IDENTITAS BUKU: Penulis: Dr. Ishrat Hasan Enver; Judul Buku: Metafisika Iqbal: Pengantar untuk Memahami The Reconstruction of Religious Thought in Islam; Judul Asli: The Metaphysics of Iqbal;
Penerjemah: M. Fauzi Arifin; Pengantar: Dr. Syed Zahfarul Hasan;
Editor: Kamdani; Desain Sampul: Nuruddien; Tata Letak: Susanti Y. Utami;
Penerbit: Pustaka Pelajar; Cetakan I: Februari 2004; Jumlah Halaman:
xiv + 134; Ukuran Buku: 12 x 19 cm.
REVIEW: Buku ini merupakan terjemahan dari judul asli berupa The Metaphysics of Iqbal
yang diterbitkan oleh Universitas Islam Aligarh, India. Bertujuan
mengelaborasi pemikiran Muhammad Iqbal, seorang filsuf-penyair asal
India, mengenai metafisika, penulis memfokuskan diri pada
tulisan-tulisan Iqbal tentang filsafat, khususnya yang terdapat dalam
karyanya The Reconstruction of Religious Thought in Islam.
Penjelasan yang disampaikan penulis banyak merujuk kepada pandangan dan
pendapat Iqbal sendiri, baik berupa elaborasi atas pemikirannya maupun
kritik-kritiknya terhadap teori-teori lain. Sebab menurut penulis,
penilaian Iqbal yang negatif (kritik) selalu merupakan pengantar menuju
penilaian yang positif. Ketika Iqbal mengkritik beberapa pandangan, pada
saat yang sama dia mengemukakan arah positif yang di situ pemikirannya
bergerak. Penulis memetakan periodesasi pemikiran Iqbal menjadi dua
tahap, yakni sebelum intuisi dan tahap intuisi. Dalam buku ini penulis
membatasi tentang pemikiran Iqbal pada tahap intuisi. Sebab pada tahap
inilah, menurut penulis, yang membedakan Iqbal dengan para pemikir Barat
maupun filsuf Muslim. Selain itu, penulis juga membahas pengaruh oleh
dan kritik Iqbal terhadap doktrin-doktrin Mctaggart, Bergson, Nietzsche,
Berkeley, Leibniz, dan Kant.
Dalam bab pendahuluan, penulis
memperkenalkan filsafat M. Iqbal sebagai filsafat yang secara esensial
bersifat religius. Iqbal melalui filsafatnya hendak menegaskan
eksistensi Tuhan, realitas Diri, serta kebebasan dan keabadian. Bagi
Iqbal, agama adalah mutlak dan sangat penting. Dan dia hendak menegaskan
kebenaran itu, bukan an sich
melalui teori dan pengalaman, tetapi melalui apa yang disebutnya sebagai
“intuisi”. Meskipun demikian, Iqbal menganggap bahwa pengalaman
inderawi sangat penting sebagai sumber pengetahuan. Akan tetapi, di
balik semua pengalaman inderawi tersebut masih terdapat cakrawala
realitas baru yang transenden, mutlak, dan kekal. Realitas dan
eksistensi yang Mutlak tersebut, beserta kepastian sifat dasarnya, dapat
diperoleh hanya melalui sebuah pengalaman luar biasa yang disebut
sebagai intuisi. Intuisi, dengan demikian, bertujuan untuk memahami
keseluruhan realitas (hlm. 5). Dalam konteks ini, Iqbal berbeda
pandangan dengan para filsuf Yunani, khususnya Plato, yang menyangkal
semua realitas yang nampak dan hanya memercayai dunia ide. Di sisi lain,
dia juga berhadap-hadapan dengan filsafat modern, terutama sejak
Immanuel Kant, yang menitikberatkan pada pengalaman inderawi tanpa
memandang adanya kemungkinan beragam realitas di balik pengalaman
inderawi.
Dalam pencapaian terhadap Yang Mutlak tersebut, Iqbal
bertitik tolak pada Intuisi dari Dirinya sendiri, yakni membawa intuisi
lebih dekat pada pengalaman biasa. Dari Intuisi Diri inilah Iqbal
kemudian bergerak menuju Intuisi Realitas dan Realitas Mutlak. Intuisi
Diri terbuka bagi semua, dan akrab dengan kita dalam pelbagai momen
tindakan dan keputusan penting yang kita ambil. Intuisi Diri dapat
dicapai melalui perenungan terhadap diri sehingga membawa penegasan pada
realitas diri beserta kebebasan dan keabadiannya yang intens. Lebih
jauh, akan membukakan pada kita jalan baru pengetahuan bagi penegasan
eksistensi Tuhan dan pemahaman terhadap hakekat-Nya (hlm. 10). Filsafat
Iqbal, dengan demikian, adalah filsafat keegoan. Keegoan adalah poros
dari semua realitas. Dengan kalimat yang apik, untuk menggambarkan
sistematika buku ini, penulis menyatakan bahwa cara terbaik berhubungan
dengan filsafat Iqbal adalah, pertama-tama mendiskusikan intuisi,
kemudian memulai dengan Diri, dan melewati ketebalan dan kepadatan Dunia
Materi, menuju ke Tuhan.
Pembahasan mengenai intuisi ala Iqbal
tidak terlepas dari diskursus tentang metafisika dan term-term yang
mengitarinya seperti pengetahuan, ruang, waktu, fenoumena, dan noumena yang menjadi concern pembahasan Immanuel Kant. Menurut Kant, eksistensi metafisika—dalam artian sebuah usaha untuk memahami realitas akhir berupa noumena—adalah
tidak mungkin. Sebab, pengetahuan kita terhadap sesuatu ditentukan oleh
ruang dan waktu. Sedangkan keduanya bukanlah realitas obyektif yang
menilai eksistensi terlepas dari subyek. Keduanya hanyalah pemahaman
subyektif kita atas realitas. Maka, bila keberadaan ruang dan waktu
adalah subyektif, dan semua benda berada dalam ruang dan waktu, apa yang
terlihat tentu hanyalah fenoumena. Benda-benda itu sebagaimana mereka ada dalam dirinya sendiri atau noumena,
selalu menghindar dari jangkauan kita. Kita, dengan demikian, tidak
dapat menjangkau realitas secara tuntas. Jadi, metafisika, jika dia
adalah usaha untuk memahami realitas terakhir atau noumena, adalah mustahil. Kant pun kemudian “menarik diri” dari masalah-masalah metafisika (hlm. 13-14).
Terhadap
ide tentang subyektivitas ruang dan waktu, Iqbal sepenuhnya sependapat
dengan Kant. Akan tetapi Iqbal menentang tidak adanya kemungkinan atas
pengetahuan terhadap noumena atau benda-benda dalam dirinya sendiri. Menurut Iqbal, kesimpulan Kant bahwa pengetahuan noumena
tidak mungkin dicapai, bisa benar sejauh itu menyangkut pengalaman pada
level normal. Akan tetapi level normal pengalaman bukanlah satu-satunya
level pengetahuan. Ada tingkatan pengalaman tertentu yang bebas dari
determinasi ruang dan waktu. Sebab, makna ruang dan waktu bervariasi
sesuai dengan tingkatan pelbagai wujud. Pengalaman yang tidak
membutuhkan dimensi spasial-temporal tersebut adalah intuisi. Intuisi
adalah sebuah pengalaman tersendiri yang unik dan berbeda dengan
persepsi maupun pikiran, bahkan melampaui keduanya. Ciri-ciri intuisi
adalah: merupakan pengalaman singkat (immediate experience)
tentang Yang Nyata; berupa perasaan yang hanya dimiliki oleh hati,
bukan milik akal atau intelek; merupakan keseluruhan realitas yang tak
terbagi-bagi dan tak teranalisa; merupakan Person atau Diri yang unik dan transenden; serta meniadakan dimensi waktu yang serial (hlm. 23-29).
Agama
dalam konteks ini merupakan sebuah kesadaran akan adanya Yang Maha
Mutlak yang jauh di atas sana, dan hanya dapat dicapai melalui perangkat
intuisi ini. Menurut Iqbal, esensi agama adalah kerinduan yang bukan
untuk kesempurnaan, tetapi untuk berhubungan langsung dengan Realitas
Tertinggi atau Tuhan tersebut. Intuisi, dengan demikian, merupakan
pengalaman keagamaan yang sangat personal, unik, dan subyektif atas diri
manusia dalam rangka menggapai Realitas Tertinggi. Dan sekalipun
intuisi ini adalah personal dan subyektif, namun dia tetaplah sebuah
pengetahuan yang kongkrit, nyata adanya, serta memiliki “muatan
kognitif” dan bukan sekadar ilusi. Ia menyingkap kemungkinan tersembunyi
tentang kesempurnaan dan pertumbuhan spiritual. Ia juga memiliki
kekuatan yang kokoh mengubah kepribadian subyek pengalaman (hlm. 32-33).
Terkait
dengan Diri, penulis menjelaskan bahwa titik tekan dan dasar filsafat
Iqbal adalah filsafat Diri. Dirilah yang memberi Iqbal jalan menuju
metafisika, karena intuisi Diri yang membuat metafisika mungkin. Diri
adalah realitas yang benar-benar nyata dan keberadaannya terletak dalam
hakikatnya sendiri. Intuisi Diri, dengan demikian, memberikan kepada
kita keyakinan yang kokoh dan langsung atas keberadaan pengalaman kita.
Lebih lanjut, intuisi tidak hanya menguatkan keberadaan Diri, tetapi
juga memperlihatkan kepada kita sifat dasar dan hakikatnya yang
memerintah, bebas, dan abadi. Menururt Iqbal, realitas Diri yang nyata
tersebut dapat dikenali dan dirasakan melalui intuisi secara langsung.
Intuisi ini mungkin muncul pada saat mengambil keputusan-keputusan
besar, tindakan, dan perasan-perasaan yang dalam. Tindakan, usaha, dan
perjuangan, membukakan kepada kita lubuk hati terdalam akan wujud Diri
kita. Diri tersebut merupakan pusat seluruh aktivitas dan tindakan kita,
sekaligus inti kepribadian kita. Kepribadian inilah yang dinamakan Ego.
Keberadaan
diri pada kenyataannya tergantung atas tindakan, pengharapan, dan
hasrat. Hasrta bagi manusia mempunyai kekuatan kreatif. Hasrat
membimbing manusia untuk hidup dan bertindak. Hasrat menumbuhkan wawasan
dan cakrawala baru. Kekuatan hasrat yang memiliki daya cipta ini
diistilahkan oleh Iqbal dengan “Soz” yang merupakan inti dari
kepribadian. Ego tumbuh dan berkembang pada kepribadian yang kuat dan
bertenaga yang terus memancar dari hasrat dan cita-cita. Hasrat menjadi
cinta yang sangat kuat. Cinta kemudian memberikan suatu arti dan
kekuatan hidup baru. Bentuk tertinggi cinta adalah penciptaan
nilai-nilai dan ide-ide, serta usaha untuk merealisasikannya (hlm.
56-57). Namun, hasrat tidak dapat tumbuh, bahkan tidak dapat hidup,
tanpa berhubungan dengan dunia obyektif.
Terkait dengan
kebebasan Ego, Iqbal mengibaratkannya sebagai seorang hakim yang bebas
memutuskan perkara tanpa memihak. Ego mewujud dalam kehendak bebas yang
bisa memutuskan untuk menerima, menolak, ataupun memunculkan pemikiran
yang lain atas apa yang disodorkan oleh pikiran, perasaan, maupun
persepsi. Kehendak, dengan demikian, adalah Ego yang menilai pemikiran.
Dan penilaian adalah bebas. Di sisi lain, Ego adalah sesuatu yang abadi.
Keabadian ini muncul seiring dengan gerakan bebas yang dilakukannya
menuju perwujudan cita-cita dan keinginannya melalui tindakan-tindakan
tertentu. Tindakan memberikan intuisi bahwa Diri adalah abadi. Dalam
tindakan kita, kita tumbuh dan memperkuat kesadaran akan diri kita
sendiri. Lebih lanjut, melalui tindakan sendiri kita dapat
menyempurnakan Diri kita menjadi abadi (hlm. 68-69).
Berhubungan
dengan dunia materi, Iqbal menganggap bahwa ia benar-benar ada dan
nyata. Realitas obyektif seperti yang terlihat oleh kita memang benar
adanya, bukan saja dalam persepsi inderawi, melainkan juga dalam setiap
pemikiran atau pengetahuan. Dualitas subyek dan obyek adalah suatu
keharusan bagi seluruh pengetahuan. Menurut Iqbal, dunia materi tersebut
berupa “rangkaian” kejadian yang saling berhubungan, sebagaimana
dikatakan Einstein, atau seperti “organisme” sebagaimana dinyatakan
Whitehead. Materi, dengan demikian, bukanlah sebuah benda yang kokoh
yang terdapat di dalam ruang (hlm. 75).
Dunia fisik, melalui
analisa Diri, eksis dalam waktu. Dan waktu adalah milik khas Diri.
Karena itu, dunia materi harus dianggap sebagai suatu Diri yang unik dan
hidup. Hakekat dunia materi selalu berubah terus-menerus secara tetap,
bebas, dan dinamis. Kehidupan pada hakekatnya adalah tindakan dan
pergerakan itu sendiri. Diri yang ada dalam alam semesta, menurut Iqbal,
adalah suatu kecenderungan untuk menyendiri dan tumbuh menjadi
individu. Bentuk tertinggi dari kecenderungan tersebut adalah Ego, yang
di situ individu menjadi pusat yang hanya berisi Diri. Ego bertumbuh,
berubah, dan bergerak ke tingkat yang lebih tinggi dengan meningkatkan
tindakan, ketegangan, dan harapan. Setiap atom yang merupakan pembentuk
dunia materi, bagaimanapun juga, meskipun eksistensinya rendah, adalah
Ego. Keseluruhan mahluk, dengan demikian, berlari menuju tangga keegoan
secara bertahap hingga ia mencapai kesempurnaannya dalam diri manusia
(hlm. 86).
Di sisi lain, alam semesta sebagai sesuatu yang hidup
mempunyai sesuatu yang bebas dan kreatif. Ia merupakan satu kesatuan
organik dari kehendak, pemikiran, dan maksud. Alam mempunyai “alasan”
dan “rencana”. Dia secara pasti menuju kepada tujuan tertentu di masa
depan. Dia tumbuh dan berkembang secara konsisten di mana
kemungkinan-kemungkinan pertumbuhan dan perkembangannya yang terdalam
tidak akan pernah diketahui batasnya.
Alam semesta sebagaimana
digambarkan Iqbal di atas adalah sebuah kehidupan kreatif yang
dikendalikan secara personal. Dia adalah Diri atau Ego yang cerdas dan
memiliki tujuan. Alam semesta yang merupakan Ego ini termasuk dalam Ego
yang terbatas. Di luar Ego terbatas masih terdapat Ego Tertinggi. Ego
Tertinggi ini menarik Ego-Ego terbatas ke dalam diri-Nya tanpa
menghilangkan mereka, yakni dengan cara menyerap mereka ke dalam
wujud-Nya (hlm. 104). Dalam diri Ego Tertinggi ini Ego terbatas
menemukan eksistensinya. Ego Tertinggi bersifat transenden, yakni berada
di luar jangkauan pengalaman kita.
Transendensi Ego Tertinggi ini dalam
konteks keagamaan memiliki kedudukan yang sangat vital dan tidak bisa
ditawar, disebabkan: bahwa Realitas Akhir memang sudah seharusnya
bersifat transenden; Realitas Akhir mesti dianggap sebagai sebuah
kepribadian; terdapat kemungkinan untuk berhubungan erat dengan Ego
Mutlak tersebut; serta, kesadaran religius menuntut keabadian ego
terbatas, dalam hal ini manusia, agar dia dapat mendekati Yang Tak
Terbatas. Kepribadian Ego Akhir sebagaimana disebut di atas, mencakup
Maha Kreatif, Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Abadi. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar