IDENTITAS BUKU: Penulis: Idris Thaha; Judul Buku: Demokrasi Religius: Pemikiran Politik
Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais; Editor: Taufiq; Desain Sampul: Yudiarto
Iskandar; Tata Letak: Qomar NS; Penerbit: Penerbit Teraju, PT Mizan Publika;
Cetakan Pertama: Februari 2005; Jumlah Halaman: xxi + 356; Ukuran Buku: 14 x 20
cm.
REVIEW: Buku ini berusaha menggali pemikiran dua tokoh besar Islam di Indonesia,
yakni Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, mengenai hubungan antara Islam dan
demokrasi di Indonesia. Pembahasan ini tentu tidak terlepas dari tiga variabel
penting yang saling berkaitan, yakni Islam, demokrasi, dan Indonesia. Mengenai kaitan antara dua variabel
pertama—Islam dan demokrasi—telah banyak melahirkan diskursus dan perdebatan di
kalangan para ulama dan intelektual Muslim di seluruh dunia. Di antara kelompok
Muslim ada yang menerima demokrasi, ada pula yang menolaknya, serta ada yang
menerima dengan beberapa catatan. Sedangkan dalam konteks Indonesia, ketiga
model hubungan tersebut—menerima, menolak, dan menerima dengan catatan—juga sama-sama
hidup dan berkembang. Dalam konteks inilah penulis buku ini merasa curious
untuk mengetahui di manakah posisi Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais di
antara ketiga model tersebut. Bagaimanakah pemikiran dan pandangan kedua tokoh
ini mengenai Islam dan demokrasi dalam kaitannya dengan praktik kehidupan
politik bangsa Indonesia, tempat mereka hidup dan tinggal. Melalui buku inilah
penulis berusaha mengemukakan jawaban-jawabannya.
Penulis membagi buku ini ke dalam enam bab. Bab pertama
adalah pembukaan yang berisi pengantar menuju wacana. Bab kedua membahas
tentang demokrasi dan sistem Syura dalam Islam. Selanjutnya, dalam bab
ketiga penulis menyajikan pembahasan mengenai biografi pemikiran dan aksi
politik kedua tokoh. Bab keempat membahas praktik demokrasi di Indonesia, serta
pandangan kedua tokoh terhadapnya. Pada bab kelima penulis menjelaskan
pemikiran politik kedua tokoh mengenai Islam dan demokrasi. Bab terakhir adalah
kesimpulan. Dalam bab ini penulis menyajikan pemikiran kedua tokoh mengenai apa
yang disebutnya sebagai “demokrasi religius” ala Nurcholish Madjid dan M. Amien
Rais yang patut diterapkan dalam kehidupan politik-pemerintahan bangsa
Indonesia.
Terkait dengan demokrasi, penulis menjelaskan bahwa sebenarnya
sistem ini, baik pemikiran teoretis maupun praktiknya, telah ada sejak zaman
Yunani Kuno. Tokoh-tokoh demokrasi Yunani Kuno yang dikenal dalam dunia
pemikiran politik kala itu antara lain adalah Solon (638-558 SM), Kleitheus,
Periclus (490-429 SM), dan Demosthenes (383-322 SM). Lebih jauh, praktik
kehidupan politik-pemerintahan pada masa itu juga telah menerapkan
prinsip-prinsip demokrasi. Pada masa pemerintahan Periclus misalnya, semua
warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, terlibat
dalam merumuskan kebijakan publik, serta jaminan akan kebebasan berbicara bagi
seluruh rakyat (hlm. 20).
Kemudian pada abad-abad pertengahan, pemikiran dan
praktik demokrasi juga mulai masuk dan berkembang di negara-negara Eropa. Ini
tidak terlepas dari dua peristiwa penting yang terjadi kala itu, yakni Renaissance
(1350-1600) dan Gerakan Reformasi (1500-1650). Renaissance merupakan
aliran yang berusaha menghidupkan kembali minat kepada kesusasteraan dan
kebudayaan Yunani Kuno. Sedangkan Reformasi adalah aliran yang menyerukan
kebebasan beragama dan pemisahan yang tegas antara kekuasaan agama (Gereja) dan
Negara. Kedua aliran inilah yang mengantarkan Eropa Barat kepada masa Aufklarung
(Abad Pemikiran), liberalisme, serta rasionalisme pada tahun 1650-1800.
Lahirlah pada masa-masa ini tokoh-tokoh demokrasi seperti John Lucke, Baron de
Montesquieu, dan Jean Jacques Rosseau. Montesquieu adalah pencetus pemikiran Trias
Politica, yaitu pemisahaan kekuasaan secara tegas antara legislatif,
eksekutif, dan yudikatif.
Meskipun para ahli berbeda pendapat mengenai definisi
demokrasi, namun penulis mengemukakan bahwa ciri khas yang paling fundamental
dalam demokrasi adalah keterlibatan warga negara dalam pengambilan keputusan
politik. Sedangkan prasyarat yang harus ada sebagai indikator penerapan
demokrasi secara empirik adalah: akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekrutmen
politik secara terbuka, pemilihan umum, serta jaminan hak-hak dasar bagi
seluruh warga negara (hlm. 33).
Jika Barat mempunyai demokrasi, maka Islam juga mempunyai
Syura yang dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan demokrasi. Syura
(musyawarah) dalam Islam merupakan mekanisme untuk mengambil keputusan atau
kebijakan yang terbaik dengan cara mempertimbangkan saran-saran yang ada, serta
melibatkan komponen-komponen yang terdapat dalam masyarakat. Syura
berasal dari tradisi Arab pra-Islam yang kemudian dilestarikan oleh Islam
dengan beberapa perubahan, termasuk landasan teologisnya. Kemudian, sistem ini
dipraktikkan oleh Rasulullah dan para Khulafa’ al-Rasyidin pengganti
beliau terkait dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan pengelolaan
pemerintahan. Landasan hukum dari Syura adalah Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul. Karena banyaknya manfaat yang terkandung dalam Syura, penulis berpendapat bahwa pelakanaan Syura
merupakan kewajiban bagi setiap manusia, terutama bagi para pemimpin (hlm.
37-38).
Seiring dengan masuknya pemikiran dan budaya Barat ke
negara-negara Muslim, maka pemikiran dalam bidang politik-pemerintahan berupa
demokrasi juga turut masuk ke negara-negara yang berpenduduk Muslim tersebut. Dalam
menyikapi demokrasi, para intelektual Muslim mempunyai pandangan yang
berbeda-beda. Kelompok pertama disebut penulis sebagai golongan ‘konservatif’,
di mana mereka menolak keterpaduan antara Islam dan demokrasi. Kelompok kedua
adalah golongan ‘liberal’, yang berpandangan bahwa Islam dan demokrasi memiliki
keterkaitan yang erat dan berdampingan. Kelompok ketiga adalah golongan
‘moderat’, yang mencoba mencari titik temu antara kedua kelompok sebelumnya
dengan mengemukakan adanya persamaan dan perbedaan antara Islam dan demokrasi. Terlepas
dari perbedaan pendapat ketiga kelompok tersebut dengan segala argumentasinya, secara
substansial demokrasi dan Islam memang memiliki beberapa kesamaan dan
perbedaan. Kesamaannya antara lain adalah: jaminan atas hak-hak dasar tertentu
dalam perpolitikan, kedudukan yang sama di hadapan UU, kebebasan berpikir dan
berkeyakinan, keadilan sosial, d.l.l. Sedangkan perbedaannya terletak pada:
konsep ‘bangsa’ dalam demokrasi dan konsep ‘ummah’ dalam Islam, tujuan akhir
keduanya, serta pemegang otoritas kekuasaan tertinggi. Demikian dikutip oleh
penulis dari Dhiya’ al-Din Rais (hlm. 50).
Dalam bab tiga, penulis membahas tentang sejarah hidup
dan latar belakang pendidikan yang mendasari pemikiran dan aksi politik
Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais. Nurcholish Madjid lahir dan beranjak
remaja di kalangan tradisionalis. Dia pernah mengenyam pendidikan dasar di
Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang, yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama (NU),
selama beberapa tahun (hlm. 71). Ayahnya adalah seorang kyai ternama yang pada
waktu belajar di Pesantren merupakan murid kesayangan K.H. Hasyim Asy’ari, sang
pendiri NU. Meskipun demikian, Nurcholish Madjid juga mengenyam pendidikan
modern, yakni di Pesantren Modern Gontor, Ponorogo. Pemahaman tentang
nilai-nilai dan pemikiran-pemikiran modern juga didapatkan Nurcholish ketika
studi di IAIN Jakarta, serta di University of Chichago, Illinois, A.S. Latar keluarga dan pendidikan awal yang
tradisionalis, serta pemahaman terhadap nilai-nilai modernitas di tingkat
lanjut itulah yang membentuk karakter pemikiran Nurcholish Madjid mengenai
keislaman dan modernitas.
Selain itu, Nurcholish Madjid juga memiliki sederet
pengalaman yang panjang dalam mengelola organisasi, baik dalam ranah
kemahasiswaan, intelektual-akademik, kemanusiaan, hingga politik. Bahkan dia
pernah menjadi Ketua Umum PB HMI, sebuah organisasi kemahasiswaan yang cukup
besar, pada tahun 1966-1970. Basis keilmuan dan intelektualitas yang kuat,
serta pengalaman di pelbagai bidang organisasi mengantarkan Nurcholish Madjid
untuk terjun di dunia politik. Pada tahun 2003 Nurcholish Madjid sempat
mendeklarasikan diri sebagai bakal calon presiden pada Pilpres 2004. Namun,
karena pertimbangan tertentu, akhirnya dia batal mengikuti Pilpres. Terkait
dengan perpolitikan Indonesia, Nurcholish Madjid melandaskan pemikiran terhadap
pengelolaan bangsa Indonesia atas paham pluralisme. Artinya, nilai-nilai
positif pluralisme bangsa Indonesia seharusnya menumbuhkan sikap bersama yang
sehat dalam kerangka kemajemukan itu sendiri, serta untuk mendukung pengayaan
budaya bangsa (hlm. 104).
Berbeda dengan Nurcholish Madjid yang lahir dan beranjak
remaja di lingkungan keagamaan yang tradisionalis, M. Amien Rais tumbuh dan
berkembang dalam keluarga agamis yang modern. Orang tuanya yang Muhammadiyah
tulen mengarahkan pendidikannya pada sekolah-sekolah agama yang berafiliasi
kepada Muhammadiyah. Meskipun demikian, dia mendapatkan pendidikan tingginya di
universitas-universitas umum, yakni S1 di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan pasca-sarjana
di universitas-universitas di Amerika. Selain itu, Amien Rais juga aktif dalam
organisasi Muhammadiyah, bahkan sempat menjadi ketua umumnya. Latar akademisi
yang bagus dan pengalaman menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah tersebut akhirnya
mengantarkannya terjun di dunia politik dengan mendirikan Partai Amanat
Nasional (PAN) pada
tahun 1998. Pemikiran sosial-politik yang selalu ditekankan oleh Amien Rais adalah
ajarannya mengenai ‘tauhid sosial’. Tauhid sosial ini berarti pembebasan yang
radikal dari tirani dan kezaliman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
(hlm. 137). Manusia dan umat yang tauhid-oriented, menurut Amien Rais,
memikul kewajiban untuk menegakkan suatu order sosial yang adil dan etis. Ini
semua didasari atas pandangan bahwa semua manusia pada hakekatnya diciptakan
dalam kedudukan yang sama dan setara. Tak ada satu manusia pun
yang lebih superior ataupun lebih inferior atas manusia
lainnya.
Pada bab empat penulis mengelaborasi pasang-surut
pelaksanaan demokrasi di Indonesia sejak kemerdekaan hingga masa reformasi.
Dalam hal ini penulis membagi masa-masa demokrasi di Indonesia menjadi empat
periode. Keempat peride itu adalah masa Demokrasi Parlementer (Januari 1950
s.d. Juli 1959), Demokrasi Terpimpin (Juli 1959 s.d. September 1965), Demokrasi
Pancasila (Oktober 1965 s.d. Mei 1998), dan Demokrasi Transisi, yakni
pasca-reformasi tahun 1998. Dalam keempat masa-masa reformasi tersebut penulis
juga menjelaskan peran, partisipasi, dan tanggapan umat Islam atas kondisi
pemerintahan tersebut. Misalnya masa Demokrasi Parlementer, Ketua MASYUMI kala
itu, yakni M. Natsir, berjasa menyatukan Negara Indonesia dari RIS menjadi
NKRI. Karena itulah M. Natsir diangkat menjadi Perdana Menteri pertama dalam
sistem Demokrasi Parlementer (hlm. 161). Kemudian pada masa Demokrasi Pancasila
yang dikendalikan oleh Pemerintah Orde Baru, penulis mengemukakan tiga bentuk
interaksi antara pemerintah dengan umat Islam. Secara umum, umat Islam pada
masa itu berada dalam posisi marginal. Partisipasi umat Islam dalam pengelolaan
bangsa yang sangat intens pada awal-awal kemerdekaan, pada masa Orde Baru
hampir sama sekali dibungkam. Setidaknya ini tampak dari kebijakan pemerintah
yang enggan merehabilitasi MASYUMI. Praktis, umat Islam tak bisa mengakses
panggung politik praktis dalam bentuk pendirian parpol Islam.
Pasca-tumbangnya Orde Baru, bangsa Indonesia—tak
terkecuali umat Islam—mengalami euforia politik yang luar biasa. Tak pelak,
partai-partai Islam banyak bermunculan begitu kran kebebasan politik dibuka. Namun
pada Pemilu 1999 partai-partai Islam hanya memeroleh sedikit pendukung, masih
kalah oleh parpol-parpol beraliran nasionalis-sekuler. Penulis mencatat, pada
Pemilu 1999 partai Islam secara keseluruhan hanya meraih 17,7 % suara (hlm.
205). Meskipun demikian, koalisi partai-partai Islam kala itu berhasil
mendudukkan wakilnya, K.H. Abdurrahman Wahid, menjadi Presiden RI.
Atas pasang-surut perkembangan demokrasi di Indonesia
selama puluhan tahun tersebut, Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais menganggap
bahwa itu semua merupakan sebuah trial and error untuk menciptakan
bentuk pemerintahan yang ideal. Meskipun demikian, ada saatnya para pemimpin
berbuat kesalahan. Misalnya Soekarno yang pada masa Demokrasi Terpimpin
mengangkat dirinya sebagai Presiden kseumur hidup. Atau Soeharto yang pada masa
Demokrasi Pancasila menyeragamkan kehidupan nasional, khususnya dalam bidang
politik, di tengah kondisi bangsa Indonesia yang plural. Karena itu, Nurcholish
Madjid dan M. Amien Rais menilai bahwa uji coba demokrasi selama ini menemukan
jalan buntu, bahkan mengalami kegagalan (hlm. 209).
Bertolak dari kegagalan uji coba demokrasi selama
beberapa periode tersebut, Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais menawarkan
beberapa gagasan, pemikiran, dan aksi politik mereka tentang demokrasi di
Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim. Nurcholish Madjid mengajukan 10 platform
politik pada tahun 2004 ketika dia bersiap mencalonkan diri sebagai Presiden RI
pada Pilpres 2004. Sedangkan Amien Rais mengemukakan 10 kriteria demokrasi/ 10
harapan kepada Pemerintah yang diungkapkannya dalam pengantar sebuah buku yang
terbit pada tahun 1986. Dalam buku ini, penulis merangkum gagasan-gagasan kedua
tokoh ini menjadi 6 hal. Keenam pokok-pokok pemikiran itu adalah: melibatkan
partisipasi rakyat, membuka kebebasan, menegakkan hukum, mewujudkan keadilan
sosial, meningkatkan mutu pendidikan, dan menuju masyarakat madani.
Dalam bab penutup, penulis menguraikan sebuah konsep
demokrasi yang dicetuskan oleh Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais dalam
konteks bangsa Indonesia. Penulis menyebutnya dengan istilah ‘demokrasi
religius’. Demokrasi Religius ini diartikan sebagai demokrasi yang sejalan dan
mendapatkan rujukannya dari nilai-nilai agama Islam, khususnya tauhid (hlm.
314). Menurut Amien Rais, demokrasi dalam banyak hal telah sejalan dengan
nilai-nilai keislaman, misalnya mengenai keadilan, persamaan, persaudaraan,
musyawarah, toleransi, keterbukaan, dan kebebasan. Selain itu, menurut
Nurcholish Madjid, Pancasila yang dimiliki bangsa Indonesia secara tidak
langsung sebenarnya menyerap nilai-nilai yang ada dalam agama Islam. Sila
pertama misalnya, bisa dilacak rujukannya dari ajaran Islam berupa tauhid.
Menurutnya, sebagaimana dikutip dari M. Hatta, sila Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan sila utama yang menyinari dan menjadi dasar etis atas sila-sila
lainnya. Dalam pandangan Nurcholish, sila ini merupakan manifestasi dari iman
kepada Tuhan. Sedangkan empat sila lainnya merupakan perwujudan dari amal shalih
kepada sesama manusia. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar