Jumlah Halaman: 164.
REVIEW: Novel yang diterjemahkan dari judul asli berupa Al-Amir wa al-Darwis
ini berkisah tentang kehidupan seorang sufi kenamaan, Ibrahim ibn
Adham. Dia adalah seorang Raja yang memerintah dan berkuasa penuh atas
KeRajaan Tujuh Kota. Kehidupan istana yang mewah dan serbaada telah
melenakannya dari makna kehidupan yang hakiki. Hari-harinya dipenuhi dengan pesta-pora dan kesenangan-kesenangan
duniawi lainnya. Istana yang ditinggalinya lebih ramai dan meriah pada
malam hari dengan pesta-pesta yang diadakannya. Sang Raja baru beranjak
tidur menjelang pagi, dan bangun saat matahari terbenam. Sampai-sampai ia hampir tak pernah melihat matahari. Hingga pada suatu ketika, datanglah seorang Darwis misterius. Si Darwis akhirnya mengubah kehidupannya seratus delapan puluh derajat.
Buku ini mengajarkan kita tentang hikmah perjalanan kepada Sang Pencipta, kesetiaan, serta pemahaman yang holistik terhadap
semua mahluk ciptaan Tuhan. Semua itu dimulai ketika pada suatu malam
Sang Raja mengadakan sebuah pesta bersama para punggawa keRajaannya. Di
tengah meriahnya pesta datanglah seorang Darwis tua dengan pakaian yang
lusuh bersama anjingnya. Dari dialog yang
dilakukan bersama si Darwis, timbullah kesadaran baru dalam benak Sang
Raja yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Sang Raja misalnya,
begitu terhenyak ketika Si Darwis mengatakan
bahwa meskipun dia bebas dan merdeka, namun sebenarnya dia adalah budak
yang terkekang. Di satu sisi, dia bebas melakukan apa saja yang dia
sukai. Namun di sisi lain, hal ini membuatnya terbelenggu oleh nafsunya.
Dikatakan oleh Si Darwis, “Ketika Engkau merasa
bebas dan merdeka dari Tuhan, maka saat itu juga Kau tertawan oleh
nafsumu, bahkan menjadi hambanya. Jadilah hamba Tuhan, niscaya Engkau
akan terbebas dari belenggu-belenggu nafsumu.”
Sang
Raja pun kemudian sadar atas kesalahan-kesalahan yang telah dia lakukan
selama ini. Dia akhirnya keluar dari istana dan meninggalkan segala
kenikmatan duniawi yang ada di dalamnya. Bersama Si Darwis, Sang
Raja menempuh perjalanan sebagai seorang Darwis yang hidup dengan
sangat sederhana. Setelah dirasa cukup dalam mengantarkan Raja kepada
jalan kehidupan yang diridhai Tuhan, Si Darwis
berpisah dengan Raja dan menghadiahkan anjing kesayangannya kepada Raja.
Anjing itulah yang akan menemani dan menjaganya ke manapun dia pergi.
Hari demi hari dilalui Darwis Ibrahim ibn Adham dengan
kehidupan yang zuhud, ibadah dengan sangat tekun, dan
perenungan-perenungan akan hikmah ketuhanan. Fase-fase dalam kehidupan
para sufi tahap demi tahap juga telah dilaluinya: khauf, Raja’, ridha, hub, syauq, hingga uns. Namun demikian, dia belum juga mencapai puncak tertinggi dalam fase-fase itu, yakni musyahadah, penyaksian terhadap Allah.
Suatu ketika, Darwis ibn Adham bertafakkur dan merenung mengenai anjing yang telah begitu setia menjaganya selama ini. Seringkali dia memberi makan anjingnya itu, tapi
sewaktu-waktu dia tidak mendapatkan sesuatu untuk diberikan kepada
hewan itu. Dengan segala kondisi yang ada itu si anjing tetap setia
mengikuti dan mematuhi perintahnya. Ini, renungnya, berbeda dengan
kondisi hati manusia yang selalu berubah dan berganti-ganti antara cinta
dan benci sesuai dengan pemberian yang mereka terima. “Apakah hati
anjing itu merupakan bagian dari mukjizat Allah? Kita berada di hadapan
seekor anjing yang berfitrah setia, dan kesetiaan itu tidak tergantung
pada pemberian.” Demikian simpulnya.
Sesekali
dia membandingkan antara dirinya dan anjingnya. Si anjing memperoleh
makanan dari tangannya, dan dia selalu setia dan tidak pernah melanggar
perintahnya. Sementara dia telah memakan makanan dari anugerah Sang
Pencipta, namun terkadang masih melanggar aturan-aturan-Nya. Dalam
kondisi demikian, penghargaannya terhadap si anjing semakin besar, tak
memandang lagi bentuk fisik anjing itu. Terlepas dari bentuk fisiknya,
hewan itu menyimpan hikmah penciptaan yang sangat agung. Hikmah untuk
memahami tanda-tanda kebesaran Allah di balik setiap mahluk ciptaan-Nya,
dalam bentuk apapun.
Hewan
itu menyimpan perasaan yang dalam dan misterius, kecintaan yang
terus-menerus tanpa bergantung pada pemberian, kepatuhan yang tidak
bersandar pada pertanyaan tentang manfaat yang akan diperoleh, kejinakan
yang menghilangkan kesepian seorang manusia, dan penjagaan siang
malam—hingga membuat si anjing tidur dengan satu mata terpejam dan satu
lagi terjaga. Semua sifat dan perbuatan itu merasuk ke dalam jiwa si
anjing, lalu menjelma ke dalam bentuk fisiknya. Sampailah ia pada sebuah
pengetahuan baru tentang hikmah di balik setiap ciptaan.
Kisah-kisah
yang mewarnai perjalanan spiritual Ibrahim ibn Adham di buku ini amat
beragam. Di antaranya kisah tentang pengabdian dan kesetiaan anjingnya,
pengorbanan yang dilakukan oleh pembantunya, pengkhianatan dan perebutan
kekuasaan politik oleh puteranya sendiri, serta wasiat-wasiat sufistik
dari para guru yang ditemui ibn Adham sepanjang perjalanan spiritualnya
itu. Ibrahim ibn Adham juga disebut-sebut sebagai quthb al-auliya’ (poros para wali) pada zamannya karena karamah-karamah yang diterimanya dari Allah.
Di atas itu semua, pelajaran penting yang bisa kita petik dari buku ini adalah, sebagai salik
(orang yang menempuh perjalanan menuju Allah) hendaknya seseorang
melepaskan ego pribadinya di hadapan kehendak-kehendak Allah. Tak
selayaknya salik mempunyai keinginan dan kehendak. Yang ada dan
harus dipatuhi secara mutlak adalah kehendak Allah semata. Di samping
itu, ketetapan hati untuk menempuh jalan menuju Allah hendaknya tetap
dipegang teguh dalam kondisi apapun. Sebab, halangan yang menghadang
ketika seseorang berjalan kepada-Nya, pada hakekatnya adalah cobaan yang
menguji komitmennya. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar