REVIEW: Dalam masyarakat yang masih sederhana, orang berusaha untuk menjelaskan
fenomena yang terjadi di sekitarnya dengan menggunakan mitologi-mitologi atau
kepercayaan tertentu. Namun pada masyarakat modern, mitologi tak mampu lagi
menjelaskan fenomena-fenomena sosial tersebut. Dengan menggunakan cara berpikir
rasional, orang berusaha menjelaskan kejadian-kejadian yang dialami manusia.
Salah satu cara untuk menjelaskan fenomena-fenomena sosial tersebut adalah
dengan berteori. Teori merupakan usaha untuk menjelaskan kejadian-kejadian yang
terjadi di sekitar kita dengan menggunakan daya nalar. Dalam konteks inilah
buku ini hadir di hadapan pembaca. Buku ini memuat sejumlah teori sosiologi
yang diharapkan dapat memberikan pencerahan dalam memahami fenomena-fenomena
sosial yang terjadi di sekitar kita. Isi buku lebih banyak berhubungan dengan
teori-teori sosiologi modern secara garis besar tanpa adanya diskursus secara
mendetail. Dalam hal ini, pembahasan mengenai teori-teori sosiologi modern
memusatkan analisa pada aliran-aliran sosiologi, dan bukan pada pemikiran
tokoh-tokoh tertentu dalam ilmu sosiologi sebagaimana menjadi concern
teori sosiologi klasik.
Terkait dengan kata “teori” penulis mendefinisikan
sebagai satu kegiatan mental dan merupakan satu proses pengembangan ide-ide
yang memungkinkan seorang ilmuwan dapat menjelaskan mengapa peristiwa atau hal
tertentu bisa terjadi. Menurut penulis, sebagaimana dikutip dari Doyle van
Johnson, teori dibangun atas beberapa komponen yang terdiri dari konsep, sistem
klasifikasi, proporsi, penjelasan kausal, serta variabel independen dan
variabel dependen (hlm. 6). Teori berperan penting dalam lapangan ilmu
pengetahuan. Dalam konteks ilmu sosiologi, teori-teori sosiologi membantu para
ahli untuk memperoleh kerangka berpikir teoretis dalam menganalisa
situasi-situasi sosial yang terjadi. Dengan demikian, teori-teori tersebut
dapat menjadi semacam “pisau analisa” untuk mengkaji fenomena sosial yang ada.
Secara spesifik, teori-teori yang dibahas dalam buku ini
adalah enam teori sosiologi modern, yakni teori fungsionalisme struktural,
teori konflik, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, teori
ethnometodologi, serta teori pertukaran sosial. Selain itu, buku ini juga
membahas beberapa perkembangan terakhir dalam teori sosiologi modern.
Pembahasan ini berisi tiga teori sosiologi termutakhir, yakni teori
strukturalisme, teori post-strukturalisme, dan teori sosial post-modern.
Dalam sejarahnya, ilmu sosial atau sosiologi lahir akibat
dari beberapa perkembangan sosial yang terjadi pada zamannya. Merujuk pada
Ritzer, penulis mengungkap dua kekuatan raksasa yang membidani kelahiran ilmu
sosiologi, yakni kekuatan-kekuatan sosial dan kekuatan-kekuatan intelektual
atau perkembangan ilmu pengetahuan. Kekuatan-kekuatan sosial tersebut antara
lain adalah: revolusi politik yang diawali dengan Revolusi Prancis pada 1789; revolusi
industri dan kebangkitan kapitalisme; bangkitnya sosialisme dan urbanisasi;
serta perubahan kehidupan keagamaan (hlm. 21-24). Terkait dengan pola kehidupan
keagamaan misalnya, melemahnya peran agama dalam kehidupan masyarakat modern memicu
para sosiolog untuk mengamati, menjelaskan, menganalisa, sekaligus mencarikan
jalan keluarnya. Dalam konteks inilah Emile Durkheim menulis bukunya, The
Elementary Forms of Religious Life, dan Max Weber menulis The Protestant
Ethics and the Spirit of Capitalism.
Sedangkan kekuatan-kekuatan intelektual yang menjadi
cikal-bakal sekaligus pelopor ilmu-ilmu sosiologi pada awalnya muncul di
negara-negara Eropa. Penulis mengelompokkan beberapa ilmuwan sosiologi yang
lahir dan berkembang di Eropa seperti Prancis, Jerman, Inggris, dan Italia. Di
Prancis muncul tokoh-tokoh seperti Claud Henry Saint-simon (1760-1825), Auguste
Comte (1798-1857), dan Emile Durkheim (1858-1917). Sedangkan di Jerman muncul
tokoh-tokoh sosiologi seperti Karl Marx (1818-1883), Max Weber (1864-1920), dan
George Simmel (1858-1918). Demikian juga di Inggris yang memunculkan Herbert
Spencer (1820-1902) dan di Italia yang memunculkan Vilfredo Pareto (1848-1923)
dan Gaetano Mosca (1858-1923). Oleh penulis, sosiologi yang berkembang di
Prancis dicirikan sebagai sosiologi yang konsisten terhadap pentingnya
keteraturan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap peristiwa Revolusi Prancis
dan aufklarung yang memporakporandakan tatanan sosial yang lama, serta
memberikan kebebasan secara lebih kepada akal-budi manusia. Demikian juga Karl
Marx yang muncul dengan pemikiran sosialisme yang revolusioner sebagai bentuk
reaksi—atau lebih tepatnya perlawanan—terhadap ketimpangan sosial-ekonomi
akibat kapitalisme yang tengah marak saat itu (hlm. 28).
Sedangkan di Amerika, berkembangnya ilmu sosiologi di
sana ditandai dengan pendirian Departemen Sosiologi untuk pertama kalinya di
Universitas Kansas pada tahun 1889. Selanjutnya pada tahun 1892 Albion Small
berhijrah ke Universitas Chicago dan mendirikan Departemen Sosiologi di
universitas tersebut. Di departemen inilah kajian ilmu sosiologi menjadi
semarak, terutama setelah berdirinya aliran sosiologi tersendiri yang disebut
dengan The Chicago School. Dari departemen ini pula lahir jurnal ilmiah
tentang sosiologi yang bernama Journal of Sociology, dan dibentuk pula di
sana perkumpulan para ahli sosiologi se-Amerika dengan nama American
Sociological Society atau American Sociological Association (hlm.
36).
Tokoh-tokoh utama yang menyokong aliran The Chicago
School adalah W.I. Thomas, Robert Park, Charles Horton Cooley, dan George
Herbert Mead. Aliran The Chicago School mencapai puncaknya pada tahun
1920-an dan pelan-pelan memudar sejak tahun 1930-an ketika Herbert Mead
meninggal dan Robert Park meninggalkan Universitas Chicago. Pasca-menurunnya
aliran The Chicago School, perkembangan sosiologi selanjutnya
berpusat di Universitas Harvard. Dan jika Universitas Chicago terkenal dengan
produk pemikirannya berupa teori interaksionisme simbolik, maka Universitas
Harvard mempunyai produk yang khas berupa teori fungsionalisme struktural.
Sementara itu, secara perlahan-lahan teori kritis yang dipelopori oleh Frankfurt
School juga memasuki Amerika. Teori kritis ini mencapai puncak
kepopulerannya di Amerika pada tahun 1960-an.
Terkait dengan pembahasan utama, teori pertama yang
dijelaskan oleh penulis dalam buku ini adalah teori fungsionalisme struktural. Teori
ini didefinisikan sebagai salah satu paham atau perspektif dalam sosiologi yang
memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang
saling berhubungan satu sama lain, bagian yang satu tak dapat berfungsi tanpa
ada hubungan dengan bagian yang lain. Perubahan yang terjadi pada salah satu
bagian akan menyebabkan ketidakseimbangan, sehingga pada gilirannya akan
menciptakan perubahan pada bagian lain (hlm. 48).
Salah satu penyokong teori ini yang cukup terkenal adalah
duo Kingsley Davis dan Wilbert Moore dengan teorinya tentang stratifikasi
sosial. Menurut Moore, stratifikasi sosial merupakan kenyataan yang universal
dan perlu untuk mempertahankan keberlangsungan hidup suatu masyarakat. Tak ada
masyarakat yang tak punya sistem startifikasi sosial. Karena itu, stratifikasi
adalah suatu keharusan.
Pendukung teori fungsionalisme struktural lainnya adalah
Talcott Parsons. Menurutnya, ada empat persyaratan mutlak yang harus dimiliki
supaya suatu masyarakat bisa berfungsi. Keempat syarat tersebut dalam istilahnya
disebut ‘AGIL’: A adalah Adaptation (penyesuaian diri), G adalah Goal
Attainment (pencapaian tujuan), I adalah Integration (penyatuan),
dan L adalah Latency atau Pattern Maintenance
(pemeliharaan pola-pola yang sudah ada) (hlm. 53-54). Selain itu, dalam
teorinya dia juga menjelaskan sistem tindakan, skema tindakan, dan perubahan
sosial. Sedangkan Robert King Morton, dalam usaha memperbaiki teori yang
dicetuskan gurunya Talcott Parsons, mengemukakan pokok-pokok pikiran baru
seperti teori taraf menengah, distingsi, fungsi manifes, fungsi laten, dan
peringkat peran (role set).
Teori kedua yang dibahas dalam buku ini adalah teori
konflik. Teori ini didefinisikan sebagai salah satu perspektif dalam ilmu
sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri
dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang mempunyai kepentingan yang
berbeda-beda, di mana komponen yang satu berusaha untuk menaklukkan komponen
yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memeroleh kepentingan
sebesar-besarnya (hlm. 71). Secara substansial sebenarnya teori ini sama dengan
teori fungsionalisme struktural. Letak perbedaannya adalah pada goal
atau tujuan akhir dari masing-masing komponen dalam masyarakat tersebut. Pada
fungsionalisme struktural, tujuan akhir dari fungsional masing-masing komponen
adalah untuk menciptakan sebuah fungsi sosial bersama secara selaras dan saling
ketergantungan. Sedangkan pada teori konflik, tujuan akhir masing-masing
kelompok dalam masyarakat adalah untuk mencapai kepentingan kelompok mereka
masing-masing dengan cara penaklukan, sehingga akan dapat menciptakan
ketidakselarasan bahkan konflik. Para ilmuwan yang turut menyokong teori ini
antara lain adalah Karl Marx, Ralf Dahrendorf, Jonathan Turner, Lewis Coser,
para pencetus Frankfurt School (Max Horkheimer, Theodor Adorno, Erich
Fromm, Herbert Marcuse, dan Jurgen Habermas), serta C. Wright Mills.
Teori selanjutnya yang dibahas dalam buku ini adalah
teori interaksionisme simbolik. Perspektif ini memusatkan perhatiannya pada
analisa hubungan antarpribadi. Individu dipandang sebagai pelaku yang
menafsirkan, menilai, mendefinisikan, dan bertindak (hlm. 95-96). Teori in
berkembang menjadi satu perspektif dalam sosiologi atas usaha dua teoretikus
sosiologi terkenal, yaitu George Herbert Mead dan Herbert Blumer. Mead adalah
pencetus teori ini, sedangkan Blumer yang tak lain adalah murid Mead, adalah
pengembangnya. Prinsip-prinsip dasar interaksionisme simbolik sebagaimana
dicetuskan oleh Blumer dan kawan-kawannya adalah: kemampuan untuk berpikir,
aktivitas berpikir dan berinteraksi, pembelajaran makna-makna simbol, aksi dan
interaksi, membuat pilihan-pilihan, self atau diri, serta kelompok-kelompok
dan masyarakat.
Penyokong yang lain atas teori interaksionisme simbolik
ini adalah Erving Goffman. Dalam bukunya, Presentation of Self in Everyday
Life, Goffman menjelaskan ketegangan yang terjadi antara seseorang sebagai
aspek diri yang spontan (“I”) dan seseorang sebagai aspek diri yang dibebani
oleh norma-norma sosial (“Me”). Ketegangan itu terjadi karena ada perbedaan
antara keharusan atau ekspektasi orang lain maupun masyarakat atas diri kita,
dengan apa yang ingin kita lakukan secara spontan. Dalam konteks ini, manusia
di satu sisi bisa berperan secara ideal dan normatif yang digambarkan sebagai
peran Front Stage atau bagian depan panggung. Namun di sisi lain dia
juga bisa berperan sesuai apa yang menjadi karakter aslinya, yang diistilahkan
Goffman sebagai peran Back Stage atau bagian belakang panggung.
Teori fenomenologi adalah teori keempat yang dibahas
dalam buku ini. Secara umum, teori ini melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu
yang berada di luar individu. Kenyataan merupakan suatu realitas yang berdiri
sendiri di luar sana dan terkadang bisa memengaruhi individu. Dengan kata lain,
kenyataan sosial itu tidak bergantung kepada makna yang diberikan oleh
individu, melainkan pada kesadaran subyektif si aktor (hlm. 125). Ini tentu
adalah sebuah paradigm yang berhadap-hadapan (bertentangan) dengan teori
interaksionisme simbolik yang menyatakan bahwa eksistensi realitas sosial
sangat bergantung kepada makna yang diberikan oleh individu dan tidak memiliki
arti di dalam dirinya sendiri. Tujuan fenomenologi adalah menganalisa dan
melukiskan realitas sosial yang hidup sehari-hari sebagaimana disadari oleh aktor
itu sendiri. Dalam melakukan studi fenomenologi, seorang peneliti harus mengurungkan
(bracketing off) dan meninggalkan semua asumsi atau pengetahuan yang ada
tentang struktur sosial, dan mengamati sesuatu secara langsung dan apa adanya.
Para ilmuwan yang turut menyokong teori ini antara lain
adalah Edmund Husserl, Alfred Schutz, George Psathas dan Frances Walkler, serta
Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Sumbangan Edmund Husserl terhadap
fenomenologi antara lain adalah penekanannya terhadap proses-proses abstraksi
atas kesadaran, dan kritiknya terhadap ilmu pengetahuan yang menyatakan
independensi dan keterpisahan antara dunia fakta dan kesadaran manusia. Sedangkan
Alfred Schutz berkontribusi dalam memadukan fenomenologi Husserl dengan teori
aksi dari Max Weber dan interaksionisme simbolik dari The Chicago School.
Teori ethnometodologi adalah teori kelima yang menjadi
pembahasan buku ini. Teori ini dicetuskan oleh Harold Garfinkel, salah seorang
mahasiswa Alfred Schutz yang juga pernah belajar pada Talcott Parsons. Secara
harfiyah, ethnometodologi adalah sebuah studi atau ilmu tentang metode yang
digunakan oleh orang awam (masyarakat biasa) untuk menciptakan keteraturan atau
keseimbangan di dalam situasi di mana mereka berinteraksi. Ethnometodologi bertujuan
untuk membuat studi tentang metode yang digunakan oleh orang kebanyakan secara
tetap dan terus-menerus dalam mengonstruksi dunia sosial (hlm. 152). Menurut
teori ini, struktur sosial merupakan suatu konsep yang berangkat dari kesadaran
orang akan struktur itu, dan bukan sesuatu yang berdiri sendiri di luar sana.
Akar-akar intelktual teori ini sebenarnya dapat dilacak pad aide-ide yang
berasal dari teori interaksionisme simbolik, analisia dramaturgi ala Erving
Goffman, dan teori fenomenologi.
Asumsi dasar teori ethnometodologi ini adalah: (1)
keteraturan sosial dipertahankan dengan menggunakan teknik-teknik yang
memberikan rasa (sense) kepada aktor bahwa mereka menghadapi realitas
yang sama; (2) substansi dari realitas yang sama tersebut kurang penting dalam
memecahkan masalah keteraturan daripada penerimaan oleh aktor akan sejumlah
teknik yang sama. Atas dasar ini, proporsi yang muncul adalah: (1) semakin
aktor gagal mengetahui penggunaan teknik interaktif, semakin besar kemungkinan
interaksi sosial bisa dipertahankan; (2) semakin interaksi beralih kepada sisi
realitas yang berbeda dan diterima begitu saja (taken for granted),
semakin besar kemungkinan interaksi terganggu dan kecil kemungkinan keteraturan
sosial bisa dipertahankan (hlm. 160).
Keenam adalah teori pertukaran sosial. Teori ini
berangkat dari asumsi do ut des yang berarti “saya memberi supaya engkau
memberi”. Menurut teori ini, semua konflik di antara manusia bertolak dari
skema member dan mendapatkan kembali dalam jumlah yang sama. Dengan kata lain,
tingkah laku manusia tersebut didasarkan atas pertimbangan untung dan rugi atau
costs and rewards (hlm. 171). Teori ini dikembangkan oleh George Casper
Homans, Peter M. Blau, dan Peter Singleman. Namun konsep-konsep dasarnya dapat
ditemukan dalam karya-karya George Simmel dan Brosnilaw Malinowski.
Terkait pertukaran sosial, Homans mengemukakan beberapa
proporsi untuk menjelaskan tingkah laku sosial yang paling dasar.
Proporsi-proporsi tersebut adalah proporsi sukses, proporsi rangsangan atau
stimulus, proporsi nilai, proporsi kejenuhan, serta proporsi persetujuan. Sedangkan Peter M. Blau mencoba menarik
analisa Homans tersebut ke dalam konteks yang lebih luas, yakni
kelompok-kelompok dalam masyarakat dan komponen-komponen masyarakat lainnya
yang lebih luas. Sementara Singleman berkontribusi dalam menganalisa titik
konvergensi antara teori interaksionisme simbolik dan teori pertukaran sosial
karena eratnya hubungan kedua teori ini.
Kemudian, beberapa perkembangan terakhir dalam ilmu
sosiologi modern juga disinggung dalam buku ini. Dalam hal ini, penulis
menampilkan tiga teori sosiologi mutakhir, yakni teori strukturalisme, teori post-strukturalisme, dan teori
post-modernisme. Strukturalisme disokong oleh para ilmuwan seperti Ferdinand
Saussure dan Claude Levi Strauss. Sedangkan post-strukturalisme disokong antara
lain oleh Jacques Derrida dan Michael Foucault. Post-modernisme disokong antara
lain oleh Frederic Jameson dan Jean Baudrillard. [*]
Permisi mas, masa dapet buku ini dimana yaa? Saya ingin memilikinya tapi sulit sekali
BalasHapus