IDENTITAS BUKU: Penulis:
Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D.; Judul Buku: Menggagas Format Pendidikan
Nondikotomik: Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam;
Editor: Agustina Purwantini, M. Adib Abdushomad G.J.A.; Desain Sampul:
Syamsul Falaq; Penerbit: Gama Media; Cetakan I: September 2002; Jumlah
Halaman: xx + 240; Ukuran Buku: 14 x 20 cm.
REVIEW:
Melalui buku ini, penulis hendak menyampaikan pikiran-pikirannya
mengenai konsep pendidikan Islam yang humanis-religius, serta
nondikotomis. Pemikiran dan gagasan-gagasan penulis ini muncul akibat
masih statisnya pendidikan Islam yang dialami oleh masyarakat Muslim.
Terlebih dengan adanya cara berpikir yang dikotomis di kalangan
masyarakat Islam, seperti Islam-sekuler, Timur-Barat, ilmu agama-ilmu
sekuler, dan lain-lain. Pemikiran dikotomis semacam ini merupakan
cerminan inferioritas dan ketiadaan rasa percaya diri oleh umat Islam.
Patut diakui memang bahwa masyarakat Muslim tertinggal dalam hal
pendidikan, ekonomi, politik, dan kebudayaan dibanding negara-negara
Barat. Akan tetapi seyogianya hal ini tidak lantas menghilangkan rasa
percaya diri dan jati diri mereka, yang pada gilirannya justeru akan
memperburuk keadaan. Karena itulah konsep pendidikan Islam yang ada
selama ini perlu dibenahi. Dan penulis, melalui penjelasan dan analisis
yang dilakukan dalam buku ini, berupaya untuk turut mewujudkan
pembenahan-pembenahan tersebut.
Buku ini berusaha mengungkapkan
kembali sejarah pemikiran Islam yang berhubungan dengan perkembangan dan
peta ilmu-ilmu dalam Islam, sekaligus berusaha melacak akar-akar
historis, sebab dan akibat dikotomi ilmu agama dan nonagama, serta
berusaha melacak akar-akar historis terbangunnya humanisme religius
sebagai paradigma pendidikan Islam. Di samping itu, buku ini berusaha
mencari terobosan baru terhadap kejumudan yang terjadi dalam Islamic learning dengan menawarkan humanisme religius sebagai shock therapy terhadap ketidakseimbangan paradigmatik yang berkembang dalam dunia pendidikan Islam.
Penulis
membagi buku ini ke dalam enam bab. Bab pertama menjelaskan tentang
akar-akar permasalahan dalam dunia pendidikan Islam. Bab 2 membahas
tentang landasan ideologis pendidikan Islam. Pembahasan dalam bab ini
mencakup definisi peradaban Islam dan uraiannya yang terkait dengan
pengetahuan intelektualitas Islam, ajaran dasar Islam tentang transmisi
pengetahuan, dan ontologi pendidikan Islam yang tidak mengenal dikotomi.
Bab 3 berisi survei historis terkait dengan munculnya era nondikotomik
dan dikotomik dalam pendidikan Islam. Bab 5 menjelaskan tentang dampak
humanisme religius dalam pendidikan Islam dan perlunya perombakan atas
paradigma pendidikan Islam yang selama ini ada. Bab 6 merupakan penutup
yang berisi rangkuman dan kesimpulan.
Pada awal kelahiran dan
perkembangan Islam (abad 7-11 M.), apa yang dinamakan dengan dikotomi
antara ilmu-ilmu agama dan ilmu nonagama tidak ada. Namun, semenjak abad
12 fenomena dikotomi tersebut muncul dan mulai berkembang di kalangan
umat Islam. Ini dapat dilihat pada Madrasah Nizamiyyah yang popular pada
abad 11, di mana di dalamnya tidak diajarkan ilmu-ilmu nonagama sama
sekali. Model madrasah ini juga diikuti oleh madrasah-madrasah lain di
masa berikutnya di era pemerintahan Mamluk dan Utsmaniyyah (hlm. 6).
Selanjutnya,
fenomena ini terus berlangsung selama berabad-abad hingga saat ini.
Fakta sejarah mengindikasikan bahwa sejak abad 12 hingga kini, kita
melihat adanya kemunduran dalam tradisi belajar yang benar di kalangan
umat Muslimin. Dan itu tak lain disebabkan oleh adanya dikotomi keilmuan
dalam dunia pendidikan Islam. Selain itu, adanya dikotomi antara wahyu
dan alam, serta wahyu dan akal turut menyumbang kemunduran ini (hlm. 9).
Menurut Ismail Raji Al-Faruqi, sebagaimana dikutip penulis,
setidaknya ada empat faktor penyebab kelesuan intelektualisme Islam yang
berhubungan dengan dikotomi. Empat faktor itu adalah proses penyempitan
makna fiqh serta status faqih yang jauh berbeda dengan para pendiri
mazhab, pertentangan antara wahyu dan akal, keterpisahan antara kata dan
perbuatan, serta sekularisme dalam memandang budaya dan agama (hlm. 5).
Ini
tentu paradoks dengan ajaran Islam itu sendiri yang meniadakan dikotomi
dalam hal apapun, termasuk keilmuan. Islam sangat menganjurkan kepada
umatnya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya, sebanyak-banyaknya tanpa
melihat apakah itu ilmu agama atau bukan, ilmu dunia atau akhirat.
Melalui banyak ayat al-Qur’an, Islam menanamkan keyakinan dan memberikan
inspirasi kepada pemeluknya akan arti penting belajar. Bahkan dalam
sebuah ayat, Allah menjanjikan kedudukan yang tinggi dan mulia bagi
orang-orang yang berilmu (Q.S. Al-Mujadalah: 11). Dalam sebuah hadits,
Rasulullah juga memotivasi umat Islam untuk menuntut ilmu ke manapun,
bahkan hingga ke Cina. Catatan sejarah juga telah membuktikan bahwa
generasi-generasi Muslim sejak abad pertama kelahiran Islam hingga jauh
sesudah itu, mempunyai gairah keilmuan yang sangat besar. Hasilnya, kita
sekarang mewarisi segudang ilmu pengetahuan klasik, baik tentang Islam
maupun umum, meliputi hadits, tafsir, teologi, filsafat, kimia,
matematika, astronomi, dan lain-lain. Sebagai agama, Islam benar-benar
telah melahirkan budaya ilmu dan peradaban manusia yang sangat tinggi.
Ini
semua tak terlepas dari ajaran Islam itu sendiri maupun faktor budaya
dan peradaban yang dipraktikkan oleh para pemeluknya. Dalam konteks ini,
penulis mengidentifikasi lima faktor penting yang membedakan budaya
Islam dari budaya-budaya lain. Pertama, konsep tauhid atau kesatuan atas
Tuhan. Kedua, universalitas pesan dan misi peradaban. Ketiga, prinsip
moral yang selalu ditegakkan. Keempat, budaya toleransi yang cukup
tinggi. Kelima, prinsip keutamaan belajar dan memperoleh ilmu (hlm.
36-38).
Dalam Islam, dikotomi-dikotomi di dalam pendidikan yang
ada selama ini sebenarnya tidak mendapatkan tempat. Islam mengajarkan
kesatuan antara dunia dan akhirat, wahyu dan akal, serta agama dan
sains. Dalam sebuah ayat, Al-Qur’an mengidentifikasi orang yang berakal
adalah orang-orang yang berzikir kepada Allah dalam segala kesempatan,
serta merenungkan segala ciptaan Allah di langit dan di bumi. Perenungan
yang mendalam atas Allah (agama) dan alam raya (sains) akan membuat
seseorang kian sadar akan kehadiran Allah. Ini menunjukkan bahwa agama
dan sains bukanlah dua hal yang terpisah dan bertentangan. Sebaliknya,
keduanya merupakan komplemen satu sama lain. Sebab, semua alam raya ini
adalah ciptaan Allah, sekaligus merupakan bukti dan tanda akan
keagungan-Nya. Karena itu, mempelajari dan membaca alam raya—dalam
bentuk sains dan teknologi—merupakan sebuah keniscayaan sebagai sarana
untuk menghayati dan mengagumi keagungan Allah.
Selain itu, Islam
juga melindungi dan merawat sama baiknya antara agama (wahyu) dan akal.
Syariat Islam melindungi dengan ketat atas lima hal yang merupakan
fitrah bagi manusia, yakni akal, harta benda, keluarga,
martabat-kehormatan, nyawa, dan agama (hlm. 47). Dari sini dapat
diindikasikan tidak adanya pembedaan dan dikotomi di dalam Islam.
Menurut
penulis, pendidikan Islam seharusnya memperhatikan dan mengasah potensi
intelektual, sosial, maupun spiritual yang dimiliki oleh manusia.
Menurut Ibn Miskawaih, sebagaimana dikutip penulis, kemampuan
intelektual manusia dapat melahirkan ilmu pengetahuan, rasa malu,
membedakan yang baik dan buruk serta benar dan salah, dan mengolah
dengan bijak kecenderungan positif dan negatif. Pada akhirnya hal itu
akan mendorong manusia untuk mengambil keputusan dengan penuh kesadaran
diri demi sesuatu yang terbaik bagi dirinya. Dengan demikian, proses
pendidikan mengupayakan kesempurnaan eksistensi kita sebagai makhluk
yang paling mulia dengan kesempurnaan jiwa (hlm. 53).
Penulis
berpendapat bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kemunduran umat
Islam, khususnya dalam bidang pendidikan, adalah ketidakseimbangan
pemahaman ajaran habl minallah dan habl minannas.
Karena itulah penulis menawarkan konsep humanisme religius. Konsep ini
meniscayakan kesatuan dan keselarasan antara ajaran-ajaran agama yang
bersifat transenden dengan nilai-nilai kemanusiaan secara luas yang
menjadi pegangan hidup manusia. Dengan humanisme religius ini,
pendidikan Islam tidak akan mengabaikan pentingnya pendidikan alam,
lingkungan, akal, serta pengembangan potensi individu secara maksimal
sesuai dengan ajaran dasar Islam yang tidak membeda-bedakan
elemen-elemen tersebut (hlm. 59-60).
Pendidikan Islam yang
diajarkan Nabi Muhammad juga memberi respons dan solusi positif terhadap
permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan fitrah individu dan
kelompok. Nabi juga meneladankan pendidikan manusia seutuhnya (insan kamil) dengan mendahulukan pembangunan tauhid (character building) serta menawarkan penajaman kepekaan sosial yang bersumber dari wahyu, hati nurani, akal, jiwa, dan realitas sosial (hlm. 62).
Memasuki
bab munculnya era nondikotomik dan dikotomik, penulis menghadirkan
kajian sejarah atas Islam dan peradabannya sejak masa Nabi Muhammad
hingga abad-abad pertengahan. Menurut penulis, lima abad pertama sejak
kelahiran Islam (abad 7-11 M.) dunia pendidikan Islam tidak mengenal
dikotomi dalam keilmuan. Semua ilmu dianggap sama dan sejajar kala itu,
dan karenanya harus dipelajari secara seimbang. Sebuah hadits
meriwayatkan bahwa Rasulullah menganjurkan kepada umatnya untuk mencari
ilmu hingga ke Cina. Padahal Cina kala itu bukan merupakan pusat
keislaman. Riwayat lain juga menyebutkan bahwa Rasulullah pernah
memerintahkan sekretarisnya untuk mempelajari bahasa orang Yahudi (hlm.
75). Kedua riwayat ini menunjukkan bahwa umat Islam seyogianya tidak
hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu-ilmu lainnya
yang bukan berbasis agama.
Menurut penulis, pada masa-masa itu
ilmu agama dan nonagama berdiri secara harmonis, dialogis, dan saling
melengkapi. Ilmu-ilmu agama berkembang lebih dahulu daripada ilmu-ilmu
lain. Hal ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa manusia dan peradabannya
harus dilandasi dengan bangunan keagamaan dan keimanan yang kokoh
sebelum ilmu-ilmu yang lain mewarnai dirinya. Para ilmuwan yang hidup
pada masa nondikotomik ini antara lain adalah Imam Syafi’i dan ketiga
Imam mazhab lainnya (bidang hukum Islam), Al-Bukhari (bidang hadits),
Ibn Ishaq (bidang sejarah), Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina (bidang
filsafat), Al-Razi (bidang fisika dan kimia), dan lain-lain.
Kemajuan
peradaban dan keilmuan yang sangat signifikan ini tidak terlepas dari
peran dan komitmen penguasa dalam mengembangkan keilmuan. Sejarah
mencatat bahwa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah berperan sangat besar
dalam pengembangan keilmuan. Salah satunya adalah dengan pendirian Bayt al-Hikmah pada masa pemerintahan Al-Ma’mun (813-833 M.) dari Dinasti Abbasiyyah. Bayt al-Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat penelitian, penerjemahan, dan pengembangan-pengembangan keilmuan.
Selain itu, Dinasti Fathimiyyah di Mesir juga turut andil dalam mengembangkan budaya akademik dengan mendirikan perpustakaan Dar al-‘Ilm (house of science) atau Dar al-Hikmah.
Perpustakaan ini didirikan oleh Al-Hakim pada tahun 1004 M. Dengan
koleksi tidak kurang dari 1.600.000 buku, perpustakaan ini terbuka bagi
siapapun yang berkepentingan untuk riset dan pengembangan keilmuan.
Koleksi yang terdapat dalam perpustakaan ini antara lain adalah
ilmu-ilmu agama, ilmu pengetahuan umum, serta ilmu-ilmu kuno yg berasal
dari Bizantium. Misalnya al-Qur’an, astronomi, tata bahasa,
leksikografi, kesusastraan, pengobatan, dan lain-lain (hlm. 96-97).
Akan
tetapi era keemasan nondikotomik keilmuan tersebut tidak bisa terus
berlanjut. Penulis menyebutkan munculnya era dikotomik—dan dengan
demikian hilangnya era nondikotomik—ditandai dengan polarisasi yang
tajam antara Sunni dan Syi’ah, antara faksi-faksi dalam Sunni sendiri,
serta ekstremitas dan fanatisme mazhab dan aliran teologi yang
berlebihan. Secara khusus, penulis meneliti dan akhirnya menyimpulkan
bahwa era Madrasah Nizamiyyahlah yang merupakan contoh kasus munculnya
penyakit dikotomi dalam pendidikan (hlm. 100). Di madrasah ini ilmu-ilmu
yang diajarkan hanyalah ilmu agama, seperti fiqh, tauhid, ushul fiqh,
ulum al-Qur’an, hadits, dan lain sebagainya. Bahkan dapat dikatakan
bahwa fiqh merupakan mata kuliah utama di sana, sedangkan semua cabang
ilmu agama yang lain diperkenalkan dalam rangka menopang superioritas
dan penjabaran hukum Islam (hlm. 112). Pendidikan serba-fiqh (fiqh oriented education) adalah ciri yang menonjol dalam pendidikan Sunni Muslim abad ke 11.
Hal
ini tidak terlepas dari kondisi sosial dan politik yang melatarinya.
Dikatakan bahwa tujuan pendirian Madrasah Nizamiyyah adalah untuk
memperkuat ideologi Syafi’i-Asy’ari di satu sisi, dan membendug serangan
dan pengaruh kelompok lain—seperti Hanbaliyyah, Hanafiyyah, Syi’ah, dan
Mu’tazilah—di sisi lain. Ini merupakan sebuah bentuk euforia dari
penguasa kala itu, yakni Nizam al-Mulk, yang merupakan penyokong setia
mazhab Syafi’i-Asy’ari, setelah memperoleh kemenangan yang gemilang dari
lawan-lawan politik sekaligus lawan ideologinya.
Bagaimanapun
juga, dikotomi pendidikan yang terjadi di kalangan masyarakat Islam
selama ini merupakan sebuah kemunduran. Karena itu, mesti ada
upaya-upaya mendasar dan paradigmatik untuk memperbaikinya. Dalam
konteks ini, penulis menjelaskan konsepnya mengenai humanisme religius.
Humanisme religius ini tidak terlepas dari konsep habl minannas. Sebagai agen Tuhan di bumi (khalifatulllah fi al-ardh),
manusia memiliki seperangkat tanggung jawab yang harus dilaksanakan,
baik terhadap sosial maupun lingkungan hidup (hlm. 139). Artinya,
manusia harus berbuat dan memperlakukan secara baik terhadap sesama
manusia di muka bumi maupun terhadap alam tempat mereka hidup.
Dalam
konteks pendidikan, humanisme religius ini didefinisikan sebagai proses
pendidikan yang lebih memerhatikan aspek potensi manusia sebagai
makhluk sosial dan makhluk religius (khalifatullah dan ‘abdullah),
serta sebagai individu yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk
mengembangkan potensi-potensinya (hlm. 135). Humanisme dimaknai sebagai
kekuatan atau potensi individu untuk mengukur dan mencapai ranah
ketuhanan dan penyelesaian permasalahan-permaslahan sosial. Menurut
pandangan ini, individu selalu dalam proses penyempurnaan diri (becoming/ istikmal).
Humanisme
religius tersebut perlu dibangun dan dikembangkan dalam proses
pendidikan Islam di kalangan masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia.
Penulis selanjutnya mengidentifikasi beberapa alasan yang merupakan
motif dan paradigma lama yang hingga saat ini masih menjadi fenomena
sosial. Ini sekaligus mengantarkan pembahasan mengapa paradigma baru
perlu diperkenalkan, dibangun, dan ditegakkan. Alasan-alasan tersebut
adalah: pertama, keberagamaan yang cenderung menekankan hubungan
vertikal dan kesemarakan ritual. Kedua, kesalehan sosial yang masih jauh
dari orientasi masyarakat kita. Ketiga, potensi peserta didik belum
dikembangkan secara proporsional, pendidikan belum berorientasi pada
pengembangan sumber daya manusia atau belum individual-oriented.
Keempat, kemandirian dan tanggung jawab anak didik masih jauh dalam
capaian dunia pendidikan (hlm. 144-153).
Sementara itu, ciri-ciri
pendidikan Islam dengan paradigma humanistik ini dihasilkan dari upaya
refleksi dan rekonstruksi terhadap sejarah Islam yang ada, khususnya
pada masa lima abad pertama sejak lahirnya Islam, serta dari nilai-nilai
normatif Islam, dan dari trend humanisme universal. Ciri-ciri ini
berada dalam tataran approach
yang bersifat aksiomatik dan menawarkan prinsip-prinsip dasar. Menurut
penulis, ada enam hal pokok yang perlu dikembangkan lebih lanjut dalam
pendidikan Islam, yakni common sense
atau akal sehat, individualisme menuju kemandirian, perasaan haus akan
pengetahuan, pendidikan pluralisme, kontekstualisme yang lebih
mementingkan fungsi daripada simbol, dan keseimbangan antara reward dan punishment (hlm. 153-154).
Berdasarkan
atas hal-hal itulah penulis berusaha untuk mengadakan perombakan dan
pembaruan dalam tataran teknis-praktis terhadap elemen-elemen
pembelajaran yang selama ini ada. Pembaruan tersebut meliputi aspek
guru, metode, murid, materi, dan evaluasi. Dalam aspek guru dan metode,
hendaknya guru lebih menekankan pengembangan kreativitas, penajaman hati
nurani dan religiositas siswa, dan meningkatkan kepekaan sosialnya. Ini
dapat dilakukan dengan cara mengenali siswa secara lebih dekat dan
personal. Fokus utama untuk pengembangan metode humanisme religius
adalah sejauhmana guru dapat memahami, mendekati, dan mengembangkan
siswa sebagai individu yang memiliki potensi kekhalifahan dan
potensi-potensi unik sebagai makhluk Allah yang didesain untuk menjadi ahsan taqwim.
Menyangkut
dengan aspek murid, penulis menetapkan enam hal yang harus dipenuhi
siswa untuk mewujudkan humanisme religius ini. Enam hal itu adalah
modal, semangat, waktu yang memadai, petunjuk guru, keuletan atau
kesabaran, serta kecerdasan. Enam hal itu diambil oleh penulis dari
kitab Ta’lim Muta’allim tentang prasyarat yang harus dimiliki oleh pencari ilmu (hlm. 203).
Terkait
dengan aspek materi, penulis menekankan pentingnya materi yang memicu
kreativitas dan moralitas para murid yang terintegrasi ke dalam
materi-materi yang diberikan oleh guru. Penulis juga menganjurkan sistem
reward and punishment yang setimpal kepada murid, dan bukan hanya mementingkan punishment. Dalam konteks pengajaran ideologi ahlussunnah wal jama’ah
(Aswaja) terhadap siswa madrasah dan pesantren di Indonesia, penulis
mengingatkan akan perlunya pengayaan literatur atas materi Aswaja,
terutama yang terkait dengan dimensi historis dan filosofis. Selain itu,
siswa/ santri hendaknya juga diberi ruang untuk mengenal dan
mempelajari mazhab dan ideologi-ideologi lain sebagai perbandingan. Ini
terutama ditujukan untuk siswa setingkat Madrasah Aliyah (hlm. 209-210).
Dalam
aspek evaluasi, konsep humanisme religius menempatkan siswa sebagai
individu yang memiliki otoritas individual, serta mampu mengambil
keputusan yang didasari sikap tanggung jawab sejak dini. Implementasi
dari sikap ini adalah suatu keharusan bahwa siswa diberi kepercayaan
untuk mengevalusi dalam rangka perbaikan ke depan atas apa yang ia lihat
dan hadapi sehari-hari. Selain itu, siswa hendaknya juga dilibatkan
dalam evaluasi terhadap guru. Yang tak kalah penting dari humanisme
religius dalam aspek evaluasi pendidikan ini adalah, evaluasi hendaknya
tidak hanya dilakukan dalam aspek kognitif saja, melainkan juga pada
dimensi afektif dan psikomotorik siswa. Periode evaluasi hendaknya day to day evaluation,
dan bukan hanya pada akhir semester dan midsemester seperti yang ada
selama ini. Dengan evalusi ala konsep humanisme religius ini, baik siswa
maupun guru diharapkan menjadi individu yang memiliki tanggung jawab
vertikal (kepada Tuhan) dan horizontal (kepada lingkungan belajar). [*]
Pencarian
Selasa, 16 April 2013
Metafisika Muhammad Iqbal
IDENTITAS BUKU: Penulis: Dr. Ishrat Hasan Enver; Judul Buku: Metafisika Iqbal: Pengantar untuk Memahami The Reconstruction of Religious Thought in Islam; Judul Asli: The Metaphysics of Iqbal;
Penerjemah: M. Fauzi Arifin; Pengantar: Dr. Syed Zahfarul Hasan;
Editor: Kamdani; Desain Sampul: Nuruddien; Tata Letak: Susanti Y. Utami;
Penerbit: Pustaka Pelajar; Cetakan I: Februari 2004; Jumlah Halaman:
xiv + 134; Ukuran Buku: 12 x 19 cm.
REVIEW: Buku ini merupakan terjemahan dari judul asli berupa The Metaphysics of Iqbal yang diterbitkan oleh Universitas Islam Aligarh, India. Bertujuan mengelaborasi pemikiran Muhammad Iqbal, seorang filsuf-penyair asal India, mengenai metafisika, penulis memfokuskan diri pada tulisan-tulisan Iqbal tentang filsafat, khususnya yang terdapat dalam karyanya The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Penjelasan yang disampaikan penulis banyak merujuk kepada pandangan dan pendapat Iqbal sendiri, baik berupa elaborasi atas pemikirannya maupun kritik-kritiknya terhadap teori-teori lain. Sebab menurut penulis, penilaian Iqbal yang negatif (kritik) selalu merupakan pengantar menuju penilaian yang positif. Ketika Iqbal mengkritik beberapa pandangan, pada saat yang sama dia mengemukakan arah positif yang di situ pemikirannya bergerak. Penulis memetakan periodesasi pemikiran Iqbal menjadi dua tahap, yakni sebelum intuisi dan tahap intuisi. Dalam buku ini penulis membatasi tentang pemikiran Iqbal pada tahap intuisi. Sebab pada tahap inilah, menurut penulis, yang membedakan Iqbal dengan para pemikir Barat maupun filsuf Muslim. Selain itu, penulis juga membahas pengaruh oleh dan kritik Iqbal terhadap doktrin-doktrin Mctaggart, Bergson, Nietzsche, Berkeley, Leibniz, dan Kant.
Dalam bab pendahuluan, penulis memperkenalkan filsafat M. Iqbal sebagai filsafat yang secara esensial bersifat religius. Iqbal melalui filsafatnya hendak menegaskan eksistensi Tuhan, realitas Diri, serta kebebasan dan keabadian. Bagi Iqbal, agama adalah mutlak dan sangat penting. Dan dia hendak menegaskan kebenaran itu, bukan an sich melalui teori dan pengalaman, tetapi melalui apa yang disebutnya sebagai “intuisi”. Meskipun demikian, Iqbal menganggap bahwa pengalaman inderawi sangat penting sebagai sumber pengetahuan. Akan tetapi, di balik semua pengalaman inderawi tersebut masih terdapat cakrawala realitas baru yang transenden, mutlak, dan kekal. Realitas dan eksistensi yang Mutlak tersebut, beserta kepastian sifat dasarnya, dapat diperoleh hanya melalui sebuah pengalaman luar biasa yang disebut sebagai intuisi. Intuisi, dengan demikian, bertujuan untuk memahami keseluruhan realitas (hlm. 5). Dalam konteks ini, Iqbal berbeda pandangan dengan para filsuf Yunani, khususnya Plato, yang menyangkal semua realitas yang nampak dan hanya memercayai dunia ide. Di sisi lain, dia juga berhadap-hadapan dengan filsafat modern, terutama sejak Immanuel Kant, yang menitikberatkan pada pengalaman inderawi tanpa memandang adanya kemungkinan beragam realitas di balik pengalaman inderawi.
Dalam pencapaian terhadap Yang Mutlak tersebut, Iqbal bertitik tolak pada Intuisi dari Dirinya sendiri, yakni membawa intuisi lebih dekat pada pengalaman biasa. Dari Intuisi Diri inilah Iqbal kemudian bergerak menuju Intuisi Realitas dan Realitas Mutlak. Intuisi Diri terbuka bagi semua, dan akrab dengan kita dalam pelbagai momen tindakan dan keputusan penting yang kita ambil. Intuisi Diri dapat dicapai melalui perenungan terhadap diri sehingga membawa penegasan pada realitas diri beserta kebebasan dan keabadiannya yang intens. Lebih jauh, akan membukakan pada kita jalan baru pengetahuan bagi penegasan eksistensi Tuhan dan pemahaman terhadap hakekat-Nya (hlm. 10). Filsafat Iqbal, dengan demikian, adalah filsafat keegoan. Keegoan adalah poros dari semua realitas. Dengan kalimat yang apik, untuk menggambarkan sistematika buku ini, penulis menyatakan bahwa cara terbaik berhubungan dengan filsafat Iqbal adalah, pertama-tama mendiskusikan intuisi, kemudian memulai dengan Diri, dan melewati ketebalan dan kepadatan Dunia Materi, menuju ke Tuhan.
Pembahasan mengenai intuisi ala Iqbal tidak terlepas dari diskursus tentang metafisika dan term-term yang mengitarinya seperti pengetahuan, ruang, waktu, fenoumena, dan noumena yang menjadi concern pembahasan Immanuel Kant. Menurut Kant, eksistensi metafisika—dalam artian sebuah usaha untuk memahami realitas akhir berupa noumena—adalah tidak mungkin. Sebab, pengetahuan kita terhadap sesuatu ditentukan oleh ruang dan waktu. Sedangkan keduanya bukanlah realitas obyektif yang menilai eksistensi terlepas dari subyek. Keduanya hanyalah pemahaman subyektif kita atas realitas. Maka, bila keberadaan ruang dan waktu adalah subyektif, dan semua benda berada dalam ruang dan waktu, apa yang terlihat tentu hanyalah fenoumena. Benda-benda itu sebagaimana mereka ada dalam dirinya sendiri atau noumena, selalu menghindar dari jangkauan kita. Kita, dengan demikian, tidak dapat menjangkau realitas secara tuntas. Jadi, metafisika, jika dia adalah usaha untuk memahami realitas terakhir atau noumena, adalah mustahil. Kant pun kemudian “menarik diri” dari masalah-masalah metafisika (hlm. 13-14).
Terhadap ide tentang subyektivitas ruang dan waktu, Iqbal sepenuhnya sependapat dengan Kant. Akan tetapi Iqbal menentang tidak adanya kemungkinan atas pengetahuan terhadap noumena atau benda-benda dalam dirinya sendiri. Menurut Iqbal, kesimpulan Kant bahwa pengetahuan noumena tidak mungkin dicapai, bisa benar sejauh itu menyangkut pengalaman pada level normal. Akan tetapi level normal pengalaman bukanlah satu-satunya level pengetahuan. Ada tingkatan pengalaman tertentu yang bebas dari determinasi ruang dan waktu. Sebab, makna ruang dan waktu bervariasi sesuai dengan tingkatan pelbagai wujud. Pengalaman yang tidak membutuhkan dimensi spasial-temporal tersebut adalah intuisi. Intuisi adalah sebuah pengalaman tersendiri yang unik dan berbeda dengan persepsi maupun pikiran, bahkan melampaui keduanya. Ciri-ciri intuisi adalah: merupakan pengalaman singkat (immediate experience) tentang Yang Nyata; berupa perasaan yang hanya dimiliki oleh hati, bukan milik akal atau intelek; merupakan keseluruhan realitas yang tak terbagi-bagi dan tak teranalisa; merupakan Person atau Diri yang unik dan transenden; serta meniadakan dimensi waktu yang serial (hlm. 23-29).
Agama dalam konteks ini merupakan sebuah kesadaran akan adanya Yang Maha Mutlak yang jauh di atas sana, dan hanya dapat dicapai melalui perangkat intuisi ini. Menurut Iqbal, esensi agama adalah kerinduan yang bukan untuk kesempurnaan, tetapi untuk berhubungan langsung dengan Realitas Tertinggi atau Tuhan tersebut. Intuisi, dengan demikian, merupakan pengalaman keagamaan yang sangat personal, unik, dan subyektif atas diri manusia dalam rangka menggapai Realitas Tertinggi. Dan sekalipun intuisi ini adalah personal dan subyektif, namun dia tetaplah sebuah pengetahuan yang kongkrit, nyata adanya, serta memiliki “muatan kognitif” dan bukan sekadar ilusi. Ia menyingkap kemungkinan tersembunyi tentang kesempurnaan dan pertumbuhan spiritual. Ia juga memiliki kekuatan yang kokoh mengubah kepribadian subyek pengalaman (hlm. 32-33).
Terkait dengan Diri, penulis menjelaskan bahwa titik tekan dan dasar filsafat Iqbal adalah filsafat Diri. Dirilah yang memberi Iqbal jalan menuju metafisika, karena intuisi Diri yang membuat metafisika mungkin. Diri adalah realitas yang benar-benar nyata dan keberadaannya terletak dalam hakikatnya sendiri. Intuisi Diri, dengan demikian, memberikan kepada kita keyakinan yang kokoh dan langsung atas keberadaan pengalaman kita. Lebih lanjut, intuisi tidak hanya menguatkan keberadaan Diri, tetapi juga memperlihatkan kepada kita sifat dasar dan hakikatnya yang memerintah, bebas, dan abadi. Menururt Iqbal, realitas Diri yang nyata tersebut dapat dikenali dan dirasakan melalui intuisi secara langsung. Intuisi ini mungkin muncul pada saat mengambil keputusan-keputusan besar, tindakan, dan perasan-perasaan yang dalam. Tindakan, usaha, dan perjuangan, membukakan kepada kita lubuk hati terdalam akan wujud Diri kita. Diri tersebut merupakan pusat seluruh aktivitas dan tindakan kita, sekaligus inti kepribadian kita. Kepribadian inilah yang dinamakan Ego.
Keberadaan diri pada kenyataannya tergantung atas tindakan, pengharapan, dan hasrat. Hasrta bagi manusia mempunyai kekuatan kreatif. Hasrat membimbing manusia untuk hidup dan bertindak. Hasrat menumbuhkan wawasan dan cakrawala baru. Kekuatan hasrat yang memiliki daya cipta ini diistilahkan oleh Iqbal dengan “Soz” yang merupakan inti dari kepribadian. Ego tumbuh dan berkembang pada kepribadian yang kuat dan bertenaga yang terus memancar dari hasrat dan cita-cita. Hasrat menjadi cinta yang sangat kuat. Cinta kemudian memberikan suatu arti dan kekuatan hidup baru. Bentuk tertinggi cinta adalah penciptaan nilai-nilai dan ide-ide, serta usaha untuk merealisasikannya (hlm. 56-57). Namun, hasrat tidak dapat tumbuh, bahkan tidak dapat hidup, tanpa berhubungan dengan dunia obyektif.
Terkait dengan kebebasan Ego, Iqbal mengibaratkannya sebagai seorang hakim yang bebas memutuskan perkara tanpa memihak. Ego mewujud dalam kehendak bebas yang bisa memutuskan untuk menerima, menolak, ataupun memunculkan pemikiran yang lain atas apa yang disodorkan oleh pikiran, perasaan, maupun persepsi. Kehendak, dengan demikian, adalah Ego yang menilai pemikiran. Dan penilaian adalah bebas. Di sisi lain, Ego adalah sesuatu yang abadi. Keabadian ini muncul seiring dengan gerakan bebas yang dilakukannya menuju perwujudan cita-cita dan keinginannya melalui tindakan-tindakan tertentu. Tindakan memberikan intuisi bahwa Diri adalah abadi. Dalam tindakan kita, kita tumbuh dan memperkuat kesadaran akan diri kita sendiri. Lebih lanjut, melalui tindakan sendiri kita dapat menyempurnakan Diri kita menjadi abadi (hlm. 68-69).
Berhubungan dengan dunia materi, Iqbal menganggap bahwa ia benar-benar ada dan nyata. Realitas obyektif seperti yang terlihat oleh kita memang benar adanya, bukan saja dalam persepsi inderawi, melainkan juga dalam setiap pemikiran atau pengetahuan. Dualitas subyek dan obyek adalah suatu keharusan bagi seluruh pengetahuan. Menurut Iqbal, dunia materi tersebut berupa “rangkaian” kejadian yang saling berhubungan, sebagaimana dikatakan Einstein, atau seperti “organisme” sebagaimana dinyatakan Whitehead. Materi, dengan demikian, bukanlah sebuah benda yang kokoh yang terdapat di dalam ruang (hlm. 75).
Dunia fisik, melalui analisa Diri, eksis dalam waktu. Dan waktu adalah milik khas Diri. Karena itu, dunia materi harus dianggap sebagai suatu Diri yang unik dan hidup. Hakekat dunia materi selalu berubah terus-menerus secara tetap, bebas, dan dinamis. Kehidupan pada hakekatnya adalah tindakan dan pergerakan itu sendiri. Diri yang ada dalam alam semesta, menurut Iqbal, adalah suatu kecenderungan untuk menyendiri dan tumbuh menjadi individu. Bentuk tertinggi dari kecenderungan tersebut adalah Ego, yang di situ individu menjadi pusat yang hanya berisi Diri. Ego bertumbuh, berubah, dan bergerak ke tingkat yang lebih tinggi dengan meningkatkan tindakan, ketegangan, dan harapan. Setiap atom yang merupakan pembentuk dunia materi, bagaimanapun juga, meskipun eksistensinya rendah, adalah Ego. Keseluruhan mahluk, dengan demikian, berlari menuju tangga keegoan secara bertahap hingga ia mencapai kesempurnaannya dalam diri manusia (hlm. 86).
Di sisi lain, alam semesta sebagai sesuatu yang hidup mempunyai sesuatu yang bebas dan kreatif. Ia merupakan satu kesatuan organik dari kehendak, pemikiran, dan maksud. Alam mempunyai “alasan” dan “rencana”. Dia secara pasti menuju kepada tujuan tertentu di masa depan. Dia tumbuh dan berkembang secara konsisten di mana kemungkinan-kemungkinan pertumbuhan dan perkembangannya yang terdalam tidak akan pernah diketahui batasnya.
Alam semesta sebagaimana digambarkan Iqbal di atas adalah sebuah kehidupan kreatif yang dikendalikan secara personal. Dia adalah Diri atau Ego yang cerdas dan memiliki tujuan. Alam semesta yang merupakan Ego ini termasuk dalam Ego yang terbatas. Di luar Ego terbatas masih terdapat Ego Tertinggi. Ego Tertinggi ini menarik Ego-Ego terbatas ke dalam diri-Nya tanpa menghilangkan mereka, yakni dengan cara menyerap mereka ke dalam wujud-Nya (hlm. 104). Dalam diri Ego Tertinggi ini Ego terbatas menemukan eksistensinya. Ego Tertinggi bersifat transenden, yakni berada di luar jangkauan pengalaman kita.
Transendensi Ego Tertinggi ini dalam konteks keagamaan memiliki kedudukan yang sangat vital dan tidak bisa ditawar, disebabkan: bahwa Realitas Akhir memang sudah seharusnya bersifat transenden; Realitas Akhir mesti dianggap sebagai sebuah kepribadian; terdapat kemungkinan untuk berhubungan erat dengan Ego Mutlak tersebut; serta, kesadaran religius menuntut keabadian ego terbatas, dalam hal ini manusia, agar dia dapat mendekati Yang Tak Terbatas. Kepribadian Ego Akhir sebagaimana disebut di atas, mencakup Maha Kreatif, Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Abadi. [*]
REVIEW: Buku ini merupakan terjemahan dari judul asli berupa The Metaphysics of Iqbal yang diterbitkan oleh Universitas Islam Aligarh, India. Bertujuan mengelaborasi pemikiran Muhammad Iqbal, seorang filsuf-penyair asal India, mengenai metafisika, penulis memfokuskan diri pada tulisan-tulisan Iqbal tentang filsafat, khususnya yang terdapat dalam karyanya The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Penjelasan yang disampaikan penulis banyak merujuk kepada pandangan dan pendapat Iqbal sendiri, baik berupa elaborasi atas pemikirannya maupun kritik-kritiknya terhadap teori-teori lain. Sebab menurut penulis, penilaian Iqbal yang negatif (kritik) selalu merupakan pengantar menuju penilaian yang positif. Ketika Iqbal mengkritik beberapa pandangan, pada saat yang sama dia mengemukakan arah positif yang di situ pemikirannya bergerak. Penulis memetakan periodesasi pemikiran Iqbal menjadi dua tahap, yakni sebelum intuisi dan tahap intuisi. Dalam buku ini penulis membatasi tentang pemikiran Iqbal pada tahap intuisi. Sebab pada tahap inilah, menurut penulis, yang membedakan Iqbal dengan para pemikir Barat maupun filsuf Muslim. Selain itu, penulis juga membahas pengaruh oleh dan kritik Iqbal terhadap doktrin-doktrin Mctaggart, Bergson, Nietzsche, Berkeley, Leibniz, dan Kant.
Dalam bab pendahuluan, penulis memperkenalkan filsafat M. Iqbal sebagai filsafat yang secara esensial bersifat religius. Iqbal melalui filsafatnya hendak menegaskan eksistensi Tuhan, realitas Diri, serta kebebasan dan keabadian. Bagi Iqbal, agama adalah mutlak dan sangat penting. Dan dia hendak menegaskan kebenaran itu, bukan an sich melalui teori dan pengalaman, tetapi melalui apa yang disebutnya sebagai “intuisi”. Meskipun demikian, Iqbal menganggap bahwa pengalaman inderawi sangat penting sebagai sumber pengetahuan. Akan tetapi, di balik semua pengalaman inderawi tersebut masih terdapat cakrawala realitas baru yang transenden, mutlak, dan kekal. Realitas dan eksistensi yang Mutlak tersebut, beserta kepastian sifat dasarnya, dapat diperoleh hanya melalui sebuah pengalaman luar biasa yang disebut sebagai intuisi. Intuisi, dengan demikian, bertujuan untuk memahami keseluruhan realitas (hlm. 5). Dalam konteks ini, Iqbal berbeda pandangan dengan para filsuf Yunani, khususnya Plato, yang menyangkal semua realitas yang nampak dan hanya memercayai dunia ide. Di sisi lain, dia juga berhadap-hadapan dengan filsafat modern, terutama sejak Immanuel Kant, yang menitikberatkan pada pengalaman inderawi tanpa memandang adanya kemungkinan beragam realitas di balik pengalaman inderawi.
Dalam pencapaian terhadap Yang Mutlak tersebut, Iqbal bertitik tolak pada Intuisi dari Dirinya sendiri, yakni membawa intuisi lebih dekat pada pengalaman biasa. Dari Intuisi Diri inilah Iqbal kemudian bergerak menuju Intuisi Realitas dan Realitas Mutlak. Intuisi Diri terbuka bagi semua, dan akrab dengan kita dalam pelbagai momen tindakan dan keputusan penting yang kita ambil. Intuisi Diri dapat dicapai melalui perenungan terhadap diri sehingga membawa penegasan pada realitas diri beserta kebebasan dan keabadiannya yang intens. Lebih jauh, akan membukakan pada kita jalan baru pengetahuan bagi penegasan eksistensi Tuhan dan pemahaman terhadap hakekat-Nya (hlm. 10). Filsafat Iqbal, dengan demikian, adalah filsafat keegoan. Keegoan adalah poros dari semua realitas. Dengan kalimat yang apik, untuk menggambarkan sistematika buku ini, penulis menyatakan bahwa cara terbaik berhubungan dengan filsafat Iqbal adalah, pertama-tama mendiskusikan intuisi, kemudian memulai dengan Diri, dan melewati ketebalan dan kepadatan Dunia Materi, menuju ke Tuhan.
Pembahasan mengenai intuisi ala Iqbal tidak terlepas dari diskursus tentang metafisika dan term-term yang mengitarinya seperti pengetahuan, ruang, waktu, fenoumena, dan noumena yang menjadi concern pembahasan Immanuel Kant. Menurut Kant, eksistensi metafisika—dalam artian sebuah usaha untuk memahami realitas akhir berupa noumena—adalah tidak mungkin. Sebab, pengetahuan kita terhadap sesuatu ditentukan oleh ruang dan waktu. Sedangkan keduanya bukanlah realitas obyektif yang menilai eksistensi terlepas dari subyek. Keduanya hanyalah pemahaman subyektif kita atas realitas. Maka, bila keberadaan ruang dan waktu adalah subyektif, dan semua benda berada dalam ruang dan waktu, apa yang terlihat tentu hanyalah fenoumena. Benda-benda itu sebagaimana mereka ada dalam dirinya sendiri atau noumena, selalu menghindar dari jangkauan kita. Kita, dengan demikian, tidak dapat menjangkau realitas secara tuntas. Jadi, metafisika, jika dia adalah usaha untuk memahami realitas terakhir atau noumena, adalah mustahil. Kant pun kemudian “menarik diri” dari masalah-masalah metafisika (hlm. 13-14).
Terhadap ide tentang subyektivitas ruang dan waktu, Iqbal sepenuhnya sependapat dengan Kant. Akan tetapi Iqbal menentang tidak adanya kemungkinan atas pengetahuan terhadap noumena atau benda-benda dalam dirinya sendiri. Menurut Iqbal, kesimpulan Kant bahwa pengetahuan noumena tidak mungkin dicapai, bisa benar sejauh itu menyangkut pengalaman pada level normal. Akan tetapi level normal pengalaman bukanlah satu-satunya level pengetahuan. Ada tingkatan pengalaman tertentu yang bebas dari determinasi ruang dan waktu. Sebab, makna ruang dan waktu bervariasi sesuai dengan tingkatan pelbagai wujud. Pengalaman yang tidak membutuhkan dimensi spasial-temporal tersebut adalah intuisi. Intuisi adalah sebuah pengalaman tersendiri yang unik dan berbeda dengan persepsi maupun pikiran, bahkan melampaui keduanya. Ciri-ciri intuisi adalah: merupakan pengalaman singkat (immediate experience) tentang Yang Nyata; berupa perasaan yang hanya dimiliki oleh hati, bukan milik akal atau intelek; merupakan keseluruhan realitas yang tak terbagi-bagi dan tak teranalisa; merupakan Person atau Diri yang unik dan transenden; serta meniadakan dimensi waktu yang serial (hlm. 23-29).
Agama dalam konteks ini merupakan sebuah kesadaran akan adanya Yang Maha Mutlak yang jauh di atas sana, dan hanya dapat dicapai melalui perangkat intuisi ini. Menurut Iqbal, esensi agama adalah kerinduan yang bukan untuk kesempurnaan, tetapi untuk berhubungan langsung dengan Realitas Tertinggi atau Tuhan tersebut. Intuisi, dengan demikian, merupakan pengalaman keagamaan yang sangat personal, unik, dan subyektif atas diri manusia dalam rangka menggapai Realitas Tertinggi. Dan sekalipun intuisi ini adalah personal dan subyektif, namun dia tetaplah sebuah pengetahuan yang kongkrit, nyata adanya, serta memiliki “muatan kognitif” dan bukan sekadar ilusi. Ia menyingkap kemungkinan tersembunyi tentang kesempurnaan dan pertumbuhan spiritual. Ia juga memiliki kekuatan yang kokoh mengubah kepribadian subyek pengalaman (hlm. 32-33).
Terkait dengan Diri, penulis menjelaskan bahwa titik tekan dan dasar filsafat Iqbal adalah filsafat Diri. Dirilah yang memberi Iqbal jalan menuju metafisika, karena intuisi Diri yang membuat metafisika mungkin. Diri adalah realitas yang benar-benar nyata dan keberadaannya terletak dalam hakikatnya sendiri. Intuisi Diri, dengan demikian, memberikan kepada kita keyakinan yang kokoh dan langsung atas keberadaan pengalaman kita. Lebih lanjut, intuisi tidak hanya menguatkan keberadaan Diri, tetapi juga memperlihatkan kepada kita sifat dasar dan hakikatnya yang memerintah, bebas, dan abadi. Menururt Iqbal, realitas Diri yang nyata tersebut dapat dikenali dan dirasakan melalui intuisi secara langsung. Intuisi ini mungkin muncul pada saat mengambil keputusan-keputusan besar, tindakan, dan perasan-perasaan yang dalam. Tindakan, usaha, dan perjuangan, membukakan kepada kita lubuk hati terdalam akan wujud Diri kita. Diri tersebut merupakan pusat seluruh aktivitas dan tindakan kita, sekaligus inti kepribadian kita. Kepribadian inilah yang dinamakan Ego.
Keberadaan diri pada kenyataannya tergantung atas tindakan, pengharapan, dan hasrat. Hasrta bagi manusia mempunyai kekuatan kreatif. Hasrat membimbing manusia untuk hidup dan bertindak. Hasrat menumbuhkan wawasan dan cakrawala baru. Kekuatan hasrat yang memiliki daya cipta ini diistilahkan oleh Iqbal dengan “Soz” yang merupakan inti dari kepribadian. Ego tumbuh dan berkembang pada kepribadian yang kuat dan bertenaga yang terus memancar dari hasrat dan cita-cita. Hasrat menjadi cinta yang sangat kuat. Cinta kemudian memberikan suatu arti dan kekuatan hidup baru. Bentuk tertinggi cinta adalah penciptaan nilai-nilai dan ide-ide, serta usaha untuk merealisasikannya (hlm. 56-57). Namun, hasrat tidak dapat tumbuh, bahkan tidak dapat hidup, tanpa berhubungan dengan dunia obyektif.
Terkait dengan kebebasan Ego, Iqbal mengibaratkannya sebagai seorang hakim yang bebas memutuskan perkara tanpa memihak. Ego mewujud dalam kehendak bebas yang bisa memutuskan untuk menerima, menolak, ataupun memunculkan pemikiran yang lain atas apa yang disodorkan oleh pikiran, perasaan, maupun persepsi. Kehendak, dengan demikian, adalah Ego yang menilai pemikiran. Dan penilaian adalah bebas. Di sisi lain, Ego adalah sesuatu yang abadi. Keabadian ini muncul seiring dengan gerakan bebas yang dilakukannya menuju perwujudan cita-cita dan keinginannya melalui tindakan-tindakan tertentu. Tindakan memberikan intuisi bahwa Diri adalah abadi. Dalam tindakan kita, kita tumbuh dan memperkuat kesadaran akan diri kita sendiri. Lebih lanjut, melalui tindakan sendiri kita dapat menyempurnakan Diri kita menjadi abadi (hlm. 68-69).
Berhubungan dengan dunia materi, Iqbal menganggap bahwa ia benar-benar ada dan nyata. Realitas obyektif seperti yang terlihat oleh kita memang benar adanya, bukan saja dalam persepsi inderawi, melainkan juga dalam setiap pemikiran atau pengetahuan. Dualitas subyek dan obyek adalah suatu keharusan bagi seluruh pengetahuan. Menurut Iqbal, dunia materi tersebut berupa “rangkaian” kejadian yang saling berhubungan, sebagaimana dikatakan Einstein, atau seperti “organisme” sebagaimana dinyatakan Whitehead. Materi, dengan demikian, bukanlah sebuah benda yang kokoh yang terdapat di dalam ruang (hlm. 75).
Dunia fisik, melalui analisa Diri, eksis dalam waktu. Dan waktu adalah milik khas Diri. Karena itu, dunia materi harus dianggap sebagai suatu Diri yang unik dan hidup. Hakekat dunia materi selalu berubah terus-menerus secara tetap, bebas, dan dinamis. Kehidupan pada hakekatnya adalah tindakan dan pergerakan itu sendiri. Diri yang ada dalam alam semesta, menurut Iqbal, adalah suatu kecenderungan untuk menyendiri dan tumbuh menjadi individu. Bentuk tertinggi dari kecenderungan tersebut adalah Ego, yang di situ individu menjadi pusat yang hanya berisi Diri. Ego bertumbuh, berubah, dan bergerak ke tingkat yang lebih tinggi dengan meningkatkan tindakan, ketegangan, dan harapan. Setiap atom yang merupakan pembentuk dunia materi, bagaimanapun juga, meskipun eksistensinya rendah, adalah Ego. Keseluruhan mahluk, dengan demikian, berlari menuju tangga keegoan secara bertahap hingga ia mencapai kesempurnaannya dalam diri manusia (hlm. 86).
Di sisi lain, alam semesta sebagai sesuatu yang hidup mempunyai sesuatu yang bebas dan kreatif. Ia merupakan satu kesatuan organik dari kehendak, pemikiran, dan maksud. Alam mempunyai “alasan” dan “rencana”. Dia secara pasti menuju kepada tujuan tertentu di masa depan. Dia tumbuh dan berkembang secara konsisten di mana kemungkinan-kemungkinan pertumbuhan dan perkembangannya yang terdalam tidak akan pernah diketahui batasnya.
Alam semesta sebagaimana digambarkan Iqbal di atas adalah sebuah kehidupan kreatif yang dikendalikan secara personal. Dia adalah Diri atau Ego yang cerdas dan memiliki tujuan. Alam semesta yang merupakan Ego ini termasuk dalam Ego yang terbatas. Di luar Ego terbatas masih terdapat Ego Tertinggi. Ego Tertinggi ini menarik Ego-Ego terbatas ke dalam diri-Nya tanpa menghilangkan mereka, yakni dengan cara menyerap mereka ke dalam wujud-Nya (hlm. 104). Dalam diri Ego Tertinggi ini Ego terbatas menemukan eksistensinya. Ego Tertinggi bersifat transenden, yakni berada di luar jangkauan pengalaman kita.
Transendensi Ego Tertinggi ini dalam konteks keagamaan memiliki kedudukan yang sangat vital dan tidak bisa ditawar, disebabkan: bahwa Realitas Akhir memang sudah seharusnya bersifat transenden; Realitas Akhir mesti dianggap sebagai sebuah kepribadian; terdapat kemungkinan untuk berhubungan erat dengan Ego Mutlak tersebut; serta, kesadaran religius menuntut keabadian ego terbatas, dalam hal ini manusia, agar dia dapat mendekati Yang Tak Terbatas. Kepribadian Ego Akhir sebagaimana disebut di atas, mencakup Maha Kreatif, Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Abadi. [*]
Kontekstualisasi Ilmu Kalam
IDENTITAS BUKU: Penulis: Muhammad
In'am Esha; Judul Buku: Rethinking Kalam: Sejarah Sosial Pengetahuan
Islam, Mencermati Dinamika dan Aras Perkembangan Kalam Islam
Kontemporer; Editor: Abdillah Halim; Desain Cover: Sarwanto; Layout:
Abdul Adhim; Penerbit: eLSAQ Press; Cetakan: Pertama, November 2006;
Jumlah Halaman: xii + 159; Ukuran: 12 x 18 cm.
REVIEW: Seperti tercermin dalam judulnya, Rethinking Kalam, buku ini berusaha memikirkan dan merumuskan kembali atas keilmuan kalam (teologi) yang selama ini telah dianggap baku dan final. Pada awal kemunculannya, ilmu kalam merupakan respons terhadap maraknya filsafat Yunani dan ajaran-ajaran di luar Islam saat itu. Ideologi dan pemiiran-pemikiran filosofis tersebut tersebar luas di kalangan masyarakat Muslim, sehingga para pemikir Islam merasa perlu mengantisipasi kemungkinan tercemarnya akidah umat Islam. Karya-karya yang ditulis oleh para pemikir Muslim itulah yang kemudian berkembang menjadi ilmu kalam. Dengan kata lain, ilmu kalam menjadi fakta yang menunjukkan adanya sense of social crisis dari para pemikir Muslim kala itu.
Selanjutnya, berabad-abad setelah itu, yakni saat ini, kondisi umat Islam mengalami keterbelakangan di pelbagai bidang. Mulai dari penjajahan, kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, keterpecahbelahan, d.l.l. Sayangnya, Islam sebagai anutan kepercayaan dan pandangan hidup kaum Muslim tak berkutik menghadapi itu semua. Ilmu kalam yang dulunya sangat responsif terhadap kondisi sosial yang dialami umat Islam, kini seakan lumpuh tak berdaya menjawab persoalan riil umat Islam. Dalam istilah penulis, elan vital ilmu kalam yang dulu dimilikinya kini telah hilang. Dalam kerangka itulah rethinking terhadap ilmu kalam sangat urgen untuk dilakukan. Gagasan rethinking kalam bertujuan merumuskan kembali ilmu kalam menjadi bentuk baru yang sesuai dengan spirit awal pembentukannya, yakni kalam yang relevan dengan kondisi zaman dan dapat merespons problem-problem sosial yang dihadapi. Secara spesifik, tema-tema yang akan dijadikan fokus kajian dalam buku ini adalah mengenai kalam pembebasan, kalam feminisme, dan kalam pluralisme.
Untuk menguraikan permasalahan secara sistematis agar mudah dipahami, penulis membagi buku ini ke dalam delapan bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi pengantar menuju wacana. Bab dua dan tiga membahas pengertian, ruang lingkup, metodologi, dan sejarah ilmu kalam. Bab empat menguraikan diskursus antara tradisi dan modernitas dalam pemikiran Islam, khususnya mengenai ilmu kalam. Bab lima hingga delapan membahas wacana tentang perumusan kembali (rethinking) ilmu kalam beserta tawaran-tawaran dari para pemikir Islam kontemporer, yakni mengenai kalam pembebasan, kalam feminisme, dan kalam pluralisme.
Ilmu kalam, atau yang belakangan disejajarkan dengan teologi, secara definitif adalah ilmu yang membahas segi-segi mengenai Tuhan dan pelbagai derivasinya, baik dalam kaitannya dengan alam semesta maupun manusia. Ruang lingkup pembahasan ilmu kalam, menurut penulis sebagaimana dikutip dari Al-Ghazali, adalah tentang Tuhan dengan segala sifat-Nya, tentang kenabian, dan tentang hari akhir atau eskatologi. Dalam membahas tema-tema tersebut, para pemikir Muslim pada awal munculnya ilmu ini mengerahkan seluruh pikirannya untuk membela akidah umat Islam dari serangan-serangan paham di luar Islam dengan menggunakan argumen-argumen rasional maupun yang diambil dari Al-Qur'an. Seiring perjalanannya, concern pembahasan ilmu kalam yang hanya berkutat pada "tema-tema langit" mulai mengalami pergeseran di penghujung abad 20. Para intelektual Muslim kontemporer berusaha merekonstruksi ilmu kalam dengan cara "membumikan" keilmuan tersebut. Ini dilakukan antara lain oleh Hassan Hanafi. Langkah Hanafi ini kemudian diikuti oleh para pemikir Muslim lainnya dengan mengusung tema-tema yang aktual dan relevan dengan kondisi umat Islam saat ini (hlm. 23).
Pembahasan tentang tema-tema kalam sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah SAW, meskipun dalam bentuk yang sederhana. Sedangkan periode kematangan dan definitif ilmu kalam terjadi pada masa-masa kejayaan golongan Mu'tazilah. Pada masa ini, persoalan-persoalan kalam seperti qadar mulai mendapat sentuhan-sentuhan filosofis dan tidak melulu merupakan perkara keyakinan. Argumen-argumen yang digunakan oleh para ahli kalam dalam menjelaskan tema-tema ketuhanan banyak menyentuh aspek-aspek fisika dan metafisika, serta menggunakan logika Aristotelian. Pasca Mu'tazilah, pembahasan tentang tema-tema kalam lebih diwarnai oleh upaya sintesa antara pemikiran ortodoks yang literalis dan pandangan-pandangan Mu'tazilah yang rasionalis. Pada masa ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah mendominasi lapangan keilmuan-keilmuan Islam, termasuk dalam hal kalam, dan ranah sosial-politik masyarakat Islam. Satu hal yang dapat dipetik dari perjalanan sejarah ilmu kalam tersebut, menurut penulis, adalah adanya respons dan dialektika ilmu kalam terhadap kondisi sosial dan problem-problem yang dihadapi oleh umat Islam pada masanya. Karena itu, spirit dialektis dan responsif ilmu kalam tersebut harus selalu direvitalisasi, terutama pada masa modern sekarang ini, agar bisa menjawab permasalahan-permasalahan aktual yang dihadapi oleh umat Islam (hlm. 40).
Selanjutnya pada masa modern, diskursus mengenai tradisi dan modernitas menjadi tema yang menyedot perhatian yang sangat besar di kalangan masyarakat Muslim, terutama para pemikirnya. Umat Islam dihadapkan pada dua fenomena besar yang sangat urgen dalam kehidupan keagamaan mereka, yakni warisan masa lalu (al-turats) berupa seperangkat pemikiran dan tradisi tertentu yang ditinggalkan oleh generasi Muslim terdahulu. Di sisi lain, mereka juga dihadapkan dengan realitas budaya Barat dengan segala aspek pemikiran, tradisi, dan nilai-nilainya. Menyikapi hal ini, terdapat sekelompok masyarakat Muslim yang berusaha mempertahankan al-turats tersebut secara ketat dan tanpa adanya kompromi sedikitpun untuk mengakomodasi modernisme dari Barat.
Di lain pihak, terdapat pula golongan modernis yang menganjurkan pengadopsian modernitas Barat untuk mengejar ketertinggalan masyarakat Muslim pada saat ini. Menurut mereka, tradisi dan modernitas tak perlu dipertentangkan, namun justeru seharusnya dipertautkan dan didialogkan secara sinergis untuk menghasilkan sebuah pemikiran baru yang dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat Muslim. Sebab, pada dasarnya Islam adalah shalih likulli zaman wa makan. Karena itu, akomodasi terhadap modernitas merupakan sebuah keniscayaan sebagai wujud dinamisitas dan progresifitas agama Islam sebagaimana dicerminkan dalam kredo tersebut. Dari golongan ini, muncullah para intelektual semisal Hassan Hanafi, Mohammad Abid Al-Jabiri, Mohammed Arkoun, Fazlur Rahman, d.l.l. Hanafi misalnya, menekankan pentingnya aspek manusia yang harus dikedepankan dalam diskursus keilmuan Islam kontemporer, serta pembaruan keilmuan Islam dengan penekanannya yang serius terhadap konsep pembebasan dan revolusi. Umat Muslim, menurut Hanafi, harus mempunyai kesadaran "aku", yakni kesadaran akan eksistensinya, dalam mengatasi problem-problem yang dihadapinya terkait dengan kehidupan mereka saat ini (hlm. 58-59).
Keniscayaan akomodasi terhadap modernitas yang datang dari Barat tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh para pemikir Muslim dengan mendekonstruksi untuk kemudian merekonstruksi terhadap turats Islam yang ada. Hassan Hanafi misalnya, menawarkan sebuah rumusan pemikiran Islam yang baru, khususnya ilmu kalam, yang lebih bersifat dialektis dan akomodatif terhadap modernitas. Menurut konstruksi baru hasil gagasan Hanafi, kalam bukan lagi ilmu yang berbicara tentang dimensi ketuhanan secara murni, tetapi tentang bagaimana pemahaman akan dimensi ketuhanan tersebut mampu ditransformasikan demi mengukuhkan eksistensi kemanusiaan dalam realitas kesehariannya. Kalam rumusan Hanafi ini menawarkan konsep-konsep revolusioner yang dapat memotivasi manusia untuk mengatasi problem kontemporer yang mereka hadapi. Ilmu kalam masa kini, dengan demikian, haruslah diorientasikan pada pembelaan terhadap kepentingan konkret manusia dalam kehidupan mereka (hlm. 69).
Pada bab enam, tujuh, dan delapan buku ini, penulis mengelaborasi beberapa aplikasi pemikiran yang ditawarkan oleh para intelektual Muslim dalam kerangka pemaknaan dan rumusan baru terhadap ilmu kalam yang secara teoretis telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Dalam hal ini, penulis menguraikan tentang kalam pembebasan yang digagas oleh Asghar Ali Engineer, kalam feminisme yang dicetuskan oleh Riffat Hasan, dan kalam pluralisme hasil rumusan Nurcholish Madjid. Mengenai teologi pembebasan, Asghar Ali Engineer menyatakan bahwa ia adalah teologi yang tidak hanya berkutat pada aras pemikiran murni spekulatif yang ambigu semata, melainkan mengembangkan paradigma praksis sosialnya sebagai instrumen kokoh dalam membebaskan umat manusia dari cengkraman penindasan, serta memberi motivasi untuk bertindak revolusioner dalam menghadapi tirani, eksploitasi, dan penganiayaan. Teologi pembebasan memberikan keyakinan penuh pada rakyat untuk mengubah kondisi-kondisi yang ada agar menjadi lebih baik, ketimbang harus bersikap apatis dan pasif (hlm. 90).
Terkait dengan hal ini, Asghar menawarkan rumusan ulang terhadap beberapa konsep kunci dalam teologi yang ditransformasikan menjadi kerangka praksis telogi pembebasan. Konsep kunci dimaksud adalah mengenai tauhid, jihad, dan iman. Konsep mengenai jihad misalnya, terminologi lama yang mengacu pada peperangan secara fisik (agression), oleh Asghar dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. Karena itu, jihad dalam pemaknaan teologi pembebasan Asghar direinterpretasi menjadi aktivitas dinamis dan progresif untuk melakukan pembebasan masyarakat dari realitas penindasan yang menimpa mereka, seperti eksploitasi, korupsi, dan pelbagai bentuk kezaliman yang lain (hlm. 92).
Sedangkan feminisme adalah konsep pemikiran dan gerakan yang mengupayakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, serta menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan perlakuan yang merugikan perempuan. Dalam konteks agama Islam, Riffat menilai bahwa agama telah digunakan dan ditafsirkan sedemikian rupa sehingga lebih banyak merugikan perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan Muslim, menurut Riffat, didasari dan dikuatkan oleh argumentasi-argumentasi dan teks-teks teologis. Karena itu, hal mendasar yang harus dilakukan adalah memeriksa kembali landasan telogi tempat semua argumen dan sentimen antiperempuan tersebut berakar. Dalam mengonstruksi teologi feminismenya, Riffat menempuh langkah-langkah strategis, yaitu: pertama, memusatkan perhatian pada ayat-ayat yang dianggap definitif dalam konteks relasi laki-laki dan perempuan yang telah dijadikan dasar superioritas laki-laki atas perempuan. Kedua, mengkaji ulang keberadaan hadits-hadits misoginis yang sering dipakai untuk menafsiri ayat-ayat Al-Qur'an. Ketiga, Mempelajari tulisan-tulisan beberapa feminis ahli telogi Yahudi dan Kristen yang berusaha menggali asal-usul teologis dari cara pandang dan sikap antiperempuan dalam tradisi mereka. Dan keempat, Berusaha mengartikulasikan apa yang dianggap menjadi pandangan normatif Islam tentang perempuan, yakni Al-Qur'an. Dalam hal yang keempat ini, Riffat menjadikan ideal moral Al-Qur'an yang mengedepankan etos pembebasan, egalitarianisme, dan keadilan sebagai kriteria (hlm. 113).
Dalam permasalahan purdah misalnya, Riffat menilai bahwa pada prinsipnya ia adalah pakaian yang menurut kepantasan setempat membuat perempuan dihormati kemanusiaannya. Dari sini Riffat memandang bahwa kewajiban wanita untuk memakai purdah bukan semata untuk dan berarti menutup seluruh tubuhnya, hal yang mana dipahami selama ini, hingga menjadikan perempuan kehilangan identitasnya. Reinterpretasi ini, menurut Riffat, sejalan dengan prinsip kesahajaan yang ditekankan oleh Al-Qur'an (hlm. 116).
Mengenai teologi pluralisme, Nurcholish Madjid menilai bahwa pemikiran itu berkaitan erat dengan karakter universal dan kosmopolit agama Islam. Universalisme Islam, dalam pandangan Nurcholish, bisa dilacak dari konsep-konsep yang dikedepankan oleh Al-Qur'an, yakni tauhid, Islam, dan taqwa. Pesan-pesan Al-Qur'an yang termanifestasikan dalam ketiga konsep tersebut merupakan ajaran universal yang dibawa oleh para Utusan Allah untuk semua umat manusia dari segala zaman dan tempat. Oleh karena itu, ada kesatuan esensial pada semua pesan Tuhan, khususnya pesan yang disampaikan kepada manusia lewat agama-agama samawi. Melalui ajaran-ajarannya ini, Al-Qur'an sebagai dasar agama Islam yang univeral dan kosmopolit telah meneguhkan tiga kesatuan titik temu agama-agama, yakni kesatuan kenabian (the unity of prophecy), kesatuan manusia (the unity of humanity), dan kesatuan Tuhan (the unity of God). Inilah kemudian yang menjadi landasan atas paham pluralisme agama (hlm. 135). [*]
REVIEW: Seperti tercermin dalam judulnya, Rethinking Kalam, buku ini berusaha memikirkan dan merumuskan kembali atas keilmuan kalam (teologi) yang selama ini telah dianggap baku dan final. Pada awal kemunculannya, ilmu kalam merupakan respons terhadap maraknya filsafat Yunani dan ajaran-ajaran di luar Islam saat itu. Ideologi dan pemiiran-pemikiran filosofis tersebut tersebar luas di kalangan masyarakat Muslim, sehingga para pemikir Islam merasa perlu mengantisipasi kemungkinan tercemarnya akidah umat Islam. Karya-karya yang ditulis oleh para pemikir Muslim itulah yang kemudian berkembang menjadi ilmu kalam. Dengan kata lain, ilmu kalam menjadi fakta yang menunjukkan adanya sense of social crisis dari para pemikir Muslim kala itu.
Selanjutnya, berabad-abad setelah itu, yakni saat ini, kondisi umat Islam mengalami keterbelakangan di pelbagai bidang. Mulai dari penjajahan, kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, keterpecahbelahan, d.l.l. Sayangnya, Islam sebagai anutan kepercayaan dan pandangan hidup kaum Muslim tak berkutik menghadapi itu semua. Ilmu kalam yang dulunya sangat responsif terhadap kondisi sosial yang dialami umat Islam, kini seakan lumpuh tak berdaya menjawab persoalan riil umat Islam. Dalam istilah penulis, elan vital ilmu kalam yang dulu dimilikinya kini telah hilang. Dalam kerangka itulah rethinking terhadap ilmu kalam sangat urgen untuk dilakukan. Gagasan rethinking kalam bertujuan merumuskan kembali ilmu kalam menjadi bentuk baru yang sesuai dengan spirit awal pembentukannya, yakni kalam yang relevan dengan kondisi zaman dan dapat merespons problem-problem sosial yang dihadapi. Secara spesifik, tema-tema yang akan dijadikan fokus kajian dalam buku ini adalah mengenai kalam pembebasan, kalam feminisme, dan kalam pluralisme.
Untuk menguraikan permasalahan secara sistematis agar mudah dipahami, penulis membagi buku ini ke dalam delapan bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi pengantar menuju wacana. Bab dua dan tiga membahas pengertian, ruang lingkup, metodologi, dan sejarah ilmu kalam. Bab empat menguraikan diskursus antara tradisi dan modernitas dalam pemikiran Islam, khususnya mengenai ilmu kalam. Bab lima hingga delapan membahas wacana tentang perumusan kembali (rethinking) ilmu kalam beserta tawaran-tawaran dari para pemikir Islam kontemporer, yakni mengenai kalam pembebasan, kalam feminisme, dan kalam pluralisme.
Ilmu kalam, atau yang belakangan disejajarkan dengan teologi, secara definitif adalah ilmu yang membahas segi-segi mengenai Tuhan dan pelbagai derivasinya, baik dalam kaitannya dengan alam semesta maupun manusia. Ruang lingkup pembahasan ilmu kalam, menurut penulis sebagaimana dikutip dari Al-Ghazali, adalah tentang Tuhan dengan segala sifat-Nya, tentang kenabian, dan tentang hari akhir atau eskatologi. Dalam membahas tema-tema tersebut, para pemikir Muslim pada awal munculnya ilmu ini mengerahkan seluruh pikirannya untuk membela akidah umat Islam dari serangan-serangan paham di luar Islam dengan menggunakan argumen-argumen rasional maupun yang diambil dari Al-Qur'an. Seiring perjalanannya, concern pembahasan ilmu kalam yang hanya berkutat pada "tema-tema langit" mulai mengalami pergeseran di penghujung abad 20. Para intelektual Muslim kontemporer berusaha merekonstruksi ilmu kalam dengan cara "membumikan" keilmuan tersebut. Ini dilakukan antara lain oleh Hassan Hanafi. Langkah Hanafi ini kemudian diikuti oleh para pemikir Muslim lainnya dengan mengusung tema-tema yang aktual dan relevan dengan kondisi umat Islam saat ini (hlm. 23).
Pembahasan tentang tema-tema kalam sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah SAW, meskipun dalam bentuk yang sederhana. Sedangkan periode kematangan dan definitif ilmu kalam terjadi pada masa-masa kejayaan golongan Mu'tazilah. Pada masa ini, persoalan-persoalan kalam seperti qadar mulai mendapat sentuhan-sentuhan filosofis dan tidak melulu merupakan perkara keyakinan. Argumen-argumen yang digunakan oleh para ahli kalam dalam menjelaskan tema-tema ketuhanan banyak menyentuh aspek-aspek fisika dan metafisika, serta menggunakan logika Aristotelian. Pasca Mu'tazilah, pembahasan tentang tema-tema kalam lebih diwarnai oleh upaya sintesa antara pemikiran ortodoks yang literalis dan pandangan-pandangan Mu'tazilah yang rasionalis. Pada masa ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah mendominasi lapangan keilmuan-keilmuan Islam, termasuk dalam hal kalam, dan ranah sosial-politik masyarakat Islam. Satu hal yang dapat dipetik dari perjalanan sejarah ilmu kalam tersebut, menurut penulis, adalah adanya respons dan dialektika ilmu kalam terhadap kondisi sosial dan problem-problem yang dihadapi oleh umat Islam pada masanya. Karena itu, spirit dialektis dan responsif ilmu kalam tersebut harus selalu direvitalisasi, terutama pada masa modern sekarang ini, agar bisa menjawab permasalahan-permasalahan aktual yang dihadapi oleh umat Islam (hlm. 40).
Selanjutnya pada masa modern, diskursus mengenai tradisi dan modernitas menjadi tema yang menyedot perhatian yang sangat besar di kalangan masyarakat Muslim, terutama para pemikirnya. Umat Islam dihadapkan pada dua fenomena besar yang sangat urgen dalam kehidupan keagamaan mereka, yakni warisan masa lalu (al-turats) berupa seperangkat pemikiran dan tradisi tertentu yang ditinggalkan oleh generasi Muslim terdahulu. Di sisi lain, mereka juga dihadapkan dengan realitas budaya Barat dengan segala aspek pemikiran, tradisi, dan nilai-nilainya. Menyikapi hal ini, terdapat sekelompok masyarakat Muslim yang berusaha mempertahankan al-turats tersebut secara ketat dan tanpa adanya kompromi sedikitpun untuk mengakomodasi modernisme dari Barat.
Di lain pihak, terdapat pula golongan modernis yang menganjurkan pengadopsian modernitas Barat untuk mengejar ketertinggalan masyarakat Muslim pada saat ini. Menurut mereka, tradisi dan modernitas tak perlu dipertentangkan, namun justeru seharusnya dipertautkan dan didialogkan secara sinergis untuk menghasilkan sebuah pemikiran baru yang dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat Muslim. Sebab, pada dasarnya Islam adalah shalih likulli zaman wa makan. Karena itu, akomodasi terhadap modernitas merupakan sebuah keniscayaan sebagai wujud dinamisitas dan progresifitas agama Islam sebagaimana dicerminkan dalam kredo tersebut. Dari golongan ini, muncullah para intelektual semisal Hassan Hanafi, Mohammad Abid Al-Jabiri, Mohammed Arkoun, Fazlur Rahman, d.l.l. Hanafi misalnya, menekankan pentingnya aspek manusia yang harus dikedepankan dalam diskursus keilmuan Islam kontemporer, serta pembaruan keilmuan Islam dengan penekanannya yang serius terhadap konsep pembebasan dan revolusi. Umat Muslim, menurut Hanafi, harus mempunyai kesadaran "aku", yakni kesadaran akan eksistensinya, dalam mengatasi problem-problem yang dihadapinya terkait dengan kehidupan mereka saat ini (hlm. 58-59).
Keniscayaan akomodasi terhadap modernitas yang datang dari Barat tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh para pemikir Muslim dengan mendekonstruksi untuk kemudian merekonstruksi terhadap turats Islam yang ada. Hassan Hanafi misalnya, menawarkan sebuah rumusan pemikiran Islam yang baru, khususnya ilmu kalam, yang lebih bersifat dialektis dan akomodatif terhadap modernitas. Menurut konstruksi baru hasil gagasan Hanafi, kalam bukan lagi ilmu yang berbicara tentang dimensi ketuhanan secara murni, tetapi tentang bagaimana pemahaman akan dimensi ketuhanan tersebut mampu ditransformasikan demi mengukuhkan eksistensi kemanusiaan dalam realitas kesehariannya. Kalam rumusan Hanafi ini menawarkan konsep-konsep revolusioner yang dapat memotivasi manusia untuk mengatasi problem kontemporer yang mereka hadapi. Ilmu kalam masa kini, dengan demikian, haruslah diorientasikan pada pembelaan terhadap kepentingan konkret manusia dalam kehidupan mereka (hlm. 69).
Pada bab enam, tujuh, dan delapan buku ini, penulis mengelaborasi beberapa aplikasi pemikiran yang ditawarkan oleh para intelektual Muslim dalam kerangka pemaknaan dan rumusan baru terhadap ilmu kalam yang secara teoretis telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Dalam hal ini, penulis menguraikan tentang kalam pembebasan yang digagas oleh Asghar Ali Engineer, kalam feminisme yang dicetuskan oleh Riffat Hasan, dan kalam pluralisme hasil rumusan Nurcholish Madjid. Mengenai teologi pembebasan, Asghar Ali Engineer menyatakan bahwa ia adalah teologi yang tidak hanya berkutat pada aras pemikiran murni spekulatif yang ambigu semata, melainkan mengembangkan paradigma praksis sosialnya sebagai instrumen kokoh dalam membebaskan umat manusia dari cengkraman penindasan, serta memberi motivasi untuk bertindak revolusioner dalam menghadapi tirani, eksploitasi, dan penganiayaan. Teologi pembebasan memberikan keyakinan penuh pada rakyat untuk mengubah kondisi-kondisi yang ada agar menjadi lebih baik, ketimbang harus bersikap apatis dan pasif (hlm. 90).
Terkait dengan hal ini, Asghar menawarkan rumusan ulang terhadap beberapa konsep kunci dalam teologi yang ditransformasikan menjadi kerangka praksis telogi pembebasan. Konsep kunci dimaksud adalah mengenai tauhid, jihad, dan iman. Konsep mengenai jihad misalnya, terminologi lama yang mengacu pada peperangan secara fisik (agression), oleh Asghar dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. Karena itu, jihad dalam pemaknaan teologi pembebasan Asghar direinterpretasi menjadi aktivitas dinamis dan progresif untuk melakukan pembebasan masyarakat dari realitas penindasan yang menimpa mereka, seperti eksploitasi, korupsi, dan pelbagai bentuk kezaliman yang lain (hlm. 92).
Sedangkan feminisme adalah konsep pemikiran dan gerakan yang mengupayakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, serta menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan perlakuan yang merugikan perempuan. Dalam konteks agama Islam, Riffat menilai bahwa agama telah digunakan dan ditafsirkan sedemikian rupa sehingga lebih banyak merugikan perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan Muslim, menurut Riffat, didasari dan dikuatkan oleh argumentasi-argumentasi dan teks-teks teologis. Karena itu, hal mendasar yang harus dilakukan adalah memeriksa kembali landasan telogi tempat semua argumen dan sentimen antiperempuan tersebut berakar. Dalam mengonstruksi teologi feminismenya, Riffat menempuh langkah-langkah strategis, yaitu: pertama, memusatkan perhatian pada ayat-ayat yang dianggap definitif dalam konteks relasi laki-laki dan perempuan yang telah dijadikan dasar superioritas laki-laki atas perempuan. Kedua, mengkaji ulang keberadaan hadits-hadits misoginis yang sering dipakai untuk menafsiri ayat-ayat Al-Qur'an. Ketiga, Mempelajari tulisan-tulisan beberapa feminis ahli telogi Yahudi dan Kristen yang berusaha menggali asal-usul teologis dari cara pandang dan sikap antiperempuan dalam tradisi mereka. Dan keempat, Berusaha mengartikulasikan apa yang dianggap menjadi pandangan normatif Islam tentang perempuan, yakni Al-Qur'an. Dalam hal yang keempat ini, Riffat menjadikan ideal moral Al-Qur'an yang mengedepankan etos pembebasan, egalitarianisme, dan keadilan sebagai kriteria (hlm. 113).
Dalam permasalahan purdah misalnya, Riffat menilai bahwa pada prinsipnya ia adalah pakaian yang menurut kepantasan setempat membuat perempuan dihormati kemanusiaannya. Dari sini Riffat memandang bahwa kewajiban wanita untuk memakai purdah bukan semata untuk dan berarti menutup seluruh tubuhnya, hal yang mana dipahami selama ini, hingga menjadikan perempuan kehilangan identitasnya. Reinterpretasi ini, menurut Riffat, sejalan dengan prinsip kesahajaan yang ditekankan oleh Al-Qur'an (hlm. 116).
Mengenai teologi pluralisme, Nurcholish Madjid menilai bahwa pemikiran itu berkaitan erat dengan karakter universal dan kosmopolit agama Islam. Universalisme Islam, dalam pandangan Nurcholish, bisa dilacak dari konsep-konsep yang dikedepankan oleh Al-Qur'an, yakni tauhid, Islam, dan taqwa. Pesan-pesan Al-Qur'an yang termanifestasikan dalam ketiga konsep tersebut merupakan ajaran universal yang dibawa oleh para Utusan Allah untuk semua umat manusia dari segala zaman dan tempat. Oleh karena itu, ada kesatuan esensial pada semua pesan Tuhan, khususnya pesan yang disampaikan kepada manusia lewat agama-agama samawi. Melalui ajaran-ajarannya ini, Al-Qur'an sebagai dasar agama Islam yang univeral dan kosmopolit telah meneguhkan tiga kesatuan titik temu agama-agama, yakni kesatuan kenabian (the unity of prophecy), kesatuan manusia (the unity of humanity), dan kesatuan Tuhan (the unity of God). Inilah kemudian yang menjadi landasan atas paham pluralisme agama (hlm. 135). [*]
Revolusi Karakter Bangsa ala Soeparno
IDENTITAS BUKU: Penulis: Harmanto
Edy Jatmiko; Judul Buku: Revolusi Karakter Bangsa Menurut Pemikiran M.
Soeparno (Kebijakan, Strategi, dan Operasionalisasi Berdasarkan Model
Kesisteman); Editor: Yayasan Obor Indonesia; Pengantar: Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie; Desain Cover: Adjie Soeroso; Penerbit: Yayasan Obor
Indonesia; Cetakan: Pertama, Januari 2006; Jumlah Halaman: xx + 150;
Ukuran: 10,5 x 18 cm.
REVIEW: Buku ini berusaha menggali pemikiran Moehamad Soeparno terkait dengan pengembangan karakter dan moral bangsa Indonesia. Moehamad Soeparno adalah mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Airways (GIA) periode 1988-1992 yang kini giat mengampanyekan upaya-upaya untuk pengembangan moral bangsa Indonesia, terutama di kalangan pemuda. Kepedulian M. Soeparno terhadap karakter dan moral bangsa Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Sebagai wujud kepedulian itu, dia banyak menulis tentang pembangunan karakter bangsa, memprakarsai pendirian sekolah-sekolah yang berbasis pendidikan karakter, serta aktif di pelbagai organisasi yang concern pada pemberdayaan masyarakat. Semua yang dilakukannya itu bertujuan untuk satu hal, yakni membangun masyarakat dan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih sejahtera dan bermartabat.
Akan tetapi pengalaman yang dia jalani selama ini mengajarkan bahwa langkah-langkah itu saja sungguh jauh dari mencukupi. Di tengah kondisi moral bangsa yang kian terpuruk dan carut-marut, pembenahan secara parsial dan ad hoc tak akan efektif menyelesaikan permasalahan. Yang dibutuhkan sekarang adalah perombakan total karakter bangsa secara serentak, baik di tingkat perorangan maupun kelembagaan, yakni keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Untuk itu, M. Soeparno menawarkan apa yang diistilahkannya sebagai "revolusi" atas karakter bangsa berdasarkan model kesisteman dengan menyertakan langkah-langkah kongkritnya, mulai dari kebijakan, strategi, operasionalisasi, pengendalian, hingga pengawasannya. Pandangan dan pemikiran itulah yang diuraikan oleh penulis dalam buku ini.
Untuk memetakan pemikiran dan isi buku agar mudah dipahami, penulis membagi buku ini ke dalam tujuh bagian, di mana masing-masing bagian terdiri dari beberapa poin atau sub-bagian. Ketujuh bagian dimaksud adalah: M. Soeparno dan gagasan revolusinya; karakter bangsa yang kian luluh-lantak; meniscayakan masyarakat madani; jangan malu belajar dari bangsa lain; merumuskan karakter bangsa yang diharapkan; dan penutup.
Pada bagian kedua buku ini, penulis mengungkapkan keprihatinan dan kekhawatiran M. Soeparno atas kondisi bangsa Indonesia yang kian terpuruk dalam pelbagai aspek kehidupan. Di dalam negeri, Indonesia mengalami banyak permasalahan yang tak bisa ditangani dengan baik, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), kemiskinan, pengangguran, mahalnya biaya pendidikan, pelanggaran-pelanggaran hukum dan HAM, d.l.l. Sedangkan di luar negeri, citra Indonesia kian buruk saja, yakni dicap sebagai bangsa buruh, terjajah, koruptor, teroris, d.l.l. Dalam istilah penulis, di dalam negeri karakter Indonesia mengalami kehancuran, sedangkan di luar negeri citranya babak-belur (hlm. 18). Ironisnya, cita-cita luhur yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa justeru perlahan-lahan mulai dilupakan. Konstitusi negara kita yang disusun oleh The Founding Fathers bangsa Indonesia lebih dari 60 tahun yang lalu telah menegaskan hak-hak sosial warga negara, terutama tentang pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun, visi luhur itu ternyata hanya dijadikan sebagai "hiasan formal" yang tak terwujud secara riil dalam kehidupan masyarakat. Alih-alih menyejahterakan masyarakat, para pemegang kebijakan justeru tenggelam dalam pusaran KKN yang dibungkus dalam kemasan neokapitalisme dan neoliberalisme. Dalam kenyataannya, hal itu lebih sering menyengsarakan sebagian besar rakyat Indonesia (hlm. 34).
Pasca-reformasi 1998, ada secercah harapan bahwa keadaan-keadaan di atas bisa pulih dan membaik. Akan tetapi fakta di lapangan berbicara sebaliknya. Keadaan justeru memburuk, bahkan semakin meluas dalam kehidupan masyarakat. Maka, diperlukan kemauan yang kuat dan tindakan yang konsisten, baik dari pemerintah maupun masyarakat, untuk memperbaiki keadaan tersebut. Kedua belah pihak harus bekerjasama dan saling mendukung dalam mewujudkan agenda nasional perubahan bangsa. Ini semua ditujukan untuk menciptakan masyarakt madani (civil society) dalam kehidupan bangsa Indonesia. Civil society mengandaikan adanya keseimbangan antara negara dan masyarakat. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan fondasi berupa karakter dan moral bangsa yang kokoh. Dan itu hanya bisa digali dari nilai-nilai luhur budaya bangsa yang dipadukan dengan tuntutan nilai-nilai universal sebagai dampak perubahan lingkungan, baik di tingkat regional maupun global (hlm. 50).
Dalam pembangunan terhadap karakter dan moral bangsa, seharusnya kita juga tidak perlu malu untuk mencontoh negara-negara lain yang telah berhasil membangun moral dan karakter bangsa mereka. Meskipun secara kultural konteks masyarakat kita berbeda dengan negara lain, namun tetap saja ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dari mereka. Misalnya dari segi visi dan komitemen para pemimpin negara-negara itu, serta dari segi praktis seperti bagaimana mereka menyusun kebijakan, strategi, dan pelaksanannya. Dari negara Singapura misalnya, kita bisa meneladani karakter disiplin dan tegas yang mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga dari Malaysia yang notabene pernah belajar kepada bangsa Indonesia, kita juga tidak perlu segan untuk belajar atas keberhasilan-keberhasilan yang mereka capai. Dari para pemimpin negara itu kita bisa belajar karakter amanah (tepercaya), komitmen untuk menyejahterakan masyarakat, serta pemihakan terhadap penduduk pribumi.
Selain itu, dari Korea Selatan kita juga bisa meneladani komitmen dan ketegasan pemerintah mereka dalam memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi di Korsel dilakukan secara konsisten, tegas, dan tanpa pandang bulu. Ini terbukti ketika salah satu presiden mereka, Chun Doo-hwan (1981-1988), yang divonis hukum mati karena kasus suap. Atau mantan presiden Roh Tae-woo (1988-1993) yang divonis 22,5 tahun penjara karena terbukti menerima suap (hlm. 68). Dalam konteks bangsa Indonesia yang masih sibuk berkutat dengan pemberantasan korupsi, apa yang dilakukan oleh Korsel itu sangat perlu untuk diteladani.
Di sisi lain, pembangunan karakter bangsa harus didasarkan dan dirujukkan kepada nilai-nilai dan budaya bangsa sendiri, yang dalam hal ini adalah Pancasila. Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai, keyakinan, dan kultur masyarakat Indonesia yang digali dan diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang bangsa Indonesia. Oleh para pendiri bangsa, Pancasila diformalkan menjadi dasar dan falsafah negara Indonesia, sekaligus sebagai way of life warga negara (hlm. 87). Oleh karena itu, pengejawantahan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi sangat urgen untuk membenahi degradasi moral bangsa. Pada gilirannya, aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari akan semakin mendekatkan kita kepada cita-cita luhur bangsa Indonesia, yakni mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berangkat dari falsafah negara Pancasila yang merupakan cerminan nilai-nilai yang digali dari seluruh bumi Nusantara, M. Soeparno menawarkan rumusan karakter bangsa Indonesia yang terdiri atas lima butir. Kelima karakter dimaksud adalah: pertama, bangsa Indonesia adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, patuh kepada hukum, perundang-undangan, serta peraturan yang berlaku. Kedua, bangsa Indonesia adalah manusia yang bangga sebagai warga negara Indonesia serta cinta tanah air dan bangsanya, berbudi pekerti luhur, siap membela negara dan bangsa demi tegaknya NKRI. Ketiga, bangsa Indonesia adalah manusia yang memiliki jiwa kebersamaan, gotong-royong, toleransi, serta anti segala bentuk kekerasan. Keempat, bangsa Indonesia adalah manusia yang berbadan sehat, bersih, hemat, jujur, tertib, cermat, rajin, tepat waktu, serta berdisiplin tinggi. Kelima, bangsa Indonesia adalah manusia yang memiliki kemauan belajar dengan jangkauan masa depan, penuh inisiatif, kreativitas, inovasi yang dilandasi dedikasi yang tinggi demi kemajuan, pengabdian, dan manfaat bagi kehidupan dirinya, bangsa, negara, serta umat manusia (hlm. 91-92).
Pada bagian enam buku ini, penulis mengelaborasi gagasan M. Soeparno mengenai apa yang disebutnya sebagai Revolusi Karakter Bangsa Indonesia (RKBI). RKBI dimaksudkan sebagai perombakan secara total dan sistematis atas karakter bangsa Indonesia yang dilakukan secara serentak, baik di tingkat perorangan maupun kelembagaan. Untuk menjelaskan gagasannya itu, penulis juga merumuskan detail-detail kebijakan, strategi, operasionalisasi, pengendalian, hingga pengawasannya. Gagasan ini, menurut penulis, harus dilakukan secara sistematis lengkap dengan ketetapan hukum, yakni dalam bentuk undang-undang, yang menjadi landasannya, mengikat bagi seluruh masyarakat Indonesia, serta pemberian sanksi bagi mereka yang melanggar butir-butir ketentuan karakter yang telah ditetapkan (hlm. 133).
Program ini tentunya meniscayakan komitmen dan keterlibatan dari seluruh penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif di setiap tingkatan yang ada mulai dari Desa/ Kelurahan hingga tingkat pusat. Di samping itu, masyarakat sebagai sasaran program ini juga harus berpartisipasi secara proaktif untuk melaksanakannya. Jika ini semua dilaksanakan dan dipatuhi secara konsisten, maka diharapkan di masa mendatang kita akan menjadi bangsa yang kuat, maju, mandiri, serta mempunyai kepribadian yang kokoh. [*]
REVIEW: Buku ini berusaha menggali pemikiran Moehamad Soeparno terkait dengan pengembangan karakter dan moral bangsa Indonesia. Moehamad Soeparno adalah mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Airways (GIA) periode 1988-1992 yang kini giat mengampanyekan upaya-upaya untuk pengembangan moral bangsa Indonesia, terutama di kalangan pemuda. Kepedulian M. Soeparno terhadap karakter dan moral bangsa Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Sebagai wujud kepedulian itu, dia banyak menulis tentang pembangunan karakter bangsa, memprakarsai pendirian sekolah-sekolah yang berbasis pendidikan karakter, serta aktif di pelbagai organisasi yang concern pada pemberdayaan masyarakat. Semua yang dilakukannya itu bertujuan untuk satu hal, yakni membangun masyarakat dan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih sejahtera dan bermartabat.
Akan tetapi pengalaman yang dia jalani selama ini mengajarkan bahwa langkah-langkah itu saja sungguh jauh dari mencukupi. Di tengah kondisi moral bangsa yang kian terpuruk dan carut-marut, pembenahan secara parsial dan ad hoc tak akan efektif menyelesaikan permasalahan. Yang dibutuhkan sekarang adalah perombakan total karakter bangsa secara serentak, baik di tingkat perorangan maupun kelembagaan, yakni keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Untuk itu, M. Soeparno menawarkan apa yang diistilahkannya sebagai "revolusi" atas karakter bangsa berdasarkan model kesisteman dengan menyertakan langkah-langkah kongkritnya, mulai dari kebijakan, strategi, operasionalisasi, pengendalian, hingga pengawasannya. Pandangan dan pemikiran itulah yang diuraikan oleh penulis dalam buku ini.
Untuk memetakan pemikiran dan isi buku agar mudah dipahami, penulis membagi buku ini ke dalam tujuh bagian, di mana masing-masing bagian terdiri dari beberapa poin atau sub-bagian. Ketujuh bagian dimaksud adalah: M. Soeparno dan gagasan revolusinya; karakter bangsa yang kian luluh-lantak; meniscayakan masyarakat madani; jangan malu belajar dari bangsa lain; merumuskan karakter bangsa yang diharapkan; dan penutup.
Pada bagian kedua buku ini, penulis mengungkapkan keprihatinan dan kekhawatiran M. Soeparno atas kondisi bangsa Indonesia yang kian terpuruk dalam pelbagai aspek kehidupan. Di dalam negeri, Indonesia mengalami banyak permasalahan yang tak bisa ditangani dengan baik, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), kemiskinan, pengangguran, mahalnya biaya pendidikan, pelanggaran-pelanggaran hukum dan HAM, d.l.l. Sedangkan di luar negeri, citra Indonesia kian buruk saja, yakni dicap sebagai bangsa buruh, terjajah, koruptor, teroris, d.l.l. Dalam istilah penulis, di dalam negeri karakter Indonesia mengalami kehancuran, sedangkan di luar negeri citranya babak-belur (hlm. 18). Ironisnya, cita-cita luhur yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa justeru perlahan-lahan mulai dilupakan. Konstitusi negara kita yang disusun oleh The Founding Fathers bangsa Indonesia lebih dari 60 tahun yang lalu telah menegaskan hak-hak sosial warga negara, terutama tentang pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun, visi luhur itu ternyata hanya dijadikan sebagai "hiasan formal" yang tak terwujud secara riil dalam kehidupan masyarakat. Alih-alih menyejahterakan masyarakat, para pemegang kebijakan justeru tenggelam dalam pusaran KKN yang dibungkus dalam kemasan neokapitalisme dan neoliberalisme. Dalam kenyataannya, hal itu lebih sering menyengsarakan sebagian besar rakyat Indonesia (hlm. 34).
Pasca-reformasi 1998, ada secercah harapan bahwa keadaan-keadaan di atas bisa pulih dan membaik. Akan tetapi fakta di lapangan berbicara sebaliknya. Keadaan justeru memburuk, bahkan semakin meluas dalam kehidupan masyarakat. Maka, diperlukan kemauan yang kuat dan tindakan yang konsisten, baik dari pemerintah maupun masyarakat, untuk memperbaiki keadaan tersebut. Kedua belah pihak harus bekerjasama dan saling mendukung dalam mewujudkan agenda nasional perubahan bangsa. Ini semua ditujukan untuk menciptakan masyarakt madani (civil society) dalam kehidupan bangsa Indonesia. Civil society mengandaikan adanya keseimbangan antara negara dan masyarakat. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan fondasi berupa karakter dan moral bangsa yang kokoh. Dan itu hanya bisa digali dari nilai-nilai luhur budaya bangsa yang dipadukan dengan tuntutan nilai-nilai universal sebagai dampak perubahan lingkungan, baik di tingkat regional maupun global (hlm. 50).
Dalam pembangunan terhadap karakter dan moral bangsa, seharusnya kita juga tidak perlu malu untuk mencontoh negara-negara lain yang telah berhasil membangun moral dan karakter bangsa mereka. Meskipun secara kultural konteks masyarakat kita berbeda dengan negara lain, namun tetap saja ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dari mereka. Misalnya dari segi visi dan komitemen para pemimpin negara-negara itu, serta dari segi praktis seperti bagaimana mereka menyusun kebijakan, strategi, dan pelaksanannya. Dari negara Singapura misalnya, kita bisa meneladani karakter disiplin dan tegas yang mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga dari Malaysia yang notabene pernah belajar kepada bangsa Indonesia, kita juga tidak perlu segan untuk belajar atas keberhasilan-keberhasilan yang mereka capai. Dari para pemimpin negara itu kita bisa belajar karakter amanah (tepercaya), komitmen untuk menyejahterakan masyarakat, serta pemihakan terhadap penduduk pribumi.
Selain itu, dari Korea Selatan kita juga bisa meneladani komitmen dan ketegasan pemerintah mereka dalam memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi di Korsel dilakukan secara konsisten, tegas, dan tanpa pandang bulu. Ini terbukti ketika salah satu presiden mereka, Chun Doo-hwan (1981-1988), yang divonis hukum mati karena kasus suap. Atau mantan presiden Roh Tae-woo (1988-1993) yang divonis 22,5 tahun penjara karena terbukti menerima suap (hlm. 68). Dalam konteks bangsa Indonesia yang masih sibuk berkutat dengan pemberantasan korupsi, apa yang dilakukan oleh Korsel itu sangat perlu untuk diteladani.
Di sisi lain, pembangunan karakter bangsa harus didasarkan dan dirujukkan kepada nilai-nilai dan budaya bangsa sendiri, yang dalam hal ini adalah Pancasila. Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai, keyakinan, dan kultur masyarakat Indonesia yang digali dan diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang bangsa Indonesia. Oleh para pendiri bangsa, Pancasila diformalkan menjadi dasar dan falsafah negara Indonesia, sekaligus sebagai way of life warga negara (hlm. 87). Oleh karena itu, pengejawantahan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi sangat urgen untuk membenahi degradasi moral bangsa. Pada gilirannya, aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari akan semakin mendekatkan kita kepada cita-cita luhur bangsa Indonesia, yakni mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berangkat dari falsafah negara Pancasila yang merupakan cerminan nilai-nilai yang digali dari seluruh bumi Nusantara, M. Soeparno menawarkan rumusan karakter bangsa Indonesia yang terdiri atas lima butir. Kelima karakter dimaksud adalah: pertama, bangsa Indonesia adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, patuh kepada hukum, perundang-undangan, serta peraturan yang berlaku. Kedua, bangsa Indonesia adalah manusia yang bangga sebagai warga negara Indonesia serta cinta tanah air dan bangsanya, berbudi pekerti luhur, siap membela negara dan bangsa demi tegaknya NKRI. Ketiga, bangsa Indonesia adalah manusia yang memiliki jiwa kebersamaan, gotong-royong, toleransi, serta anti segala bentuk kekerasan. Keempat, bangsa Indonesia adalah manusia yang berbadan sehat, bersih, hemat, jujur, tertib, cermat, rajin, tepat waktu, serta berdisiplin tinggi. Kelima, bangsa Indonesia adalah manusia yang memiliki kemauan belajar dengan jangkauan masa depan, penuh inisiatif, kreativitas, inovasi yang dilandasi dedikasi yang tinggi demi kemajuan, pengabdian, dan manfaat bagi kehidupan dirinya, bangsa, negara, serta umat manusia (hlm. 91-92).
Pada bagian enam buku ini, penulis mengelaborasi gagasan M. Soeparno mengenai apa yang disebutnya sebagai Revolusi Karakter Bangsa Indonesia (RKBI). RKBI dimaksudkan sebagai perombakan secara total dan sistematis atas karakter bangsa Indonesia yang dilakukan secara serentak, baik di tingkat perorangan maupun kelembagaan. Untuk menjelaskan gagasannya itu, penulis juga merumuskan detail-detail kebijakan, strategi, operasionalisasi, pengendalian, hingga pengawasannya. Gagasan ini, menurut penulis, harus dilakukan secara sistematis lengkap dengan ketetapan hukum, yakni dalam bentuk undang-undang, yang menjadi landasannya, mengikat bagi seluruh masyarakat Indonesia, serta pemberian sanksi bagi mereka yang melanggar butir-butir ketentuan karakter yang telah ditetapkan (hlm. 133).
Program ini tentunya meniscayakan komitmen dan keterlibatan dari seluruh penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif di setiap tingkatan yang ada mulai dari Desa/ Kelurahan hingga tingkat pusat. Di samping itu, masyarakat sebagai sasaran program ini juga harus berpartisipasi secara proaktif untuk melaksanakannya. Jika ini semua dilaksanakan dan dipatuhi secara konsisten, maka diharapkan di masa mendatang kita akan menjadi bangsa yang kuat, maju, mandiri, serta mempunyai kepribadian yang kokoh. [*]
Impatient Optimist: Ambisi, Strategi & Pandangan Hidup

REVIEW: Impatient Optimist, si optimistis yang tidak sabaran, begitulah Bill Gates kerap menjuluki dirinya sendiri. Keyakinan kuatnya bahwa software adalah masa depan dunia, membuat Gates ikut andil dalam revolusi teknologi informasi. Bersama Paul Allen, ia melahirkan Microsoft BASIC yang menjadi kunci utama kesuksesannya. Popularitasnya terus menanjak seiring pundi-pundi kekayaan yang kian berlipat ganda. Secara mengejutkan, di tengah karirnya yang semakin memuncak, Gates mengeluarkan keputusan yang amat mengejutkan. Ia memilih mundur dari kursi empuk Microsoft di tahun 2008.
Dari CEO yang sering mengeluarkan keputusan kontroversial, ia berubah menjadi sosok dermawan yang bersahabat dan memiliki kepedulian sosial tinggi. Layaknya buku terbuka, kehidupan Gates selalu menyedot perhatian masyarakat. Setiap keputusan, komitmen, ambisi, dan misi hidupnya tercermin melalui tuturan-tuturan yang ia kemukakan di depan publik. Buku ini, menyajikan tuturannya mengenai bisnis, kreativitas, teknologi, dan kehidupannya untuk Anda. [Sumber: www.mizan.com]
Langganan:
Postingan (Atom)