IDENTITAS BUKU: Penulis: Prof.
Ronald Alan Lukens-Bull, Ph.D.; Judul Buku: Jihad ala Pesantren di Mata
Antropolog Amerika; Judul Asli: A Peaceful Jihad: Javanese Islamic
Education and Religious Identity Construction; Penerjemah: Prof. H.
Abdurrahman Mas’ud, Ph.D., Najahan Musyafak, Ismail S.M., Sulaiman
Al-Kumayi, Ahmad Maghfurin, Abdul Nasir; Penyunting: Prof. H.
Abdurrahman Mas’ud, Ph.D.; Desain Sampul: Syamsul Falaq; Tata Letak:
Rahmat Janary; Penerbit: Gama Media; Cetakan Pertama: Juli 2004; Jumlah
Halaman: xxiv + 292; Ukuran Buku: 15 x 21 cm.
REVIEW:
Buku ini merupakan disertasi di Arizona State University, A.S. yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari edisi aslinya yang berjudul
A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education and Religious Identity Construction.
Secara umum, buku ini mengungkapkan bagaimana para kyai dan santri
serta pengikutnya di Jawa Timur terlibat dalam gerakan jihad damai
melalui pendidikan dan reformasi kemasyarakatan. Para kyai dan
pengikutnya berusaha membangun sebuah identitas dalam hal kepercayaan
terhadap nilai-nilai keagamaan tradisional, sekaligus pada saat yang
sama menumbuhkan kesadaran terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat
yang mengglobal. Penelitian lapangan dilakukan selama satu tahun, yakni
dari November 1994 hingga Oktober 1995 di beberapa Pondok Pesantren di
Jawa Timur. Pondok Pesantren yang menjadi sampel penelitian adalah:
Pesantren An-Nur II yang terletak di Bululawang, Kabupaten Malang;
Pesantren Tebuireng di Kabupaten Jombang; dan Pesantren Mahasiswa
Al-Hikam di Kota Malang. Selain itu, penulis juga menambahkan dua sampel
Pesantren lainnya yang setipe dengan Al-Hikam, yakni Pondok Mahasiswa
Al-Firdaus dan Pesantren Kampus Ainul Yaqin. Keduanya berlokasi di Kota
Malang.
Penulis membagi buku ini ke dalam tujuh bab. Bab pertama
merupakan pengantar wacana yang berisi tentang globalisasi dan
konstruksi identitas. Bab dua dan tiga membahas mengenai dunia Pesantren
dengan segala komponen dan sistem yang ada di dalamnya, serta tinjauan
makro atas pesantren yang dilihat dalam bingkai organisasional Nahdlatul
Ulama (NU), paham Ahlussunnah wal Jama’ah
(Aswaja), dan bangsa Indonesia. Sedangkan dalam bab empat, lima, dan
enam penulis menguraikan tentang hasil penelitiannya terhadap Pesantren
Tebuireng, An-Nur II, Al-Firdaus, Al-Hikam, dan Ainul Yaqin. Bab ketujuh
merupakan inti, yang berisi tinjauan dan analisa penulis terhadap hasil
penelitian yang telah dilakukan. Dalam hal ini, penulis mengelaborasi
tema Pesantren yang dikaitkan dengan tema jihad damai di era
globalisasi.
Tema besar dalam buku ini adalah pertarungan
pengaruh antara modernisasi dan globalisasi di satu sisi, dengan
nilai-nilai tradisional yang bersifat lokal di sisi lain. Nilai-nilai
tradisional dalam hal ini direpresentasikan kepada lembaga pendidikan
keagamaan yang secara turun-temurun telah ada di Indonesia jauh sebelum
negara ini merdeka, yakni Pondok Pesantren. Dikatakan tradisionalis
karena Pesantren mewarisi tradisi keagamaan dan keilmuan Islam yang
diajarkan oleh para ulama yang bersumber dari ajaran Nabi Muhammad.
Selain itu, lembaga Pesantren secara ramah juga menyerap tradisi-tradisi
dan kultur masyarakat, dalam hal ini Jawa, yang hidup di lingkungan
sekitar Pesantren.
Derasnya arus globalisasi yang datang dari
negara-negara Barat telah menembus sekat-sekat kenegaraan. Dan Pesantren
sebagai realitas sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat
Indonesia tak luput dari perkembangan itu. Dalam konteks masyarakat
Indonesia yang telah terkepung oleh modernisasi itulah, lembaga
Pesantren ditantang untuk menghadapi dan menyikapinya. Pesantren dalam
hal ini berusaha membangun identitas mereka yang khas, bukan saja untuk
kalangan mereka sendiri, melainkan juga untuk bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Ini mereka lakukan dengan menyelaraskan apa yang dibawa
oleh modernisasi dengan nilai-nilai tradisional yang menjadi pegangan
mereka selama ini. Proses ini memfokuskan pada moralitas dan
religiositas sebagai penentu karakteristik-karakteristik identitas.
Masyarakat Pesantren tidak ingin menolak perkembangan ekonomi atau
teknologi, bahkan westernisasi, tetapi mereka berkeinginan untuk
menyiapkan perubahan-perubahan ini dengan fondasi moralitas dan agama
yang kuat (hlm. 14-15).
Berkenaan dengan bab dua yang membahas
mengenai lembaga Pesantren, kyai, dan identitas, penulis
mengidentifikasi Pesantren sebagai Jawa, Indonesia, dan Islam. Pesantren
erat sekali kaitannya dengan Wali Songo yang merupakan pendakwah dan
penyebar Islam di Pulau Jawa. Bentuk awal dari Pesantren adalah mushala
atau masjid. Namun, seiring dengan perkembangan waktu, Pesantren berubah
menjadi bentuk madrasah. Penulis mengemukakan bahwa Pesantren di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, merupakan kombinasi dua hal, yakni
tempat untuk mempelajari dan mempraktikkan mistisisme Islam atau
tasawuf, serta tempat untuk mempelajari keilmuan-keilmuan Islam lainnya
(hlm. 160).
Secara umum, menurut penulis, kurikulum yang ada di Pesantren meliputi empat hal, yakni: ngaji
dan pendidikan agama; pengalaman, pendidikan moral, dan pengabdian;
sekolah dan pendidikan umum; serta keterampilan dan kursus. Pesantren
tradisional (salafiyah) biasanya
memiliki dua kurikulum pertama yang merupakan karakter asli dan khas
Pesantren. Sedangkan Pesantren Modern bisa mencakup keempat kurikulum
tersebut.
Dalam kehidupan Pesantren, kyai merupakan figur utama
yang berperan sangat signifikan dalam mengelola dan mengembangkan
Pesantren. Menurut pandangan penulis, kyai dapat membentuk identitas
kolektif masyarakat dengan bentuk identitas pribadi mereka, yakni
sebagai role model atau contoh
sikap dan tingkah laku. Seorang kyai dalam tradisi Pesantren Jawa
memiliki empat kriteria, yakni: pengetahuan, kekuatan spiritual,
keturunan (baik biologis maupun spiritual), dan moralitas (hlm. 88-89).
Keempat komponen itulah yang mengonstruksi identitas khas kyai, sehingga
menjadikannya sebagai figur sentral, baik dalam internal Pesantren
maupun dalam masyarakat.
Tinjauan yang lebih luas dan makro atas
identitas dunia Pesantren juga dilakukan oleh penulis, yakni dalam
kerangka organisasi NU, paham Aswaja, dan keindonesiaan. Dalam konteks
ini, masyarakat Pesantren berusaha mencari dan memainkan peran-perannya
secara seimbang atas identitas-identitas tersebut. NU dalam hal ini
membentuk identitas dunia Pesantren, terutama lewat penyediaan sebuah
struktur organisasional yang menghubungkan kyai dan Pesantren. Ketika
kyai dan masyarakat Pesantren lain dikaitkan oleh pelbagai macam tujuan,
maka hubungan NU mengaitkan bersama-sama seluruh komunitas. Sebagai
sebuah organisasi, NU menyediakan kesempatan bagi para kyai untuk
memperdebatkan pelbagai isu menghadapi umat Islam Indonesia (hlm. 120).
Di sisi lain, NU mengorganisasi kyai dan Pesantren ke dalam sebuah
kekuatan nasional.
Kemudian dalam konteks paham Aswaja, Pesantren
melalui wadah oranisasionalnya berupa NU mengidentifikasi dirinya
sebagai penganut dan bagian dari komunitas Aswaja secara global dan
secara simultan menyatakan sebagai pewaris agama Islam yang murni.
Menurut penulis, sebagaimana dikutip dari Zamakhsyari Dhofier, ciri-ciri
paham Aswaja dalam konteks Pesantren di Jawa adalah mengikuti ajaran
Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam sisi teologi,
menganut salah satu dari empat mazhab dalam hal yurisprudensi Islam
(fiqih), serta menganut Abu Qasim al-Junaidi dalam sisi tasawuf (hlm.
122-124). Sedangkan dalam kaitannya dengan bangsa Indonesia, Pesantren
menampilkan diri sebagai komponen bangsa yang turut berkontribusi dalam
pembentukan dan perjuangan negara RI. Melalui pendidikan yang
diselenggarakannya, Pesantren juga turut berkontibusi dalam mewarnai
corak kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Dalam bab
mengenai Pesantren Tebuireng, penulis menguji diskurus seputar
pendidikan Pesantren dengan menampilkannya sebagai suatu mikrokosmos
untuk keseluruhan dunia Pesantren. Menurut penulis, Tebuireng selalu
berada di garis depan dalam dialog-dialog tentang Islam, pendidikan, dan
modernitas. Didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899,
Pesantren Tebuireng kini menjadi rujukan dan kiblat dari dunia
Pesantren, khususnya di Pulau Jawa. Gaya, kurikulum, dan praktik-praktik
keagamaan yang ada di dalamnya menjadi model bagi Pesantren lain.
