Pencarian

Selasa, 16 April 2013

Jihad Damai ala Pesantren

IDENTITAS BUKU: Penulis: Prof. Ronald Alan Lukens-Bull, Ph.D.; Judul Buku: Jihad ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika; Judul Asli: A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education and Religious Identity Construction; Penerjemah: Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D., Najahan Musyafak, Ismail S.M., Sulaiman Al-Kumayi, Ahmad Maghfurin, Abdul Nasir; Penyunting: Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D.; Desain Sampul: Syamsul Falaq; Tata Letak: Rahmat Janary; Penerbit: Gama Media; Cetakan Pertama: Juli 2004; Jumlah Halaman: xxiv + 292; Ukuran Buku: 15 x 21 cm.

REVIEW: Buku ini merupakan disertasi di Arizona State University, A.S. yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari edisi aslinya yang berjudul A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education and Religious Identity Construction. Secara umum, buku ini mengungkapkan bagaimana para kyai dan santri serta pengikutnya di Jawa Timur terlibat dalam gerakan jihad damai melalui pendidikan dan reformasi kemasyarakatan. Para kyai dan pengikutnya berusaha membangun sebuah identitas dalam hal kepercayaan terhadap nilai-nilai keagamaan tradisional, sekaligus pada saat yang sama menumbuhkan kesadaran terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat yang mengglobal. Penelitian lapangan dilakukan selama satu tahun, yakni dari November 1994 hingga Oktober 1995 di beberapa Pondok Pesantren di Jawa Timur. Pondok Pesantren yang menjadi sampel penelitian adalah: Pesantren An-Nur II yang terletak di Bululawang, Kabupaten Malang; Pesantren Tebuireng di Kabupaten Jombang; dan Pesantren Mahasiswa Al-Hikam di Kota Malang. Selain itu, penulis juga menambahkan dua sampel Pesantren lainnya yang setipe dengan Al-Hikam, yakni Pondok Mahasiswa Al-Firdaus dan Pesantren Kampus Ainul Yaqin. Keduanya berlokasi di Kota Malang.

Penulis membagi buku ini ke dalam tujuh bab. Bab pertama merupakan pengantar wacana yang berisi tentang globalisasi dan konstruksi identitas. Bab dua dan tiga membahas mengenai dunia Pesantren dengan segala komponen dan sistem yang ada di dalamnya, serta tinjauan makro atas pesantren yang dilihat dalam bingkai organisasional Nahdlatul Ulama (NU), paham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), dan bangsa Indonesia. Sedangkan dalam bab empat, lima, dan enam penulis menguraikan tentang hasil penelitiannya terhadap Pesantren Tebuireng, An-Nur II, Al-Firdaus, Al-Hikam, dan Ainul Yaqin. Bab ketujuh merupakan inti, yang berisi tinjauan dan analisa penulis terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan. Dalam hal ini, penulis mengelaborasi tema Pesantren yang dikaitkan dengan tema jihad damai di era globalisasi.

Tema besar dalam buku ini adalah pertarungan pengaruh antara modernisasi dan globalisasi di satu sisi, dengan nilai-nilai tradisional yang bersifat lokal di sisi lain. Nilai-nilai tradisional dalam hal ini direpresentasikan kepada lembaga pendidikan keagamaan yang secara turun-temurun telah ada di Indonesia jauh sebelum negara ini merdeka, yakni Pondok Pesantren. Dikatakan tradisionalis karena Pesantren mewarisi tradisi keagamaan dan keilmuan Islam yang diajarkan oleh para ulama yang bersumber dari ajaran Nabi Muhammad. Selain itu, lembaga Pesantren secara ramah juga menyerap tradisi-tradisi dan kultur masyarakat, dalam hal ini Jawa, yang hidup di lingkungan sekitar Pesantren.

Derasnya arus globalisasi yang datang dari negara-negara Barat telah menembus sekat-sekat kenegaraan. Dan Pesantren sebagai realitas sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia tak luput dari perkembangan itu. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang telah terkepung oleh modernisasi itulah, lembaga Pesantren ditantang untuk menghadapi dan menyikapinya. Pesantren dalam hal ini berusaha membangun identitas mereka yang khas, bukan saja untuk kalangan mereka sendiri, melainkan juga untuk bangsa Indonesia secara keseluruhan. Ini mereka lakukan dengan menyelaraskan apa yang dibawa oleh modernisasi dengan nilai-nilai tradisional yang menjadi pegangan mereka selama ini. Proses ini memfokuskan pada moralitas dan religiositas sebagai penentu karakteristik-karakteristik identitas. Masyarakat Pesantren tidak ingin menolak perkembangan ekonomi atau teknologi, bahkan westernisasi, tetapi mereka berkeinginan untuk menyiapkan perubahan-perubahan ini dengan fondasi moralitas dan agama yang kuat (hlm. 14-15).

Berkenaan dengan bab dua yang membahas mengenai lembaga Pesantren, kyai, dan identitas, penulis mengidentifikasi Pesantren sebagai Jawa, Indonesia, dan Islam. Pesantren erat sekali kaitannya dengan Wali Songo yang merupakan pendakwah dan penyebar Islam di Pulau Jawa. Bentuk awal dari Pesantren adalah mushala atau masjid. Namun, seiring dengan perkembangan waktu, Pesantren berubah menjadi bentuk madrasah. Penulis mengemukakan bahwa Pesantren di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, merupakan kombinasi dua hal, yakni tempat untuk mempelajari dan mempraktikkan mistisisme Islam atau tasawuf, serta tempat untuk mempelajari keilmuan-keilmuan Islam lainnya (hlm. 160).

Secara umum, menurut penulis, kurikulum yang ada di Pesantren meliputi empat hal, yakni: ngaji dan pendidikan agama; pengalaman, pendidikan moral, dan pengabdian; sekolah dan pendidikan umum; serta keterampilan dan kursus. Pesantren tradisional (salafiyah) biasanya memiliki dua kurikulum pertama yang merupakan karakter asli dan khas Pesantren. Sedangkan Pesantren Modern bisa mencakup keempat kurikulum tersebut.

Dalam kehidupan Pesantren, kyai merupakan figur utama yang berperan sangat signifikan dalam mengelola dan mengembangkan Pesantren. Menurut pandangan penulis, kyai dapat membentuk identitas kolektif masyarakat dengan bentuk identitas pribadi mereka, yakni sebagai role model atau contoh sikap dan tingkah laku. Seorang kyai dalam tradisi Pesantren Jawa memiliki empat kriteria, yakni: pengetahuan, kekuatan spiritual, keturunan (baik biologis maupun spiritual), dan moralitas (hlm. 88-89). Keempat komponen itulah yang mengonstruksi identitas khas kyai, sehingga menjadikannya sebagai figur sentral, baik dalam internal Pesantren maupun dalam masyarakat.

Tinjauan yang lebih luas dan makro atas identitas dunia Pesantren juga dilakukan oleh penulis, yakni dalam kerangka organisasi NU, paham Aswaja, dan keindonesiaan. Dalam konteks ini, masyarakat Pesantren berusaha mencari dan memainkan peran-perannya secara seimbang atas identitas-identitas tersebut. NU dalam hal ini membentuk identitas dunia Pesantren, terutama lewat penyediaan sebuah struktur organisasional yang menghubungkan kyai dan Pesantren. Ketika kyai dan masyarakat Pesantren lain dikaitkan oleh pelbagai macam tujuan, maka hubungan NU mengaitkan bersama-sama seluruh komunitas. Sebagai sebuah organisasi, NU menyediakan kesempatan bagi para kyai untuk memperdebatkan pelbagai isu menghadapi umat Islam Indonesia (hlm. 120). Di sisi lain, NU mengorganisasi kyai dan Pesantren ke dalam sebuah kekuatan nasional.

Kemudian dalam konteks paham Aswaja, Pesantren melalui wadah oranisasionalnya berupa NU mengidentifikasi dirinya sebagai penganut dan bagian dari komunitas Aswaja secara global dan secara simultan menyatakan sebagai pewaris agama Islam yang murni. Menurut penulis, sebagaimana dikutip dari Zamakhsyari Dhofier, ciri-ciri paham Aswaja dalam konteks Pesantren di Jawa adalah mengikuti ajaran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam sisi teologi, menganut salah satu dari empat mazhab dalam hal yurisprudensi Islam (fiqih), serta menganut Abu Qasim al-Junaidi dalam sisi tasawuf (hlm. 122-124). Sedangkan dalam kaitannya dengan bangsa Indonesia, Pesantren menampilkan diri sebagai komponen bangsa yang turut berkontribusi dalam pembentukan dan perjuangan negara RI. Melalui pendidikan yang diselenggarakannya, Pesantren juga turut berkontibusi dalam mewarnai corak kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Dalam bab mengenai Pesantren Tebuireng, penulis menguji diskurus seputar pendidikan Pesantren dengan menampilkannya sebagai suatu mikrokosmos untuk keseluruhan dunia Pesantren. Menurut penulis, Tebuireng selalu berada di garis depan dalam dialog-dialog tentang Islam, pendidikan, dan modernitas. Didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899, Pesantren Tebuireng kini menjadi rujukan dan kiblat dari dunia Pesantren, khususnya di Pulau Jawa. Gaya, kurikulum, dan praktik-praktik keagamaan yang ada di dalamnya menjadi model bagi Pesantren lain. Kurikulum yang diterapkan di Tebuireng adalah ngaji (belajar nilai-nilai keislaman dan tradisi Pesantren), pengalaman (menerapkannya dalam keseharian), dan sekolah formal.

Dari penelitian yang dilakukannya, penulis melihat adanya beberapa visi yang berkompetisi di internal Pesantren Tebuireng terkait dengan kurikulum pendidikan dan posisi terhadap pemerintah. Terkait dengan pendidikan, ada faksi yang menginginkan Tebuireng terus melaju ke arah peningkatan pendidikan sekuler dengan tetap mempertahankan dasar-dasar keagamaan. Kelompok ini dipelopori oleh Yusuf Hasyim, putera tertua K.H. Hasyim Asy’ari. Ini dilakukan sebagai respons terhadap kebutuhan masyarakat yang kian berkembang. Sedangkan faksi lainnya menginginkan untuk membangun kembali Tebuireng sebagai pusat pendidikan ulama yang mahir dalam masalah teologi dan ilmu-ilmu keislaman, serta praktik keagamaan. Faksi ini dipelopori oleh Gus Isyom yang merupakan cucu K.H. Hasyim Asy’ari (hlm. 156). Terkait dengan visi dan posisi terhadap pemerintah, terdapat Yusuf Hasyim yang menginginkan Pesantren berafiliasi dengan pemerintah. Faksi lainnya diperankan oleh Abdurrahman Wahid yang cenderung menjaga jarak dengan pemerintah.

Pesantren kedua yang dijadikan sampel penelitian ini adalah Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo yang berada di Bululawang, Kabupaten Malang. Penulis menggambarkan Pesantren yang didirikan oleh K.H. Anwar Nur pada tahun 1942 ini sebagai Pesantren yang tidak terkenal tetapi cukup berhasil dalam menjalankan pendidikan agamanya. An-Nur menawarkan pendidikan agama yang dikombinasi dengan pendidikan sekuler. Penambahan pendidikan sekuler bertujuan menyiapkan lulusan agar dapat mandiri ketika sudah terjun dalam masyarakat. Tujuan utama pendirian Pesantren ini, sebagaimana dikutip penulis dari pengelolanya, adalah untuk menyebarkan Islam, sekaligus menjadi pusat pendidikan agama (hlm. 194). Menurut penulis, visi Pesantren ini sederhana, yakni menyiapkan warga negara yang baik sekaligus Muslim yang taat. Karena itu, kurikulum yang diterapkan di sini adalah ngaji, pengalaman, sekolah umum, serta kursus dan keterampilan. Pendidikan di Pesantren ini lebih difokuskan pada ilmu keagamaan daripada umum. Ini berbeda dengan Tebuireng yang cenderung memberi porsi yang lebih besar kepada pendidikan umum daripada keagamaan (hlm. 211).

Sampel ketiga yang diteliti oleh penulis dalam disertasinya ini adalah Pesantren Perguruan Tinggi, yang terdiri dari Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Pondok Mahasiswi Al-Firdaus, dan Pesantren Kampus Ainul Yaqin. Ketiganya terletak di Kota Malang. Al-Hikam dan Al-Firdaus berlokasi di luar lingkungan kampus, sedangkan Ainul Yaqin terintegrasi dan khusus menerima santri dari Universitas Islam Malang. Fenomena Pesantren Perguruan Tinggi ini merupakan trend baru dunia Pesantren. Para pelopor dan inisiator Pesantren Perguruan Tinggi melihat Perguruan Tinggi sebagai barisan terdepan dalam modernisasi dan globalisasi di Indonesia. Karena itu, mereka membangun di dekat lingkungan kampus sebuah Pesantren yang berfungsi sebagai tempat pembelajaran dan praktik keagamaan bagi para mahasiswa. Ini bertujuan guna membentuk nilai dan moral religius bagi calon-calon pemimpin Indonesia di masa depan. Selain itu, pedirian Pesantren tipe ini juga dimaksudkan untuk membekali mahasiswa atau santri agar terhindar dari gerakan ekstremisme dan fundamentalisme keagamaan yang belakangan marak terjadi di lingkungan kampus-kampus.

Bertolak dari uraian pada bab-bab sebelumnya, dalam bab tujuh penulis menganalisa dan mengambil simpulan mengenai tiga hal yang terkait dengan wacana dunia Pesantren dan identitas kolektif, serta tinjauan yang lebih luas mengenai wacana Islam, modernisme, dan globalisasi. Terkait dengan wacana dunia Pesantren, penulis mendokumentasikan bagaimana dunia Pesantren berhasil mengenali kebutuhan bangsa Indonesia, baik kebutuhan terhadap tenaga kerja yang bermoral, terhadap pemimpin yang agamis, maupun terhadap ulama yang dapat berpartisipasi dalam globalisasi. Ini dilakukan oleh Pesantren dengan mengombinasikan keilmuan umum dan agama sekaligus.

Lebih jauh, Pesantren juga mempunyai visi tentang Indonesia, bagaimana masyarakat bangsa ini di masa mendatang bisa memodernisasi diri tanpa jatuh pada perangkap moral dan dampak-dampak negatif yang ditimbulkannya. Meskipun di kalangan internal Pesantren terdapat perbedaan mengenai bentuk kurikulum dan teknis pendidikannya, namun mereka tetap menyepakati satu poin yang fundamental bahwa Pesantren seharusnya tetap menyediakan pendidikan moral. Di samping itu, inti pendidikan Pesantren seharusnya diarahkan pada bentuk pendidikan menyeluruh yang bersifat pada pembentukan karakter dan tidak hanya memberikan pengetahuan saja (hlm. 253).

Berkenaan dengan identitas kolektif, penulis melihat adanya beberapa identitas yang multiaspek yang masing-masing berinteraksi dengan yang lain. Dalam hal ini, identitas orang Indonesia, Muslim, Jawa atau Madura, insan Pesantren, dan konsumer global memengaruhi satu sama lain. Mereka bukanlah label berbeda-beda yan dipakai orang dalam situasi yang berbeda-beda. Identitas dalam kasus ini dimainkan secara simultan.

Sedangkan yang terkait dengan wacana Islam, modernisme, dan globalisasi, penulis membawa pelbagai isu yang telah didiskusikan sebelumnya kepada konteks yang lebih luas, yakni seluruh umat Islam di dunia. Maka pertanyaan besar yang muncul adalah, dapatkah umat Islam mengadopsi modernisme dari Barat dengan tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran dan tradisi Islam klasik yang dibawa Nabi Muhammad? Mengutip Bernard Lewis, penulis menguraikan tiga sikap dasar yang diambil oleh umat Islam terhadap modernisasi dan globalisasi. Pertama, mengadopsi apa saja yang dianggap bermanfaat tanpa mengadopsi agama dan nilai-nilai Barat. Kedua, memadukan elemen-elemen terbaik dari dua peradaban. Dan ketiga, menerima dan mengadopsi sama sekali. Dalam konteks ini, Pesantren lebih memilih sikap kedua, meskipun di internal mereka terdapat pelbagai perdebatan dan dinamika. Menururt penulis, dunia Pesantren telah berbuat dengan mencoba mengawinkan yang terbaik dari dua peradaban, yakni modernisasi dari Barat dan etika-moral dari Islam. Mereka membuat modernitas Islam, sekaligus pada saat yang sama tetap berpegang pada nilai-nilai tradisional Islam dan memerhatikan pada keselamatan dunia dan akhirat (261).

Terakhir, yakni terkait dengan tesis Samuel Huntington tentang terjadinya benturan peradaban (clash of civilization) antara Islam dan Barat. Tesis ini mengasumsikan bahwa Islam dan modernisme tidak dapat digabungkan. Melalui penelitian ini, penulis membuktikan bahwa melalui pelbagai usahanya, dunia Pesantren mematahkan tesis itu. Pesantren berusaha membentuk sebuah identitas baru yang dapat meminjam dari Barat secara selektif tanpa terkena efek samping yang buruk dari modernisme, seperti materialisme, egoisme, seks bebas, serta terhindar dari fundamentalisme keagamaan. Dengan demikian, komunitas Pesantren telah menjalankan perubahan masyarakat dan dunia lebih banyak melalui pendidikan, keteladanan, dan dakwah, daripada melalui konflik kekerasan. Dalam istilah penulis, upaya-upaya dunia Pesantren tersebut disebutnya sebagai “a peaceful jihad” atau jihad damai (hlm. 269). Istilah ini merujuk pada term jihad akbar dalam sebuah hadits Nabi Muhammad mengenai jihad. Oleh penulis, jihad akbar ini didefinisikan sebagai perjuangan secara damai untuk mencapai pemenuhan moral individu dan sosial. [*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar