presiden RI.

Atas pasang-surut perkembangan demokrasi di Indonesia selama puluhan tahun tersebut, Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais menganggap bahwa itu semua merupakan sebuah trial and error untuk menciptakan bentuk pemerintahan yang ideal. Meskipun demikian, ada saatnya para pemimpin berbuat kesalahan. Misalnya Soekarno yang pada masa Demokrasi Terpimpin mengangkat dirinya sebagai Presiden kseumur hidup. Atau Soeharto yang pada masa Demokrasi Pancasila menyeragamkan kehidupan nasional, khususnya dalam bidang politik, di tengah kondisi bangsa Indonesia yang plural. Karena itu, Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais menilai bahwa uji coba demokrasi selama ini menemukan jalan buntu, bahkan mengalami kegagalan (hlm. 209).

Bertolak dari kegagalan uji coba demokrasi selama beberapa periode tersebut, Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais menawarkan beberapa gagasan, pemikiran, dan aksi politik mereka tentang demokrasi di Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim. Nurcholish Madjid mengajukan 10 platform politik pada tahun 2004 ketika dia bersiap mencalonkan diri sebagai Presiden RI pada Pilpres 2004. Sedangkan Amien Rais mengemukakan 10 kriteria demokrasi/ 10 harapan kepada Pemerintah yang diungkapkannya dalam pengantar sebuah buku yang terbit pada tahun 1986. Dalam buku ini, penulis merangkum gagasan-gagasan kedua tokoh ini menjadi 6 hal. Keenam pokok-pokok pemikiran itu adalah: melibatkan partisipasi rakyat, membuka kebebasan, menegakkan hukum, mewujudkan keadilan sosial, meningkatkan mutu pendidikan, dan menuju masyarakat madani.

Dalam bab penutup, penulis menguraikan sebuah konsep demokrasi yang dicetuskan oleh Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais dalam konteks bangsa Indonesia. Penulis menyebutnya dengan istilah ‘demokrasi religius’. Demokrasi Religius ini diartikan sebagai demokrasi yang sejalan dan mendapatkan rujukannya dari nilai-nilai agama Islam, khususnya tauhid (hlm. 314). Menurut Amien Rais, demokrasi dalam banyak hal telah sejalan dengan nilai-nilai keislaman, misalnya mengenai keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, toleransi, keterbukaan, dan kebebasan. Selain itu, menurut Nurcholish Madjid, Pancasila yang dimiliki bangsa Indonesia secara tidak langsung sebenarnya menyerap nilai-nilai yang ada dalam agama Islam. Sila pertama misalnya, bisa dilacak rujukannya dari ajaran Islam berupa tauhid. Menurutnya, sebagaimana dikutip dari M. Hatta, sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila utama yang menyinari dan menjadi dasar etis atas sila-sila lainnya. Dalam pandangan Nurcholish, sila ini merupakan manifestasi dari iman kepada Tuhan. Sedangkan empat sila lainnya merupakan perwujudan dari amal shalih kepada sesama manusia. [*]

Mengungkap Teori Sosiologi Modern

IDENTITAS BUKU: Penulis: Bernard Raho, SVD; Judul Buku: Teori Sosiologi Modern; Editor: John Wolor; Desain Cover: Sulitno Harahap; Setting: M. Fathur Rahman; Penerbit: Prestasi Pustaka Publisher; Cetakan Pertama: Desember 2007; Jumlah Halaman: ix + 214; Ukuran Buku: 14 x 20,5 cm.


REVIEW: Dalam masyarakat yang masih sederhana, orang berusaha untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di sekitarnya dengan menggunakan mitologi-mitologi atau kepercayaan tertentu. Namun pada masyarakat modern, mitologi tak mampu lagi menjelaskan fenomena-fenomena sosial tersebut. Dengan menggunakan cara berpikir rasional, orang berusaha menjelaskan kejadian-kejadian yang dialami manusia. Salah satu cara untuk menjelaskan fenomena-fenomena sosial tersebut adalah dengan berteori. Teori merupakan usaha untuk menjelaskan kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar kita dengan menggunakan daya nalar. Dalam konteks inilah buku ini hadir di hadapan pembaca. Buku ini memuat sejumlah teori sosiologi yang diharapkan dapat memberikan pencerahan dalam memahami fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita. Isi buku lebih banyak berhubungan dengan teori-teori sosiologi modern secara garis besar tanpa adanya diskursus secara mendetail. Dalam hal ini, pembahasan mengenai teori-teori sosiologi modern memusatkan analisa pada aliran-aliran sosiologi, dan bukan pada pemikiran tokoh-tokoh tertentu dalam ilmu sosiologi sebagaimana menjadi concern teori sosiologi klasik.

Terkait dengan kata “teori” penulis mendefinisikan sebagai satu kegiatan mental dan merupakan satu proses pengembangan ide-ide yang memungkinkan seorang ilmuwan dapat menjelaskan mengapa peristiwa atau hal tertentu bisa terjadi. Menurut penulis, sebagaimana dikutip dari Doyle van Johnson, teori dibangun atas beberapa komponen yang terdiri dari konsep, sistem klasifikasi, proporsi, penjelasan kausal, serta variabel independen dan variabel dependen (hlm. 6). Teori berperan penting dalam lapangan ilmu pengetahuan. Dalam konteks ilmu sosiologi, teori-teori sosiologi membantu para ahli untuk memperoleh kerangka berpikir teoretis dalam menganalisa situasi-situasi sosial yang terjadi. Dengan demikian, teori-teori tersebut dapat menjadi semacam “pisau analisa” untuk mengkaji fenomena sosial yang ada.

Secara spesifik, teori-teori yang dibahas dalam buku ini adalah enam teori sosiologi modern, yakni teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, teori ethnometodologi, serta teori pertukaran sosial. Selain itu, buku ini juga membahas beberapa perkembangan terakhir dalam teori sosiologi modern. Pembahasan ini berisi tiga teori sosiologi termutakhir, yakni teori strukturalisme, teori post-strukturalisme, dan teori sosial post-modern.

Dalam sejarahnya, ilmu sosial atau sosiologi lahir akibat dari beberapa perkembangan sosial yang terjadi pada zamannya. Merujuk pada Ritzer, penulis mengungkap dua kekuatan raksasa yang membidani kelahiran ilmu sosiologi, yakni kekuatan-kekuatan sosial dan kekuatan-kekuatan intelektual atau perkembangan ilmu pengetahuan. Kekuatan-kekuatan sosial tersebut antara lain adalah: revolusi politik yang diawali dengan Revolusi Prancis pada 1789; revolusi industri dan kebangkitan kapitalisme; bangkitnya sosialisme dan urbanisasi; serta perubahan kehidupan keagamaan (hlm. 21-24). Terkait dengan pola kehidupan keagamaan misalnya, melemahnya peran agama dalam kehidupan masyarakat modern memicu para sosiolog untuk mengamati, menjelaskan, menganalisa, sekaligus mencarikan jalan keluarnya. Dalam konteks inilah Emile Durkheim menulis bukunya, The Elementary Forms of Religious Life, dan Max Weber menulis The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism.

Sedangkan kekuatan-kekuatan intelektual yang menjadi cikal-bakal sekaligus pelopor ilmu-ilmu sosiologi pada awalnya muncul di negara-negara Eropa. Penulis mengelompokkan beberapa ilmuwan sosiologi yang lahir dan berkembang di Eropa seperti Prancis, Jerman, Inggris, dan Italia. Di Prancis muncul tokoh-tokoh seperti Claud Henry Saint-simon (1760-1825), Auguste Comte (1798-1857), dan Emile Durkheim (1858-1917). Sedangkan di Jerman muncul tokoh-tokoh sosiologi seperti Karl Marx (1818-1883), Max Weber (1864-1920), dan George Simmel (1858-1918). Demikian juga di Inggris yang memunculkan Herbert Spencer (1820-1902) dan di Italia yang memunculkan Vilfredo Pareto (1848-1923) dan Gaetano Mosca (1858-1923). Oleh penulis, sosiologi yang berkembang di Prancis dicirikan sebagai sosiologi yang konsisten terhadap pentingnya keteraturan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap peristiwa Revolusi Prancis dan aufklarung yang memporakporandakan tatanan sosial yang lama, serta memberikan kebebasan secara lebih kepada akal-budi manusia. Demikian juga Karl Marx yang muncul dengan pemikiran sosialisme yang revolusioner sebagai bentuk reaksi—atau lebih tepatnya perlawanan—terhadap ketimpangan sosial-ekonomi akibat kapitalisme yang tengah marak saat itu (hlm. 28).

Sedangkan di Amerika, berkembangnya ilmu sosiologi di sana ditandai dengan pendirian Departemen Sosiologi untuk pertama kalinya di Universitas Kansas pada tahun 1889. Selanjutnya pada tahun 1892 Albion Small berhijrah ke Universitas Chicago dan mendirikan Departemen Sosiologi di universitas tersebut. Di departemen inilah kajian ilmu sosiologi menjadi semarak, terutama setelah berdirinya aliran sosiologi tersendiri yang disebut dengan The Chicago School. Dari departemen ini pula lahir jurnal ilmiah tentang sosiologi yang bernama Journal of Sociology, dan dibentuk pula di sana perkumpulan para ahli sosiologi se-Amerika dengan nama American Sociological Society atau American Sociological Association (hlm. 36).

Tokoh-tokoh utama yang menyokong aliran The Chicago School adalah W.I. Thomas, Robert Park, Charles Horton Cooley, dan George Herbert Mead. Aliran The Chicago School mencapai puncaknya pada tahun 1920-an dan pelan-pelan memudar sejak tahun 1930-an ketika Herbert Mead meninggal dan Robert Park meninggalkan Universitas Chicago. Pasca-menurunnya aliran The Chicago School, perkembangan sosiologi selanjutnya berpusat di Universitas Harvard. Dan jika Universitas Chicago terkenal dengan produk pemikirannya berupa teori interaksionisme simbolik, maka Universitas Harvard mempunyai produk yang khas berupa teori fungsionalisme struktural. Sementara itu, secara perlahan-lahan teori kritis yang dipelopori oleh Frankfurt School juga memasuki Amerika. Teori kritis ini mencapai puncak kepopulerannya di Amerika pada tahun 1960-an.

Terkait dengan pembahasan utama, teori pertama yang dijelaskan oleh penulis dalam buku ini adalah teori fungsionalisme struktural. Teori ini didefinisikan sebagai salah satu paham atau perspektif dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain, bagian yang satu tak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain. Perubahan yang terjadi pada salah satu bagian akan menyebabkan ketidakseimbangan, sehingga pada gilirannya akan menciptakan perubahan pada bagian lain (hlm. 48).

Salah satu penyokong teori ini yang cukup terkenal adalah duo Kingsley Davis dan Wilbert Moore dengan teorinya tentang stratifikasi sosial. Menurut Moore, stratifikasi sosial merupakan kenyataan yang universal dan perlu untuk mempertahankan keberlangsungan hidup suatu masyarakat. Tak ada masyarakat yang tak punya sistem startifikasi sosial. Karena itu, stratifikasi adalah suatu keharusan.

Pendukung teori fungsionalisme struktural lainnya adalah Talcott Parsons. Menurutnya, ada empat persyaratan mutlak yang harus dimiliki supaya suatu masyarakat bisa berfungsi. Keempat syarat tersebut dalam istilahnya disebut ‘AGIL’: A adalah Adaptation (penyesuaian diri), G adalah Goal Attainment (pencapaian tujuan), I adalah Integration (penyatuan), dan L adalah Latency atau Pattern Maintenance (pemeliharaan pola-pola yang sudah ada) (hlm. 53-54). Selain itu, dalam teorinya dia juga menjelaskan sistem tindakan, skema tindakan, dan perubahan sosial. Sedangkan Robert King Morton, dalam usaha memperbaiki teori yang dicetuskan gurunya Talcott Parsons, mengemukakan pokok-pokok pikiran baru seperti teori taraf menengah, distingsi, fungsi manifes, fungsi laten, dan peringkat peran (role set).

Teori kedua yang dibahas dalam buku ini adalah teori konflik. Teori ini didefinisikan sebagai salah satu perspektif dalam ilmu sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, di mana komponen yang satu berusaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memeroleh kepentingan sebesar-besarnya (hlm. 71). Secara substansial sebenarnya teori ini sama dengan teori fungsionalisme struktural. Letak perbedaannya adalah pada goal atau tujuan akhir dari masing-masing komponen dalam masyarakat tersebut. Pada fungsionalisme struktural, tujuan akhir dari fungsional masing-masing komponen adalah untuk menciptakan sebuah fungsi sosial bersama secara selaras dan saling ketergantungan. Sedangkan pada teori konflik, tujuan akhir masing-masing kelompok dalam masyarakat adalah untuk mencapai kepentingan kelompok mereka masing-masing dengan cara penaklukan, sehingga akan dapat menciptakan ketidakselarasan bahkan konflik. Para ilmuwan yang turut menyokong teori ini antara lain adalah Karl Marx, Ralf Dahrendorf, Jonathan Turner, Lewis Coser, para pencetus Frankfurt School (Max Horkheimer, Theodor Adorno, Erich Fromm, Herbert Marcuse, dan Jurgen Habermas), serta C. Wright Mills.

Teori selanjutnya yang dibahas dalam buku ini adalah teori interaksionisme simbolik. Perspektif ini memusatkan perhatiannya pada analisa hubungan antarpribadi. Individu dipandang sebagai pelaku yang menafsirkan, menilai, mendefinisikan, dan bertindak (hlm. 95-96). Teori in berkembang menjadi satu perspektif dalam sosiologi atas usaha dua teoretikus sosiologi terkenal, yaitu George Herbert Mead dan Herbert Blumer. Mead adalah pencetus teori ini, sedangkan Blumer yang tak lain adalah murid Mead, adalah pengembangnya. Prinsip-prinsip dasar interaksionisme simbolik sebagaimana dicetuskan oleh Blumer dan kawan-kawannya adalah: kemampuan untuk berpikir, aktivitas berpikir dan berinteraksi, pembelajaran makna-makna simbol, aksi dan interaksi, membuat pilihan-pilihan, self atau diri, serta kelompok-kelompok dan masyarakat.

Penyokong yang lain atas teori interaksionisme simbolik ini adalah Erving Goffman. Dalam bukunya, Presentation of Self in Everyday Life, Goffman menjelaskan ketegangan yang terjadi antara seseorang sebagai aspek diri yang spontan (“I”) dan seseorang sebagai aspek diri yang dibebani oleh norma-norma sosial (“Me”). Ketegangan itu terjadi karena ada perbedaan antara keharusan atau ekspektasi orang lain maupun masyarakat atas diri kita, dengan apa yang ingin kita lakukan secara spontan. Dalam konteks ini, manusia di satu sisi bisa berperan secara ideal dan normatif yang digambarkan sebagai peran Front Stage atau bagian depan panggung. Namun di sisi lain dia juga bisa berperan sesuai apa yang menjadi karakter aslinya, yang diistilahkan Goffman sebagai peran Back Stage atau bagian belakang panggung.

Teori fenomenologi adalah teori keempat yang dibahas dalam buku ini. Secara umum, teori ini melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang berada di luar individu. Kenyataan merupakan suatu realitas yang berdiri sendiri di luar sana dan terkadang bisa memengaruhi individu. Dengan kata lain, kenyataan sosial itu tidak bergantung kepada makna yang diberikan oleh individu, melainkan pada kesadaran subyektif si aktor (hlm. 125). Ini tentu adalah sebuah paradigm yang berhadap-hadapan (bertentangan) dengan teori interaksionisme simbolik yang menyatakan bahwa eksistensi realitas sosial sangat bergantung kepada makna yang diberikan oleh individu dan tidak memiliki arti di dalam dirinya sendiri. Tujuan fenomenologi adalah menganalisa dan melukiskan realitas sosial yang hidup sehari-hari sebagaimana disadari oleh aktor itu sendiri. Dalam melakukan studi fenomenologi, seorang peneliti harus mengurungkan (bracketing off) dan meninggalkan semua asumsi atau pengetahuan yang ada tentang struktur sosial, dan mengamati sesuatu secara langsung dan apa adanya.

Para ilmuwan yang turut menyokong teori ini antara lain adalah Edmund Husserl, Alfred Schutz, George Psathas dan Frances Walkler, serta Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Sumbangan Edmund Husserl terhadap fenomenologi antara lain adalah penekanannya terhadap proses-proses abstraksi atas kesadaran, dan kritiknya terhadap ilmu pengetahuan yang menyatakan independensi dan keterpisahan antara dunia fakta dan kesadaran manusia. Sedangkan Alfred Schutz berkontribusi dalam memadukan fenomenologi Husserl dengan teori aksi dari Max Weber dan interaksionisme simbolik dari The Chicago School.
Teori ethnometodologi adalah teori kelima yang menjadi pembahasan buku ini. Teori ini dicetuskan oleh Harold Garfinkel, salah seorang mahasiswa Alfred Schutz yang juga pernah belajar pada Talcott Parsons. Secara harfiyah, ethnometodologi adalah sebuah studi atau ilmu tentang metode yang digunakan oleh orang awam (masyarakat biasa) untuk menciptakan keteraturan atau keseimbangan di dalam situasi di mana mereka berinteraksi. Ethnometodologi bertujuan untuk membuat studi tentang metode yang digunakan oleh orang kebanyakan secara tetap dan terus-menerus dalam mengonstruksi dunia sosial (hlm. 152). Menurut teori ini, struktur sosial merupakan suatu konsep yang berangkat dari kesadaran orang akan struktur itu, dan bukan sesuatu yang berdiri sendiri di luar sana. Akar-akar intelktual teori ini sebenarnya dapat dilacak pad aide-ide yang berasal dari teori interaksionisme simbolik, analisia dramaturgi ala Erving Goffman, dan teori fenomenologi.

Asumsi dasar teori ethnometodologi ini adalah: (1) keteraturan sosial dipertahankan dengan menggunakan teknik-teknik yang memberikan rasa (sense) kepada aktor bahwa mereka menghadapi realitas yang sama; (2) substansi dari realitas yang sama tersebut kurang penting dalam memecahkan masalah keteraturan daripada penerimaan oleh aktor akan sejumlah teknik yang sama. Atas dasar ini, proporsi yang muncul adalah: (1) semakin aktor gagal mengetahui penggunaan teknik interaktif, semakin besar kemungkinan interaksi sosial bisa dipertahankan; (2) semakin interaksi beralih kepada sisi realitas yang berbeda dan diterima begitu saja (taken for granted), semakin besar kemungkinan interaksi terganggu dan kecil kemungkinan keteraturan sosial bisa dipertahankan (hlm. 160).

Keenam adalah teori pertukaran sosial. Teori ini berangkat dari asumsi do ut des yang berarti “saya memberi supaya engkau memberi”. Menurut teori ini, semua konflik di antara manusia bertolak dari skema member dan mendapatkan kembali dalam jumlah yang sama. Dengan kata lain, tingkah laku manusia tersebut didasarkan atas pertimbangan untung dan rugi atau costs and rewards (hlm. 171). Teori ini dikembangkan oleh George Casper Homans, Peter M. Blau, dan Peter Singleman. Namun konsep-konsep dasarnya dapat ditemukan dalam karya-karya George Simmel dan Brosnilaw Malinowski.

Terkait pertukaran sosial, Homans mengemukakan beberapa proporsi untuk menjelaskan tingkah laku sosial yang paling dasar. Proporsi-proporsi tersebut adalah proporsi sukses, proporsi rangsangan atau stimulus, proporsi nilai, proporsi kejenuhan, serta proporsi persetujuan.  Sedangkan Peter M. Blau mencoba menarik analisa Homans tersebut ke dalam konteks yang lebih luas, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat dan komponen-komponen masyarakat lainnya yang lebih luas. Sementara Singleman berkontribusi dalam menganalisa titik konvergensi antara teori interaksionisme simbolik dan teori pertukaran sosial karena eratnya hubungan kedua teori ini.

Kemudian, beberapa perkembangan terakhir dalam ilmu sosiologi modern juga disinggung dalam buku ini. Dalam hal ini, penulis menampilkan tiga teori sosiologi mutakhir, yakni teori strukturalisme, teori post-strukturalisme, dan teori post-modernisme. Strukturalisme disokong oleh para ilmuwan seperti Ferdinand Saussure dan Claude Levi Strauss. Sedangkan post-strukturalisme disokong antara lain oleh Jacques Derrida dan Michael Foucault. Post-modernisme disokong antara lain oleh Frederic Jameson dan Jean Baudrillard. [*]

Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer

IDENTITAS BUKU: Penulis: Dr. Nasihun Amin, M.Ag.; Judul Buku: Dari Teologi Menuju Teoantropologi: Pemikiran Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer; Editor: M. Mukhsin Jamil, M.Ag.; Desain Cover: Mohammad Nor Ichwan; Setting/ Layout: Team Walisongo Press; Penerbit: Walisongo Press; Cetakan Pertama: November 2009; Jumlah Halaman: xii + 136; Ukuran Buku: 14 x 20 cm.

REVIEW: Berangkat dari kegelisahan intelektual penulis menyaksikan ketidakberdayaan teologi, yang notabene bagian dari agama, dalam menyelesaikan pelbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, buku ini hadir di hadapan pembaca. Adakah sesuatu yang salah dengan bangunan teologi yang ada selama ini, sehingga perlu diadakan pemahaman dan konstruksi ulang agar lebih mampu menjawab tantangan zaman? Lantas, konsep teologi yang bagaimana yang dibutuhkan oleh masyarakat pada masa kini? Melalui buku ini penulis menguraikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dalam konteks ini, penulis berusaha menggali pemikiran Asghar Ali Engineer mengenai konsep Teologi Pembebasan. Teologi Pembebasan memastikan bahwa konsep teologi yang selama ini dikenal abstrak dan transenden menjadi bisa dipahami dan diterapkan dalam kerangka dan perspektif yang lebih ”manusiawi”. Dengan demikian, pembahasan-pembahasan yang ada dalam teologi akan dapat menyentuh secara langsung terhadap kebutuhan dan persoalan-persoalan riil manusia. Secara lebih spesifik, Teologi Pembebasan mengupayakan manusia untuk bisa terlepas dari pelbagai tindak ketidakadilan, penindasan, pemiskinan, pembodohan, d.l.l. (hlm. 10).

Untuk mendapatkan gambaran secara utuh atas konsep Teologi Pembebasan ini, penulis membagi buku ini ke dalam enam bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang dan pengantar menuju wacana. Bab kedua memotret perkembangan dan paradigma teologi dalam Islam, kegagalan teologi dalam merespons persoalan aktual, serta solusi atas persoalan ini. Bab tiga menguraikan tentang sosok dan riwayat hidup Asghar Ali Engineer, latar sosial di mana dia hidup, serta kerangka metodologis pemikirannya. Bab empat menguraikan secara rinci tentang konsep Teologi Pembebasan yang dicetuskan oleh Asghar Ali Engineer. Bab lima merupakan analisa penulis yang menjelaskan tentang apa yang disebutnya sebagai teoantropologi. Sedangkan bab enam adalah penutup yang berisi kesimpulan atas seluruh pembahasan, serta saran-saran untuk perbaikan ke depan.

Memasuki bab dua, penulis menyoroti pelbagai kelemahan dan ketidakberdayaan teologi Islam yang ada selama ini mengahadapi tantangan masyarakat modern yang serbakompleks, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Konsep-konsep teologi aliran yang ada dikritik penulis sebagai sebuah produk pemikiran yang hanya relevan pada masanya, tetapi tidak cocok untuk kehidupan masyarakat masa kini. Sebab, perhatian aliran-aliran teologi tersebut difokuskan hanya pada permasalahan yang terkait dengan ketuhanan. Misalnya konsep tentang keadilan yang oleh Mu’tazilah dipahami sebagai perbuatan Tuhan yang selalu dan harus baik. Tuhan tidak mungkin melakukan perbuatan yang tidak baik, dan tidak akan meninggalkan apapun yang sudah menjadi kewajiban-Nya. Demikian juga Asy’ariyah yang memahami konsep keadilan ini sebagai perbuatan Tuhan yang tidak bisa dilawan, ditentang, maupun disalahkan. Keadilan, dengan demikian, adalah hak pererogatif Tuhan yang tak bisa diganggu-gugat. Menurut penulis, konsep ini pada tataran manifestasinya akan menimbulkan kesalahpahamn, bahkan menjadi alat legitimasi bagi praktik-praktik kehidupan yang keliru (hlm. 21). Semua itu pada gilirannya akan mengungkung manusia dalam ketidakberdayaan, kelemahan, dan keterbelakangan dalam segala aspek kehidupan, baik individual maupun sosial.

Bertolak dari keadan tersebut, diperlukan sebuah konsep teologi yang bersifat liberatif. Teologi, dalam tataran kehidupan masa kini, haruslah menyentuh akar persoalan hidup manusia secara riil. Dalam konteks inilah Teologi Pembebasan menjadi alternatif solusi untuk memecah kebuntuan dalam bidang teologi tersebut. Di kalangan Islam, konsep Teologi Pembebasan ini disuarakan antar lain oleh Hassan Hanafi, Ziaul Haq, Asghar Ali Engineer, Farid Essack, moeslim Abdurrahman, d.l.l. Meskipun demikian, konsep ini pada awalnya lahir dari rahim pemikiran Kristen pada akhir tahun 1960-an sebagai reaksi atas kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi di Amerika Latin. Para pencetus awal konsep ini antara lain adalah Leonardo Boff dan Gustavo Gutierrez. Boff memahami Teologi Pembebasan sebagai proses menuju kemerdekaan, baik merdeka dari segala bentuk sistem yang menindas, maupun bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang memungkinkannya untuk menentukan dirinya sendiri, tujuan-tujuan hidupnya, serta pilihan-pilihan poltik, ekonomi, dan kulturnya sendiri (hlm. 27).

Dalam konteks Islam, Farid Essack memaknai Teologi Pembebasan sebagai sebuah pembebasan dari struktur sosial, politik, dan keagamaan yang didasarkan kepada kepatuhan tanpa kritik, serta kebebasan seluruh manusia dari segala bentuk ketidakadilan dan eksploitasi, termasuk yang disebabkan oleh ras, gender, kelas, dan agama (hlm. 30). Menurut penulis, konsep teologi ini termasuk ke dalam paradigma teologi transformatif di antara ketiga paradigma lainnya.