Kurikulum yang diterapkan di Tebuireng adalah ngaji (belajar nilai-nilai
keislaman dan tradisi Pesantren), pengalaman (menerapkannya dalam
keseharian), dan sekolah formal.
Dari penelitian yang
dilakukannya, penulis melihat adanya beberapa visi yang berkompetisi di
internal Pesantren Tebuireng terkait dengan kurikulum pendidikan dan
posisi terhadap pemerintah. Terkait dengan pendidikan, ada faksi yang
menginginkan Tebuireng terus melaju ke arah peningkatan pendidikan
sekuler dengan tetap mempertahankan dasar-dasar keagamaan. Kelompok ini
dipelopori oleh Yusuf Hasyim, putera tertua K.H. Hasyim Asy’ari. Ini
dilakukan sebagai respons terhadap kebutuhan masyarakat yang kian
berkembang. Sedangkan faksi lainnya menginginkan untuk membangun kembali
Tebuireng sebagai pusat pendidikan ulama yang mahir dalam masalah
teologi dan ilmu-ilmu keislaman, serta praktik keagamaan. Faksi ini
dipelopori oleh Gus Isyom yang merupakan cucu K.H. Hasyim Asy’ari (hlm.
156). Terkait dengan visi dan posisi terhadap pemerintah, terdapat Yusuf
Hasyim yang menginginkan Pesantren berafiliasi dengan pemerintah. Faksi
lainnya diperankan oleh Abdurrahman Wahid yang cenderung menjaga jarak
dengan pemerintah.
Pesantren kedua yang dijadikan sampel
penelitian ini adalah Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo yang berada di
Bululawang, Kabupaten Malang. Penulis menggambarkan Pesantren yang
didirikan oleh K.H. Anwar Nur pada tahun 1942 ini sebagai Pesantren yang
tidak terkenal tetapi cukup berhasil dalam menjalankan pendidikan
agamanya. An-Nur menawarkan pendidikan agama yang dikombinasi dengan
pendidikan sekuler. Penambahan pendidikan sekuler bertujuan menyiapkan
lulusan agar dapat mandiri ketika sudah terjun dalam masyarakat. Tujuan
utama pendirian Pesantren ini, sebagaimana dikutip penulis dari
pengelolanya, adalah untuk menyebarkan Islam, sekaligus menjadi pusat
pendidikan agama (hlm. 194). Menurut penulis, visi Pesantren ini
sederhana, yakni menyiapkan warga negara yang baik sekaligus Muslim yang
taat. Karena itu, kurikulum yang diterapkan di sini adalah ngaji,
pengalaman, sekolah umum, serta kursus dan keterampilan. Pendidikan di
Pesantren ini lebih difokuskan pada ilmu keagamaan daripada umum. Ini
berbeda dengan Tebuireng yang cenderung memberi porsi yang lebih besar
kepada pendidikan umum daripada keagamaan (hlm. 211).
Sampel
ketiga yang diteliti oleh penulis dalam disertasinya ini adalah
Pesantren Perguruan Tinggi, yang terdiri dari Pesantren Mahasiswa
Al-Hikam, Pondok Mahasiswi Al-Firdaus, dan Pesantren Kampus Ainul Yaqin.
Ketiganya terletak di Kota Malang. Al-Hikam dan Al-Firdaus berlokasi di
luar lingkungan kampus, sedangkan Ainul Yaqin terintegrasi dan khusus
menerima santri dari Universitas Islam Malang. Fenomena Pesantren
Perguruan Tinggi ini merupakan trend
baru dunia Pesantren. Para pelopor dan inisiator Pesantren Perguruan
Tinggi melihat Perguruan Tinggi sebagai barisan terdepan dalam
modernisasi dan globalisasi di Indonesia. Karena itu, mereka membangun
di dekat lingkungan kampus sebuah Pesantren yang berfungsi sebagai
tempat pembelajaran dan praktik keagamaan bagi para mahasiswa. Ini
bertujuan guna membentuk nilai dan moral religius bagi calon-calon
pemimpin Indonesia di masa depan. Selain itu, pedirian Pesantren tipe
ini juga dimaksudkan untuk membekali mahasiswa atau santri agar
terhindar dari gerakan ekstremisme dan fundamentalisme keagamaan yang
belakangan marak terjadi di lingkungan kampus-kampus.
Bertolak
dari uraian pada bab-bab sebelumnya, dalam bab tujuh penulis menganalisa
dan mengambil simpulan mengenai tiga hal yang terkait dengan wacana
dunia Pesantren dan identitas kolektif, serta tinjauan yang lebih luas
mengenai wacana Islam, modernisme, dan globalisasi. Terkait dengan
wacana dunia Pesantren, penulis mendokumentasikan bagaimana dunia
Pesantren berhasil mengenali kebutuhan bangsa Indonesia, baik kebutuhan
terhadap tenaga kerja yang bermoral, terhadap pemimpin yang agamis,
maupun terhadap ulama yang dapat berpartisipasi dalam globalisasi. Ini
dilakukan oleh Pesantren dengan mengombinasikan keilmuan umum dan agama
sekaligus.
Lebih jauh, Pesantren juga mempunyai visi tentang
Indonesia, bagaimana masyarakat bangsa ini di masa mendatang bisa
memodernisasi diri tanpa jatuh pada perangkap moral dan dampak-dampak
negatif yang ditimbulkannya. Meskipun di kalangan internal Pesantren
terdapat perbedaan mengenai bentuk kurikulum dan teknis pendidikannya,
namun mereka tetap menyepakati satu poin yang fundamental bahwa
Pesantren seharusnya tetap menyediakan pendidikan moral. Di samping itu,
inti pendidikan Pesantren seharusnya diarahkan pada bentuk pendidikan
menyeluruh yang bersifat pada pembentukan karakter dan tidak hanya
memberikan pengetahuan saja (hlm. 253).
Berkenaan dengan
identitas kolektif, penulis melihat adanya beberapa identitas yang
multiaspek yang masing-masing berinteraksi dengan yang lain. Dalam hal
ini, identitas orang Indonesia, Muslim, Jawa atau Madura, insan
Pesantren, dan konsumer global memengaruhi satu sama lain. Mereka
bukanlah label berbeda-beda yan dipakai orang dalam situasi yang
berbeda-beda. Identitas dalam kasus ini dimainkan secara simultan.
Sedangkan
yang terkait dengan wacana Islam, modernisme, dan globalisasi, penulis
membawa pelbagai isu yang telah didiskusikan sebelumnya kepada konteks
yang lebih luas, yakni seluruh umat Islam di dunia. Maka pertanyaan
besar yang muncul adalah, dapatkah umat Islam mengadopsi modernisme dari
Barat dengan tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran dan tradisi Islam
klasik yang dibawa Nabi Muhammad? Mengutip Bernard Lewis, penulis
menguraikan tiga sikap dasar yang diambil oleh umat Islam terhadap
modernisasi dan globalisasi. Pertama, mengadopsi apa saja yang dianggap
bermanfaat tanpa mengadopsi agama dan nilai-nilai Barat. Kedua,
memadukan elemen-elemen terbaik dari dua peradaban. Dan ketiga, menerima
dan mengadopsi sama sekali. Dalam konteks ini, Pesantren lebih memilih
sikap kedua, meskipun di internal mereka terdapat pelbagai perdebatan
dan dinamika. Menururt penulis, dunia Pesantren telah berbuat dengan
mencoba mengawinkan yang terbaik dari dua peradaban, yakni modernisasi
dari Barat dan etika-moral dari Islam. Mereka membuat modernitas Islam,
sekaligus pada saat yang sama tetap berpegang pada nilai-nilai
tradisional Islam dan memerhatikan pada keselamatan dunia dan akhirat
(261).
Terakhir, yakni terkait dengan tesis Samuel Huntington tentang terjadinya benturan peradaban (clash of civilization)
antara Islam dan Barat. Tesis ini mengasumsikan bahwa Islam dan
modernisme tidak dapat digabungkan. Melalui penelitian ini, penulis
membuktikan bahwa melalui pelbagai usahanya, dunia Pesantren mematahkan
tesis itu. Pesantren berusaha membentuk sebuah identitas baru yang dapat
meminjam dari Barat secara selektif tanpa terkena efek samping yang
buruk dari modernisme, seperti materialisme, egoisme, seks bebas, serta
terhindar dari fundamentalisme keagamaan. Dengan demikian, komunitas
Pesantren telah menjalankan perubahan masyarakat dan dunia lebih banyak
melalui pendidikan, keteladanan, dan dakwah, daripada melalui konflik
kekerasan. Dalam istilah penulis, upaya-upaya dunia Pesantren tersebut
disebutnya sebagai “a peaceful jihad” atau jihad damai (hlm. 269). Istilah ini merujuk pada term jihad akbar dalam sebuah hadits Nabi Muhammad mengenai jihad. Oleh penulis, jihad akbar ini didefinisikan sebagai perjuangan secara damai untuk mencapai pemenuhan moral individu dan sosial. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar