Pencarian

Selasa, 16 April 2013

Mengungkap Teori Sosiologi Modern

IDENTITAS BUKU: Penulis: Bernard Raho, SVD; Judul Buku: Teori Sosiologi Modern; Editor: John Wolor; Desain Cover: Sulitno Harahap; Setting: M. Fathur Rahman; Penerbit: Prestasi Pustaka Publisher; Cetakan Pertama: Desember 2007; Jumlah Halaman: ix + 214; Ukuran Buku: 14 x 20,5 cm.


REVIEW: Dalam masyarakat yang masih sederhana, orang berusaha untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di sekitarnya dengan menggunakan mitologi-mitologi atau kepercayaan tertentu. Namun pada masyarakat modern, mitologi tak mampu lagi menjelaskan fenomena-fenomena sosial tersebut. Dengan menggunakan cara berpikir rasional, orang berusaha menjelaskan kejadian-kejadian yang dialami manusia. Salah satu cara untuk menjelaskan fenomena-fenomena sosial tersebut adalah dengan berteori. Teori merupakan usaha untuk menjelaskan kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar kita dengan menggunakan daya nalar. Dalam konteks inilah buku ini hadir di hadapan pembaca. Buku ini memuat sejumlah teori sosiologi yang diharapkan dapat memberikan pencerahan dalam memahami fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita. Isi buku lebih banyak berhubungan dengan teori-teori sosiologi modern secara garis besar tanpa adanya diskursus secara mendetail. Dalam hal ini, pembahasan mengenai teori-teori sosiologi modern memusatkan analisa pada aliran-aliran sosiologi, dan bukan pada pemikiran tokoh-tokoh tertentu dalam ilmu sosiologi sebagaimana menjadi concern teori sosiologi klasik.

Terkait dengan kata “teori” penulis mendefinisikan sebagai satu kegiatan mental dan merupakan satu proses pengembangan ide-ide yang memungkinkan seorang ilmuwan dapat menjelaskan mengapa peristiwa atau hal tertentu bisa terjadi. Menurut penulis, sebagaimana dikutip dari Doyle van Johnson, teori dibangun atas beberapa komponen yang terdiri dari konsep, sistem klasifikasi, proporsi, penjelasan kausal, serta variabel independen dan variabel dependen (hlm. 6). Teori berperan penting dalam lapangan ilmu pengetahuan. Dalam konteks ilmu sosiologi, teori-teori sosiologi membantu para ahli untuk memperoleh kerangka berpikir teoretis dalam menganalisa situasi-situasi sosial yang terjadi. Dengan demikian, teori-teori tersebut dapat menjadi semacam “pisau analisa” untuk mengkaji fenomena sosial yang ada.

Secara spesifik, teori-teori yang dibahas dalam buku ini adalah enam teori sosiologi modern, yakni teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, teori ethnometodologi, serta teori pertukaran sosial. Selain itu, buku ini juga membahas beberapa perkembangan terakhir dalam teori sosiologi modern. Pembahasan ini berisi tiga teori sosiologi termutakhir, yakni teori strukturalisme, teori post-strukturalisme, dan teori sosial post-modern.

Dalam sejarahnya, ilmu sosial atau sosiologi lahir akibat dari beberapa perkembangan sosial yang terjadi pada zamannya. Merujuk pada Ritzer, penulis mengungkap dua kekuatan raksasa yang membidani kelahiran ilmu sosiologi, yakni kekuatan-kekuatan sosial dan kekuatan-kekuatan intelektual atau perkembangan ilmu pengetahuan. Kekuatan-kekuatan sosial tersebut antara lain adalah: revolusi politik yang diawali dengan Revolusi Prancis pada 1789; revolusi industri dan kebangkitan kapitalisme; bangkitnya sosialisme dan urbanisasi; serta perubahan kehidupan keagamaan (hlm. 21-24). Terkait dengan pola kehidupan keagamaan misalnya, melemahnya peran agama dalam kehidupan masyarakat modern memicu para sosiolog untuk mengamati, menjelaskan, menganalisa, sekaligus mencarikan jalan keluarnya. Dalam konteks inilah Emile Durkheim menulis bukunya, The Elementary Forms of Religious Life, dan Max Weber menulis The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism.

Sedangkan kekuatan-kekuatan intelektual yang menjadi cikal-bakal sekaligus pelopor ilmu-ilmu sosiologi pada awalnya muncul di negara-negara Eropa. Penulis mengelompokkan beberapa ilmuwan sosiologi yang lahir dan berkembang di Eropa seperti Prancis, Jerman, Inggris, dan Italia. Di Prancis muncul tokoh-tokoh seperti Claud Henry Saint-simon (1760-1825), Auguste Comte (1798-1857), dan Emile Durkheim (1858-1917). Sedangkan di Jerman muncul tokoh-tokoh sosiologi seperti Karl Marx (1818-1883), Max Weber (1864-1920), dan George Simmel (1858-1918). Demikian juga di Inggris yang memunculkan Herbert Spencer (1820-1902) dan di Italia yang memunculkan Vilfredo Pareto (1848-1923) dan Gaetano Mosca (1858-1923). Oleh penulis, sosiologi yang berkembang di Prancis dicirikan sebagai sosiologi yang konsisten terhadap pentingnya keteraturan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap peristiwa Revolusi Prancis dan aufklarung yang memporakporandakan tatanan sosial yang lama, serta memberikan kebebasan secara lebih kepada akal-budi manusia. Demikian juga Karl Marx yang muncul dengan pemikiran sosialisme yang revolusioner sebagai bentuk reaksi—atau lebih tepatnya perlawanan—terhadap ketimpangan sosial-ekonomi akibat kapitalisme yang tengah marak saat itu (hlm. 28).

Sedangkan di Amerika, berkembangnya ilmu sosiologi di sana ditandai dengan pendirian Departemen Sosiologi untuk pertama kalinya di Universitas Kansas pada tahun 1889. Selanjutnya pada tahun 1892 Albion Small berhijrah ke Universitas Chicago dan mendirikan Departemen Sosiologi di universitas tersebut. Di departemen inilah kajian ilmu sosiologi menjadi semarak, terutama setelah berdirinya aliran sosiologi tersendiri yang disebut dengan The Chicago School. Dari departemen ini pula lahir jurnal ilmiah tentang sosiologi yang bernama Journal of Sociology, dan dibentuk pula di sana perkumpulan para ahli sosiologi se-Amerika dengan nama American Sociological Society atau American Sociological Association (hlm. 36).

Tokoh-tokoh utama yang menyokong aliran The Chicago School adalah W.I. Thomas, Robert Park, Charles Horton Cooley, dan George Herbert Mead. Aliran The Chicago School mencapai puncaknya pada tahun 1920-an dan pelan-pelan memudar sejak tahun 1930-an ketika Herbert Mead meninggal dan Robert Park meninggalkan Universitas Chicago. Pasca-menurunnya aliran The Chicago School, perkembangan sosiologi selanjutnya berpusat di Universitas Harvard. Dan jika Universitas Chicago terkenal dengan produk pemikirannya berupa teori interaksionisme simbolik, maka Universitas Harvard mempunyai produk yang khas berupa teori fungsionalisme struktural. Sementara itu, secara perlahan-lahan teori kritis yang dipelopori oleh Frankfurt School juga memasuki Amerika. Teori kritis ini mencapai puncak kepopulerannya di Amerika pada tahun 1960-an.

Terkait dengan pembahasan utama, teori pertama yang dijelaskan oleh penulis dalam buku ini adalah teori fungsionalisme struktural. Teori ini didefinisikan sebagai salah satu paham atau perspektif dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain, bagian yang satu tak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain. Perubahan yang terjadi pada salah satu bagian akan menyebabkan ketidakseimbangan, sehingga pada gilirannya akan menciptakan perubahan pada bagian lain (hlm. 48).

Salah satu penyokong teori ini yang cukup terkenal adalah duo Kingsley Davis dan Wilbert Moore dengan teorinya tentang stratifikasi sosial. Menurut Moore, stratifikasi sosial merupakan kenyataan yang universal dan perlu untuk mempertahankan keberlangsungan hidup suatu masyarakat. Tak ada masyarakat yang tak punya sistem startifikasi sosial. Karena itu, stratifikasi adalah suatu keharusan.

Pendukung teori fungsionalisme struktural lainnya adalah Talcott Parsons. Menurutnya, ada empat persyaratan mutlak yang harus dimiliki supaya suatu masyarakat bisa berfungsi. Keempat syarat tersebut dalam istilahnya disebut ‘AGIL’: A adalah Adaptation (penyesuaian diri), G adalah Goal Attainment (pencapaian tujuan), I adalah Integration (penyatuan), dan L adalah Latency atau Pattern Maintenance (pemeliharaan pola-pola yang sudah ada) (hlm. 53-54). Selain itu, dalam teorinya dia juga menjelaskan sistem tindakan, skema tindakan, dan perubahan sosial. Sedangkan Robert King Morton, dalam usaha memperbaiki teori yang dicetuskan gurunya Talcott Parsons, mengemukakan pokok-pokok pikiran baru seperti teori taraf menengah, distingsi, fungsi manifes, fungsi laten, dan peringkat peran (role set).

Teori kedua yang dibahas dalam buku ini adalah teori konflik. Teori ini didefinisikan sebagai salah satu perspektif dalam ilmu sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, di mana komponen yang satu berusaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memeroleh kepentingan sebesar-besarnya (hlm. 71). Secara substansial sebenarnya teori ini sama dengan teori fungsionalisme struktural. Letak perbedaannya adalah pada goal atau tujuan akhir dari masing-masing komponen dalam masyarakat tersebut. Pada fungsionalisme struktural, tujuan akhir dari fungsional masing-masing komponen adalah untuk menciptakan sebuah fungsi sosial bersama secara selaras dan saling ketergantungan. Sedangkan pada teori konflik, tujuan akhir masing-masing kelompok dalam masyarakat adalah untuk mencapai kepentingan kelompok mereka masing-masing dengan cara penaklukan, sehingga akan dapat menciptakan ketidakselarasan bahkan konflik. Para ilmuwan yang turut menyokong teori ini antara lain adalah Karl Marx, Ralf Dahrendorf, Jonathan Turner, Lewis Coser, para pencetus Frankfurt School (Max Horkheimer, Theodor Adorno, Erich Fromm, Herbert Marcuse, dan Jurgen Habermas), serta C. Wright Mills.

Teori selanjutnya yang dibahas dalam buku ini adalah teori interaksionisme simbolik. Perspektif ini memusatkan perhatiannya pada analisa hubungan antarpribadi. Individu dipandang sebagai pelaku yang menafsirkan, menilai, mendefinisikan, dan bertindak (hlm. 95-96). Teori in berkembang menjadi satu perspektif dalam sosiologi atas usaha dua teoretikus sosiologi terkenal, yaitu George Herbert Mead dan Herbert Blumer. Mead adalah pencetus teori ini, sedangkan Blumer yang tak lain adalah murid Mead, adalah pengembangnya. Prinsip-prinsip dasar interaksionisme simbolik sebagaimana dicetuskan oleh Blumer dan kawan-kawannya adalah: kemampuan untuk berpikir, aktivitas berpikir dan berinteraksi, pembelajaran makna-makna simbol, aksi dan interaksi, membuat pilihan-pilihan, self atau diri, serta kelompok-kelompok dan masyarakat.

Penyokong yang lain atas teori interaksionisme simbolik ini adalah Erving Goffman. Dalam bukunya, Presentation of Self in Everyday Life, Goffman menjelaskan ketegangan yang terjadi antara seseorang sebagai aspek diri yang spontan (“I”) dan seseorang sebagai aspek diri yang dibebani oleh norma-norma sosial (“Me”). Ketegangan itu terjadi karena ada perbedaan antara keharusan atau ekspektasi orang lain maupun masyarakat atas diri kita, dengan apa yang ingin kita lakukan secara spontan. Dalam konteks ini, manusia di satu sisi bisa berperan secara ideal dan normatif yang digambarkan sebagai peran Front Stage atau bagian depan panggung. Namun di sisi lain dia juga bisa berperan sesuai apa yang menjadi karakter aslinya, yang diistilahkan Goffman sebagai peran Back Stage atau bagian belakang panggung.

Teori fenomenologi adalah teori keempat yang dibahas dalam buku ini. Secara umum, teori ini melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang berada di luar individu. Kenyataan merupakan suatu realitas yang berdiri sendiri di luar sana dan terkadang bisa memengaruhi individu. Dengan kata lain, kenyataan sosial itu tidak bergantung kepada makna yang diberikan oleh individu, melainkan pada kesadaran subyektif si aktor (hlm. 125). Ini tentu adalah sebuah paradigm yang berhadap-hadapan (bertentangan) dengan teori interaksionisme simbolik yang menyatakan bahwa eksistensi realitas sosial sangat bergantung kepada makna yang diberikan oleh individu dan tidak memiliki arti di dalam dirinya sendiri. Tujuan fenomenologi adalah menganalisa dan melukiskan realitas sosial yang hidup sehari-hari sebagaimana disadari oleh aktor itu sendiri. Dalam melakukan studi fenomenologi, seorang peneliti harus mengurungkan (bracketing off) dan meninggalkan semua asumsi atau pengetahuan yang ada tentang struktur sosial, dan mengamati sesuatu secara langsung dan apa adanya.

Para ilmuwan yang turut menyokong teori ini antara lain adalah Edmund Husserl, Alfred Schutz, George Psathas dan Frances Walkler, serta Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Sumbangan Edmund Husserl terhadap fenomenologi antara lain adalah penekanannya terhadap proses-proses abstraksi atas kesadaran, dan kritiknya terhadap ilmu pengetahuan yang menyatakan independensi dan keterpisahan antara dunia fakta dan kesadaran manusia. Sedangkan Alfred Schutz berkontribusi dalam memadukan fenomenologi Husserl dengan teori aksi dari Max Weber dan interaksionisme simbolik dari The Chicago School.
Teori ethnometodologi adalah teori kelima yang menjadi pembahasan buku ini. Teori ini dicetuskan oleh Harold Garfinkel, salah seorang mahasiswa Alfred Schutz yang juga pernah belajar pada Talcott Parsons. Secara harfiyah, ethnometodologi adalah sebuah studi atau ilmu tentang metode yang digunakan oleh orang awam (masyarakat biasa) untuk menciptakan keteraturan atau keseimbangan di dalam situasi di mana mereka berinteraksi. Ethnometodologi bertujuan untuk membuat studi tentang metode yang digunakan oleh orang kebanyakan secara tetap dan terus-menerus dalam mengonstruksi dunia sosial (hlm. 152). Menurut teori ini, struktur sosial merupakan suatu konsep yang berangkat dari kesadaran orang akan struktur itu, dan bukan sesuatu yang berdiri sendiri di luar sana. Akar-akar intelktual teori ini sebenarnya dapat dilacak pad aide-ide yang berasal dari teori interaksionisme simbolik, analisia dramaturgi ala Erving Goffman, dan teori fenomenologi.

Asumsi dasar teori ethnometodologi ini adalah: (1) keteraturan sosial dipertahankan dengan menggunakan teknik-teknik yang memberikan rasa (sense) kepada aktor bahwa mereka menghadapi realitas yang sama; (2) substansi dari realitas yang sama tersebut kurang penting dalam memecahkan masalah keteraturan daripada penerimaan oleh aktor akan sejumlah teknik yang sama. Atas dasar ini, proporsi yang muncul adalah: (1) semakin aktor gagal mengetahui penggunaan teknik interaktif, semakin besar kemungkinan interaksi sosial bisa dipertahankan; (2) semakin interaksi beralih kepada sisi realitas yang berbeda dan diterima begitu saja (taken for granted), semakin besar kemungkinan interaksi terganggu dan kecil kemungkinan keteraturan sosial bisa dipertahankan (hlm. 160).

Keenam adalah teori pertukaran sosial. Teori ini berangkat dari asumsi do ut des yang berarti “saya memberi supaya engkau memberi”. Menurut teori ini, semua konflik di antara manusia bertolak dari skema member dan mendapatkan kembali dalam jumlah yang sama. Dengan kata lain, tingkah laku manusia tersebut didasarkan atas pertimbangan untung dan rugi atau costs and rewards (hlm. 171). Teori ini dikembangkan oleh George Casper Homans, Peter M. Blau, dan Peter Singleman. Namun konsep-konsep dasarnya dapat ditemukan dalam karya-karya George Simmel dan Brosnilaw Malinowski.

Terkait pertukaran sosial, Homans mengemukakan beberapa proporsi untuk menjelaskan tingkah laku sosial yang paling dasar. Proporsi-proporsi tersebut adalah proporsi sukses, proporsi rangsangan atau stimulus, proporsi nilai, proporsi kejenuhan, serta proporsi persetujuan.  Sedangkan Peter M. Blau mencoba menarik analisa Homans tersebut ke dalam konteks yang lebih luas, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat dan komponen-komponen masyarakat lainnya yang lebih luas. Sementara Singleman berkontribusi dalam menganalisa titik konvergensi antara teori interaksionisme simbolik dan teori pertukaran sosial karena eratnya hubungan kedua teori ini.

Kemudian, beberapa perkembangan terakhir dalam ilmu sosiologi modern juga disinggung dalam buku ini. Dalam hal ini, penulis menampilkan tiga teori sosiologi mutakhir, yakni teori strukturalisme, teori post-strukturalisme, dan teori post-modernisme. Strukturalisme disokong oleh para ilmuwan seperti Ferdinand Saussure dan Claude Levi Strauss. Sedangkan post-strukturalisme disokong antara lain oleh Jacques Derrida dan Michael Foucault. Post-modernisme disokong antara lain oleh Frederic Jameson dan Jean Baudrillard. [*]

1 komentar:

  1. Permisi mas, masa dapet buku ini dimana yaa? Saya ingin memilikinya tapi sulit sekali

    BalasHapus