IDENTITAS BUKU: Penulis:
Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D.; Judul Buku: Menggagas Format Pendidikan
Nondikotomik: Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam;
Editor: Agustina Purwantini, M. Adib Abdushomad G.J.A.; Desain Sampul:
Syamsul Falaq; Penerbit: Gama Media; Cetakan I: September 2002; Jumlah
Halaman: xx + 240; Ukuran Buku: 14 x 20 cm.
REVIEW:
Melalui buku ini, penulis hendak menyampaikan pikiran-pikirannya
mengenai konsep pendidikan Islam yang humanis-religius, serta
nondikotomis. Pemikiran dan gagasan-gagasan penulis ini muncul akibat
masih statisnya pendidikan Islam yang dialami oleh masyarakat Muslim.
Terlebih dengan adanya cara berpikir yang dikotomis di kalangan
masyarakat Islam, seperti Islam-sekuler, Timur-Barat, ilmu agama-ilmu
sekuler, dan lain-lain. Pemikiran dikotomis semacam ini merupakan
cerminan inferioritas dan ketiadaan rasa percaya diri oleh umat Islam.
Patut diakui memang bahwa masyarakat Muslim tertinggal dalam hal
pendidikan, ekonomi, politik, dan kebudayaan dibanding negara-negara
Barat. Akan tetapi seyogianya hal ini tidak lantas menghilangkan rasa
percaya diri dan jati diri mereka, yang pada gilirannya justeru akan
memperburuk keadaan. Karena itulah konsep pendidikan Islam yang ada
selama ini perlu dibenahi. Dan penulis, melalui penjelasan dan analisis
yang dilakukan dalam buku ini, berupaya untuk turut mewujudkan
pembenahan-pembenahan tersebut.
Buku ini berusaha mengungkapkan
kembali sejarah pemikiran Islam yang berhubungan dengan perkembangan dan
peta ilmu-ilmu dalam Islam, sekaligus berusaha melacak akar-akar
historis, sebab dan akibat dikotomi ilmu agama dan nonagama, serta
berusaha melacak akar-akar historis terbangunnya humanisme religius
sebagai paradigma pendidikan Islam. Di samping itu, buku ini berusaha
mencari terobosan baru terhadap kejumudan yang terjadi dalam Islamic learning dengan menawarkan humanisme religius sebagai shock therapy terhadap ketidakseimbangan paradigmatik yang berkembang dalam dunia pendidikan Islam.
Penulis
membagi buku ini ke dalam enam bab. Bab pertama menjelaskan tentang
akar-akar permasalahan dalam dunia pendidikan Islam. Bab 2 membahas
tentang landasan ideologis pendidikan Islam. Pembahasan dalam bab ini
mencakup definisi peradaban Islam dan uraiannya yang terkait dengan
pengetahuan intelektualitas Islam, ajaran dasar Islam tentang transmisi
pengetahuan, dan ontologi pendidikan Islam yang tidak mengenal dikotomi.
Bab 3 berisi survei historis terkait dengan munculnya era nondikotomik
dan dikotomik dalam pendidikan Islam. Bab 5 menjelaskan tentang dampak
humanisme religius dalam pendidikan Islam dan perlunya perombakan atas
paradigma pendidikan Islam yang selama ini ada. Bab 6 merupakan penutup
yang berisi rangkuman dan kesimpulan.
Pada awal kelahiran dan
perkembangan Islam (abad 7-11 M.), apa yang dinamakan dengan dikotomi
antara ilmu-ilmu agama dan ilmu nonagama tidak ada. Namun, semenjak abad
12 fenomena dikotomi tersebut muncul dan mulai berkembang di kalangan
umat Islam. Ini dapat dilihat pada Madrasah Nizamiyyah yang popular pada
abad 11, di mana di dalamnya tidak diajarkan ilmu-ilmu nonagama sama
sekali. Model madrasah ini juga diikuti oleh madrasah-madrasah lain di
masa berikutnya di era pemerintahan Mamluk dan Utsmaniyyah (hlm. 6).
Selanjutnya,
fenomena ini terus berlangsung selama berabad-abad hingga saat ini.
Fakta sejarah mengindikasikan bahwa sejak abad 12 hingga kini, kita
melihat adanya kemunduran dalam tradisi belajar yang benar di kalangan
umat Muslimin. Dan itu tak lain disebabkan oleh adanya dikotomi keilmuan
dalam dunia pendidikan Islam. Selain itu, adanya dikotomi antara wahyu
dan alam, serta wahyu dan akal turut menyumbang kemunduran ini (hlm. 9).
Menurut Ismail Raji Al-Faruqi, sebagaimana dikutip penulis,
setidaknya ada empat faktor penyebab kelesuan intelektualisme Islam yang
berhubungan dengan dikotomi. Empat faktor itu adalah proses penyempitan
makna fiqh serta status faqih yang jauh berbeda dengan para pendiri
mazhab, pertentangan antara wahyu dan akal, keterpisahan antara kata dan
perbuatan, serta sekularisme dalam memandang budaya dan agama (hlm. 5).
Ini
tentu paradoks dengan ajaran Islam itu sendiri yang meniadakan dikotomi
dalam hal apapun, termasuk keilmuan. Islam sangat menganjurkan kepada
umatnya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya, sebanyak-banyaknya tanpa
melihat apakah itu ilmu agama atau bukan, ilmu dunia atau akhirat.
Melalui banyak ayat al-Qur’an, Islam menanamkan keyakinan dan memberikan
inspirasi kepada pemeluknya akan arti penting belajar. Bahkan dalam
sebuah ayat, Allah menjanjikan kedudukan yang tinggi dan mulia bagi
orang-orang yang berilmu (Q.S. Al-Mujadalah: 11). Dalam sebuah hadits,
Rasulullah juga memotivasi umat Islam untuk menuntut ilmu ke manapun,
bahkan hingga ke Cina. Catatan sejarah juga telah membuktikan bahwa
generasi-generasi Muslim sejak abad pertama kelahiran Islam hingga jauh
sesudah itu, mempunyai gairah keilmuan yang sangat besar. Hasilnya, kita
sekarang mewarisi segudang ilmu pengetahuan klasik, baik tentang Islam
maupun umum, meliputi hadits, tafsir, teologi, filsafat, kimia,
matematika, astronomi, dan lain-lain. Sebagai agama, Islam benar-benar
telah melahirkan budaya ilmu dan peradaban manusia yang sangat tinggi.
Ini
semua tak terlepas dari ajaran Islam itu sendiri maupun faktor budaya
dan peradaban yang dipraktikkan oleh para pemeluknya. Dalam konteks ini,
penulis mengidentifikasi lima faktor penting yang membedakan budaya
Islam dari budaya-budaya lain. Pertama, konsep tauhid atau kesatuan atas
Tuhan. Kedua, universalitas pesan dan misi peradaban. Ketiga, prinsip
moral yang selalu ditegakkan. Keempat, budaya toleransi yang cukup
tinggi. Kelima, prinsip keutamaan belajar dan memperoleh ilmu (hlm.
36-38).
Dalam Islam, dikotomi-dikotomi di dalam pendidikan yang
ada selama ini sebenarnya tidak mendapatkan tempat. Islam mengajarkan
kesatuan antara dunia dan akhirat, wahyu dan akal, serta agama dan
sains. Dalam sebuah ayat, Al-Qur’an mengidentifikasi orang yang berakal
adalah orang-orang yang berzikir kepada Allah dalam segala kesempatan,
serta merenungkan segala ciptaan Allah di langit dan di bumi. Perenungan
yang mendalam atas Allah (agama) dan alam raya (sains) akan membuat
seseorang kian sadar akan kehadiran Allah. Ini menunjukkan bahwa agama
dan sains bukanlah dua hal yang terpisah dan bertentangan. Sebaliknya,
keduanya merupakan komplemen satu sama lain. Sebab, semua alam raya ini
adalah ciptaan Allah, sekaligus merupakan bukti dan tanda akan
keagungan-Nya. Karena itu, mempelajari dan membaca alam raya—dalam
bentuk sains dan teknologi—merupakan sebuah keniscayaan sebagai sarana
untuk menghayati dan mengagumi keagungan Allah.
Selain itu, Islam
juga melindungi dan merawat sama baiknya antara agama (wahyu) dan akal.
Syariat Islam melindungi dengan ketat atas lima hal yang merupakan
fitrah bagi manusia, yakni akal, harta benda, keluarga,
martabat-kehormatan, nyawa, dan agama (hlm. 47). Dari sini dapat
diindikasikan tidak adanya pembedaan dan dikotomi di dalam Islam.
Menurut
penulis, pendidikan Islam seharusnya memperhatikan dan mengasah potensi
intelektual, sosial, maupun spiritual yang dimiliki oleh manusia.
Menurut Ibn Miskawaih, sebagaimana dikutip penulis, kemampuan
intelektual manusia dapat melahirkan ilmu pengetahuan, rasa malu,
membedakan yang baik dan buruk serta benar dan salah, dan mengolah
dengan bijak kecenderungan positif dan negatif. Pada akhirnya hal itu
akan mendorong manusia untuk mengambil keputusan dengan penuh kesadaran
diri demi sesuatu yang terbaik bagi dirinya. Dengan demikian, proses
pendidikan mengupayakan kesempurnaan eksistensi kita sebagai makhluk
yang paling mulia dengan kesempurnaan jiwa (hlm. 53).
Penulis
berpendapat bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kemunduran umat
Islam, khususnya dalam bidang pendidikan, adalah ketidakseimbangan
pemahaman ajaran habl minallah dan habl minannas.
Karena itulah penulis menawarkan konsep humanisme religius. Konsep ini
meniscayakan kesatuan dan keselarasan antara ajaran-ajaran agama yang
bersifat transenden dengan nilai-nilai kemanusiaan secara luas yang
menjadi pegangan hidup manusia. Dengan humanisme religius ini,
pendidikan Islam tidak akan mengabaikan pentingnya pendidikan alam,
lingkungan, akal, serta pengembangan potensi individu secara maksimal
sesuai dengan ajaran dasar Islam yang tidak membeda-bedakan
elemen-elemen tersebut (hlm. 59-60).
Pendidikan Islam yang
diajarkan Nabi Muhammad juga memberi respons dan solusi positif terhadap
permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan fitrah individu dan
kelompok. Nabi juga meneladankan pendidikan manusia seutuhnya (insan kamil) dengan mendahulukan pembangunan tauhid (character building) serta menawarkan penajaman kepekaan sosial yang bersumber dari wahyu, hati nurani, akal, jiwa, dan realitas sosial (hlm. 62).
Memasuki
bab munculnya era nondikotomik dan dikotomik, penulis menghadirkan
kajian sejarah atas Islam dan peradabannya sejak masa Nabi Muhammad
hingga abad-abad pertengahan. Menurut penulis, lima abad pertama sejak
kelahiran Islam (abad 7-11 M.) dunia pendidikan Islam tidak mengenal
dikotomi dalam keilmuan. Semua ilmu dianggap sama dan sejajar kala itu,
dan karenanya harus dipelajari secara seimbang. Sebuah hadits
meriwayatkan bahwa Rasulullah menganjurkan kepada umatnya untuk mencari
ilmu hingga ke Cina. Padahal Cina kala itu bukan merupakan pusat
keislaman. Riwayat lain juga menyebutkan bahwa Rasulullah pernah
memerintahkan sekretarisnya untuk mempelajari bahasa orang Yahudi (hlm.
75). Kedua riwayat ini menunjukkan bahwa umat Islam seyogianya tidak
hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu-ilmu lainnya
yang bukan berbasis agama.
Menurut penulis, pada masa-masa itu
ilmu agama dan nonagama berdiri secara harmonis, dialogis, dan saling
melengkapi. Ilmu-ilmu agama berkembang lebih dahulu daripada ilmu-ilmu
lain. Hal ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa manusia dan peradabannya
harus dilandasi dengan bangunan keagamaan dan keimanan yang kokoh
sebelum ilmu-ilmu yang lain mewarnai dirinya. Para ilmuwan yang hidup
pada masa nondikotomik ini antara lain adalah Imam Syafi’i dan ketiga
Imam mazhab lainnya (bidang hukum Islam), Al-Bukhari (bidang hadits),
Ibn Ishaq (bidang sejarah), Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina (bidang
filsafat), Al-Razi (bidang fisika dan kimia), dan lain-lain.
Kemajuan
peradaban dan keilmuan yang sangat signifikan ini tidak terlepas dari
peran dan komitmen penguasa dalam mengembangkan keilmuan. Sejarah
mencatat bahwa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah berperan sangat besar
dalam pengembangan keilmuan. Salah satunya adalah dengan pendirian Bayt al-Hikmah pada masa pemerintahan Al-Ma’mun (813-833 M.) dari Dinasti Abbasiyyah. Bayt al-Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat penelitian, penerjemahan, dan pengembangan-pengembangan keilmuan.
Selain itu, Dinasti Fathimiyyah di Mesir juga turut andil dalam mengembangkan budaya akademik dengan mendirikan perpustakaan Dar al-‘Ilm (house of science) atau Dar al-Hikmah.
Perpustakaan ini didirikan oleh Al-Hakim pada tahun 1004 M. Dengan
koleksi tidak kurang dari 1.600.000 buku, perpustakaan ini terbuka bagi
siapapun yang berkepentingan untuk riset dan pengembangan keilmuan.
Koleksi yang terdapat dalam perpustakaan ini antara lain adalah
ilmu-ilmu agama, ilmu pengetahuan umum, serta ilmu-ilmu kuno yg berasal
dari Bizantium. Misalnya al-Qur’an, astronomi, tata bahasa,
leksikografi, kesusastraan, pengobatan, dan lain-lain (hlm. 96-97).
Akan
tetapi era keemasan nondikotomik keilmuan tersebut tidak bisa terus
berlanjut. Penulis menyebutkan munculnya era dikotomik—dan dengan
demikian hilangnya era nondikotomik—ditandai dengan polarisasi yang
tajam antara Sunni dan Syi’ah, antara faksi-faksi dalam Sunni sendiri,
serta ekstremitas dan fanatisme mazhab dan aliran teologi yang
berlebihan. Secara khusus, penulis meneliti dan akhirnya menyimpulkan
bahwa era Madrasah Nizamiyyahlah yang merupakan contoh kasus munculnya
penyakit dikotomi dalam pendidikan (hlm. 100). Di madrasah ini ilmu-ilmu
yang diajarkan hanyalah ilmu agama, seperti fiqh, tauhid, ushul fiqh,
ulum al-Qur’an, hadits, dan lain sebagainya. Bahkan dapat dikatakan
bahwa fiqh merupakan mata kuliah utama di sana, sedangkan semua cabang
ilmu agama yang lain diperkenalkan dalam rangka menopang superioritas
dan penjabaran hukum Islam (hlm. 112). Pendidikan serba-fiqh (fiqh oriented education) adalah ciri yang menonjol dalam pendidikan Sunni Muslim abad ke 11.
Hal
ini tidak terlepas dari kondisi sosial dan politik yang melatarinya.
Dikatakan bahwa tujuan pendirian Madrasah Nizamiyyah adalah untuk
memperkuat ideologi Syafi’i-Asy’ari di satu sisi, dan membendug serangan
dan pengaruh kelompok lain—seperti Hanbaliyyah, Hanafiyyah, Syi’ah, dan
Mu’tazilah—di sisi lain. Ini merupakan sebuah bentuk euforia dari
penguasa kala itu, yakni Nizam al-Mulk, yang merupakan penyokong setia
mazhab Syafi’i-Asy’ari, setelah memperoleh kemenangan yang gemilang dari
lawan-lawan politik sekaligus lawan ideologinya.
Bagaimanapun
juga, dikotomi pendidikan yang terjadi di kalangan masyarakat Islam
selama ini merupakan sebuah kemunduran. Karena itu, mesti ada
upaya-upaya mendasar dan paradigmatik untuk memperbaikinya. Dalam
konteks ini, penulis menjelaskan konsepnya mengenai humanisme religius.
Humanisme religius ini tidak terlepas dari konsep habl minannas. Sebagai agen Tuhan di bumi (khalifatulllah fi al-ardh),
manusia memiliki seperangkat tanggung jawab yang harus dilaksanakan,
baik terhadap sosial maupun lingkungan hidup (hlm. 139). Artinya,
manusia harus berbuat dan memperlakukan secara baik terhadap sesama
manusia di muka bumi maupun terhadap alam tempat mereka hidup.
Dalam
konteks pendidikan, humanisme religius ini didefinisikan sebagai proses
pendidikan yang lebih memerhatikan aspek potensi manusia sebagai
makhluk sosial dan makhluk religius (khalifatullah dan ‘abdullah),
serta sebagai individu yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk
mengembangkan potensi-potensinya (hlm. 135). Humanisme dimaknai sebagai
kekuatan atau potensi individu untuk mengukur dan mencapai ranah
ketuhanan dan penyelesaian permasalahan-permaslahan sosial. Menurut
pandangan ini, individu selalu dalam proses penyempurnaan diri (becoming/ istikmal).
Humanisme
religius tersebut perlu dibangun dan dikembangkan dalam proses
pendidikan Islam di kalangan masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia.
Penulis selanjutnya mengidentifikasi beberapa alasan yang merupakan
motif dan paradigma lama yang hingga saat ini masih menjadi fenomena
sosial. Ini sekaligus mengantarkan pembahasan mengapa paradigma baru
perlu diperkenalkan, dibangun, dan ditegakkan. Alasan-alasan tersebut
adalah: pertama, keberagamaan yang cenderung menekankan hubungan
vertikal dan kesemarakan ritual. Kedua, kesalehan sosial yang masih jauh
dari orientasi masyarakat kita. Ketiga, potensi peserta didik belum
dikembangkan secara proporsional, pendidikan belum berorientasi pada
pengembangan sumber daya manusia atau belum individual-oriented.
Keempat, kemandirian dan tanggung jawab anak didik masih jauh dalam
capaian dunia pendidikan (hlm. 144-153).
Sementara itu, ciri-ciri
pendidikan Islam dengan paradigma humanistik ini dihasilkan dari upaya
refleksi dan rekonstruksi terhadap sejarah Islam yang ada, khususnya
pada masa lima abad pertama sejak lahirnya Islam, serta dari nilai-nilai
normatif Islam, dan dari trend humanisme universal. Ciri-ciri ini
berada dalam tataran approach
yang bersifat aksiomatik dan menawarkan prinsip-prinsip dasar. Menurut
penulis, ada enam hal pokok yang perlu dikembangkan lebih lanjut dalam
pendidikan Islam, yakni common sense
atau akal sehat, individualisme menuju kemandirian, perasaan haus akan
pengetahuan, pendidikan pluralisme, kontekstualisme yang lebih
mementingkan fungsi daripada simbol, dan keseimbangan antara reward dan punishment (hlm. 153-154).
Berdasarkan
atas hal-hal itulah penulis berusaha untuk mengadakan perombakan dan
pembaruan dalam tataran teknis-praktis terhadap elemen-elemen
pembelajaran yang selama ini ada. Pembaruan tersebut meliputi aspek
guru, metode, murid, materi, dan evaluasi. Dalam aspek guru dan metode,
hendaknya guru lebih menekankan pengembangan kreativitas, penajaman hati
nurani dan religiositas siswa, dan meningkatkan kepekaan sosialnya. Ini
dapat dilakukan dengan cara mengenali siswa secara lebih dekat dan
personal. Fokus utama untuk pengembangan metode humanisme religius
adalah sejauhmana guru dapat memahami, mendekati, dan mengembangkan
siswa sebagai individu yang memiliki potensi kekhalifahan dan
potensi-potensi unik sebagai makhluk Allah yang didesain untuk menjadi ahsan taqwim.
Menyangkut
dengan aspek murid, penulis menetapkan enam hal yang harus dipenuhi
siswa untuk mewujudkan humanisme religius ini. Enam hal itu adalah
modal, semangat, waktu yang memadai, petunjuk guru, keuletan atau
kesabaran, serta kecerdasan. Enam hal itu diambil oleh penulis dari
kitab Ta’lim Muta’allim tentang prasyarat yang harus dimiliki oleh pencari ilmu (hlm. 203).
Terkait
dengan aspek materi, penulis menekankan pentingnya materi yang memicu
kreativitas dan moralitas para murid yang terintegrasi ke dalam
materi-materi yang diberikan oleh guru. Penulis juga menganjurkan sistem
reward and punishment yang setimpal kepada murid, dan bukan hanya mementingkan punishment. Dalam konteks pengajaran ideologi ahlussunnah wal jama’ah
(Aswaja) terhadap siswa madrasah dan pesantren di Indonesia, penulis
mengingatkan akan perlunya pengayaan literatur atas materi Aswaja,
terutama yang terkait dengan dimensi historis dan filosofis. Selain itu,
siswa/ santri hendaknya juga diberi ruang untuk mengenal dan
mempelajari mazhab dan ideologi-ideologi lain sebagai perbandingan. Ini
terutama ditujukan untuk siswa setingkat Madrasah Aliyah (hlm. 209-210).
Dalam
aspek evaluasi, konsep humanisme religius menempatkan siswa sebagai
individu yang memiliki otoritas individual, serta mampu mengambil
keputusan yang didasari sikap tanggung jawab sejak dini. Implementasi
dari sikap ini adalah suatu keharusan bahwa siswa diberi kepercayaan
untuk mengevalusi dalam rangka perbaikan ke depan atas apa yang ia lihat
dan hadapi sehari-hari. Selain itu, siswa hendaknya juga dilibatkan
dalam evaluasi terhadap guru. Yang tak kalah penting dari humanisme
religius dalam aspek evaluasi pendidikan ini adalah, evaluasi hendaknya
tidak hanya dilakukan dalam aspek kognitif saja, melainkan juga pada
dimensi afektif dan psikomotorik siswa. Periode evaluasi hendaknya day to day evaluation,
dan bukan hanya pada akhir semester dan midsemester seperti yang ada
selama ini. Dengan evalusi ala konsep humanisme religius ini, baik siswa
maupun guru diharapkan menjadi individu yang memiliki tanggung jawab
vertikal (kepada Tuhan) dan horizontal (kepada lingkungan belajar). [*]
sudah lupa pada (naslah) buku ini, tapi jadi ingat lagi setelah baca ulasannya di blog ini :)
BalasHapusbuku ini bisa menjadi bukti bahwa kyai kyai di Indonesia, kiprahnya dalam pendidikan emang luar biasa
BalasHapus