Asghar Ali Engineer, dalam konteks Teologi Pembebasan ini, adalah salah satu pelopor. Pemikirannya mengenai konsep teologi ini tak terlepas dari latar belakang keluarga, latar kehidupan sosial, dan pemikiran-pemikiran yang dipelajarinya, baik mengenai keislaman maupun keilmuan-keilmuan lainnya. Terlahir di kalangan keluarga Syi’ah Isma’iliyah, Asghar kecil memeroleh pengajaran-pengajaran keagamaannya dari sang ayah secara tradisional. Bekal pengetahuan tentang Islam dan bahasa-bahasa asing dari sang ayah tersebut menjadi modal yang sangat berharga bagi Asghar dalam mengonstruksi pemikiran-pemikiran dan aksinya. Selain itu, dia juga aktif di pelbagai organisasi sosial dan akademik-inelektual. Sebagai aktivis sosial-keagamaan, dia juga gigih memperjuangkan pembebasan, antara lain dalam bidang hak asasi manusia, hak-hak perempuan, pembelaan rakyat tertindas, perdamaian etnis dan agama, rehabilitasi lingkungan, d.l.l. (hlm. 43). Latar sosial masyarakatnya yang masih diliputi dengan ketidakadilan, penindasan, diskriminasi, dan keterbelakangan, menjadi pendorong yang sangat kuat baginya untuk merumuskan pemikiran dan aksinya mengenai pembebasan dari kondisi-kondisi tersebut.

Maka, menggunakan kerangka metodologi hermeneutika dan filsafat praksis, Asghar Ali Engineer merumuskan pemikirannya mengenai Teologi Pembebasan ini. Penggunaan metode hermeneutika dalam pemikiran Asghar terlihat pada konsistensinya dalam memulai pembahasan sebuah tema dengan menyinggung konteks sosial-historis kemunculan konsep-konsep keagamaan dan konteks skarang untuk memahami pelbagai ajaran agama (hlm. 56).

Dalam konteks al-Qur’an, pemakaian metode ini didasarkan pada keyakinan bahwa al-Qur’an tidak bisa dipahami secara teologis an sich tanpa melihat kerangka sosiologis yang melingkupinya. Sedangkan penggunaan filsafat praksis sebagai kerangka berpikir Asghar terlihat dari pelbagai tulisannya yang menekankan adanya pengutamaan pada praksis ketimbang teori-teori metafisika. Filsafat praksis adalah sebuah pemikiran yang menitikberatkan pada kesatuan dialektis antara teori dan aksi, teori dan praksis, serta iman dan amal. Praksis, dengan demikian, dipahami sebagai tindakan partisipatif dalam sejarah, serta praktik-praktik yang memperjuangkan berkembangnya kemerdekaan dalam masyarakat.

Selanjutnya pada bagian keempat, penulis menguraikan penjelasan tentang Teologi Pembebasan Islam yang digagas oleh Asghar Ali Engineer. Konsep teologi ini, sebagaimana dikutip penulis dari Asghar, menekankan pada kebebasan, persamaan dan keadilan distribusi, serta menolak keras penindasan, penganiayaan, dan eksploitasi manusia oleh manusia lainnya (hlm. 72). Gagasan Asghar ini sangat terkait dengan latar sosiologis dan kesejarahan atas lahirnya Islam itu sendiri. Menurut Asghar, teologi bukan sekadar aspek keyakinan akan ketuhanan semata, tetapi juga terkait dengan hal-hal praktis yang menyentuh persoalan riil kemanusiaan. Dan jika teologi pada awalnya adalah respons sosial-politik pada masanya, maka Teologi Pembebasan Islam ini juga menjadi respons sosial-politik pada masa sekarang. Islam, menurut Asghar, hadir dalam rangka mengkritisi terhadap kemapanan kekuasaan, baik yang dibangun di atas otoritas politik, ekonomi, maupun agama yang cenderung menindas dan eksploitatif. Islam adalah agama dengan sumber ajaran dan sejarah yang paling kaya, sehingga memungkinkan untuk berkembang menjadi ajaran teologis yang revolusioner dan membebaskan. Islam, di sisi lain, juga menekankan adanya kesatuan kemanusiaan yang tidak diskriminatif, serta menghendaki adanya keadilan dalam seluruh aspek. Keadilan ini, menurut Asghar, hanya bisa direalisasikan jika ada kebebasan.

Sedangkan karakteristik Teologi Pembebasan Islam yang menjadi gagasan Asghar ini adalah: berangkat dari realitas kekinian di dunia ini, kemudian baru dikaitkan dengan kehidupan akhirat; anti terhadap kemapanan atau status quo, baik dalam bidang politik maupun keagamaan; menjadi inspirator ideologis bagi orang-orang yang tertindas untuk menghadapi penindas; menekankan terwujudnya tatanan sosial yang adil, egaliter, dan tidak eksploitatif (hlm. 75-76). Untuk mewujudkan karakteristik-karakteristik tersebut diperlukan beberapa hal, antara lain: meneladani dan menerapkan semangat profetik dan liberasi kenabian Muhammad di Makkah; meneladani teologi-teologi revolusioner yang pernah ada dalam sejarah Islam, baik dalam tataran ide maupun praktis; melakukan interpretasi ulang terhadap ayat-ayat yang selama ini telah, menurut istilah Asghar, “diselewengkan” oleh ulama yang pro kemapanan. Maka, dalam kerangka Teologi Pembebasan Islam ini Asghar mengajukan rumusan ulang terhadap beberapa konsep kunci dalam teologi Islam yang telah mapan, yakni mengenai konsep tauhid-syirik, iman-kufur, adil, dan jihad.

Konsep tauhid misalnya, yang secara original mengacu pada keesaan Allah, dalam konteks Teologi Pembebasan Islam diinterpretasikan sebagai kesatuan seluruh manusia dalam segala hal. Sebuah masyarakat yang bertauhid, dengan demikian, tidak akan membenarkan diskriminasi dalam bentuk apapun, baik yang didasarkan atas ras, agama, kasta, maupun kelas (hlm. 81). Demikian juga konsep tentang iman, dalam hal ini al-iman bi al-ghayb, diinterpretsikan oleh Asghar sebagai keyakinan terhadap potensi-potensi dan kemungkinan-kemungkinan, baik yang terdapat dalam diri manusia maupun alam, yang dapat digunakan untuk perbaikan manusia di masa depan. Dengan demikian, ini akan menjadi inspirasi dan memacu kreativitas manusia untuk menciptakan hal-hal baru.

Dari pemikiran-pemikiran teologis yang digagas oleh Asghar Ali Engineer tersebut, juga konsep-konsep teologi lainnya dalam Islam, tampak bahwa teologi tak lain adalah sebuah gagasan, renungan, dan rumusan pemikiran ketuhanan yang terbentuk sesuai dengan latar historis-sosiologis pada masanya. Dalam konteks Asghar, dia lebih menekankan orientasinya pada aspek kemanusiaan secara praksis karena memang masyarakat pada masanya membutuhkan hal itu. Melalui gagasan Teologi Pembebasan Islam, Asghar, menurut analisa penulis, hendak melakukan perubahan struktur secara fundamental atas teologi. Dia berusaha mengarahkan Teologi Pembebasan Islam sebagai sebuah teologi yang reflektif-sosiologis, dan berorientasi kepada kemanusiaan “saat ini” dan “di sini”. Ini tampak dari pergeseran orientasi teologinya dari Tuhan ke manusia, dari akhirat ke dunia, dari keabadian ke waktu, dari eskatologi ke futurologi, dari takdir kepada kehendak bebas, dan dari teoretis ke tindakan praktis. Dengan kata lain, Asghar ingin mengubah teologi menjadi apa yang disebut penulis sebagai “teoantropologi” (hlm. 108).

Menurut penilaian penulis, Teologi Pembebasan Islam yang digagas oleh Asghar Ali Engineer ini dipengaruhi oleh Marxisme. Hanya saja, terdapat perbedaan yang fundamental antara Asghar dan Marxisme. Rumusan pemikiran Asghar, di satu sisi, berangkat dari kepercayaannya kepada kemampuan yang membebaskan dari agama. Agama, dalam rumusan Teologi Pembebasan Islam Asghar, menjadi inspirator untuk gerakan kebebasan. Sedangkan Marxisme, di sisi lain, justeru menganggap agama sebagai “candu” yang hanya berfungsi sebagai alat legitimasi bagi struktur masyarakat yang tidak adil dan opresif. Agama, dalam pandangan Marxisme, sama sekali tidak akan mampu menjadi kekuatan yang membebaskan rakyat dari belenggu penindasan antarkelas dan eksploitasi oleh pemodal (hlm. 117). Meskipun demikian, pemikiran teologis yang digagas Asghar Ali Engineer ini patut diapresiasi sebagai sebuah mitra dialog dan alternatif teologi atas sistem-sistem teologi yang sudah ada selama ini. [*]