IDENTITAS BUKU: Penulis:
Fachruddin M. Mangunjaya; Judul Buku: Konservasi Alam dalam Islam;
Editor: Suer Suryadi dan Barita O. Manullang; Desain Cover: Rahmatika
Creative Design; Penerbit: Yayasan Obor Indonesia atas bantuan The World
Bank dan Conservation International Indonesia; Edisi Pertama: Juni
2005; Jumlah Halaman: xxiii + 142; Ukuran Buku: 14,5 x 21 cm.
REVIEW:
Dalam era informasi seperti sekarang ini, negara-negara di dunia kian
menyatu dalam sebuah irama besar yang disebut globalisasi. Mereka saling
membuka diri terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh negara lain.
Alhasil, perdagangan bebas antarnegara merupakan fenomena yang lumrah di
zaman ini. Ini memicu mereka untuk memproduksi sebanyak-banyaknya
barang guna memenuhi kebutuhan masyarakat bukan hanya di dalam negeri,
tetapi juga di negara-negara lain. Ketika permintaan terhadap suatu
barang—yang umumnya berbahan baku yang diambil dari alam—semakin tinggi
dan agresif, maka yang sering terlupakan adalah bahwa kita harus
meningkatkan volume eksploitasi terhadap sumber daya alam. Eksploitasi
terhadap alam secara besar-besaran dan tak terkendali itulah yang akan
merusak keseimbangan dan kelestarian ekosistem kita. Akibatnya, bukan
hanya alam yang merana, manusia pun ikut sengsara.
Itulah
sekelumit gambaran akan sebuah kondisi yang membuat penulis resah,
hingga melahirkan buku ini. Menurut sebuah data yang dikutip oleh
penulis, Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan sumber daya
alam. Ini menempatkan Indonesia di peringkat kedua setelah Brazil dalam
hal keanekaragaman hayati. Bahkan jika keanekaragaman hayati laut
dimasukkan, Indonesia bisa menjadi negara dengan keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia (2). Akan tetapi, kini kekayaan alam itu satu persatu
mulai habis terkuras. Parahnya lagi, hal itu terjadi tidak hanya di
Indonesia, tetapi juga menimpa hampir semua negara-negara di dunia.
Keprihatinan
itulah yang membuat penulis buku ini berpikir dan bertanya-tanya, apa
yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan ekosistem kita agar tetap
seimbang dan lestari? Maka, sebagai seorang Muslim, penulis
merefleksikan diri atas ajaran-ajaran Islam yang selama ini dianutnya.
Dari hasil perenungannya, akhirnya penulis sampai pada sebuah pemikiran
bahwa jauh sebelum ekosistem kita rusak seperti sekarang ini, Islam
sebenarnya telah mempunyai konsep dan ajaran-ajaran mengenai
keseimbangan dan kelestarian ekosistem, baik eksplisit maupun implisit.
Melalui buku inilah penulis menuangkan hasil “ijtihad”-nya terkait
dengan konsep dan ajaran Islam yang
concern
terhadap kelestarian alam. Dengan demikian, sebagai umat Islam, apabila
kita melaksanakan ajaran-ajaran tersebut secara konsisten, maka secara
langsung maupun tidak langsung kita telah turut berpartisipasi dalam
menjaga keseimbangan ekosistem.
Penulis membagi buku ini ke
dalam tujuh bab: (1) pendahuluan; (2) menuju teori lingkungan Islami;
(3) akhlak terhadap hidupan liar; (4) konservasi alam dalam Islam; (5)
menjaga pola konsumsi; (6) perdagangan binatang berdasarkan syariat
Islam; dan (7) kesimpulan. Di samping itu, penulis juga menambahkan
dalam buku ini beberapa data dan informasi penting terkait topik buku
ini yang dikemas dalam boks-boks. Bagi pembaca yang awam akan
istilah-istilah biologi konservasi maupun istilah-istilah keislaman,
penulis membuatkan daftar istilah di bagian akhir buku ini. Menurut
penulis, buku ini berusaha menjembatani dan mengombinasikan dua disiplin
ilmu, yaitu Islam dan biologi konservasi. Karena itu, kosakata-kosakata
yang terkait dengan kedua disiplin keilmuan tersebut harus dijelaskan
secara lebih lanjut agar memudahkan para pembaca.
Dalam
pandangan penulis, kerusakan ekosistem yang selama ini terjadi
disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Misalnya saja pola konsumsi
manusia yang sembarangan dan tanpa mengacu pada batasan-batasan norma
etika maupun agama. Pada akhirnya hal itu akan mengakibatkan kepunahan
satwa-satwa tertentu yang hidup di habitat aslinya. Selain itu,
kelalaian dan dominasi manusia terhadap alam dan pengelolaan lingkungan
yang tidak beraturan, membuat segala unsur harmoni dan hal-hal yang
bersifat alamiah berubah menjadi kacau, bahkan bisa berakibat bencana.
Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam, seperti minyak
bumi, batu bara, tembaga, emas, timah, nikel, dan barang-barang tambang
lainnya menyisakan lubang-lubang raksasa, pencemaran udara dan air,
serta sisa-sisa galian yang terbengkalai dan tak terurus.
Sementara
itu, pembabatan hutan secara membabi-buta juga terus terjadi di
permukaan bumi. Akibat ini semua, bencana-bencana alam pun terjadi
sebagai dampak langsung dari ulah manusia tersebut. Maka, telinga kita
pun kian akrab mendengar berita-berita tentang bencana di mana-mana,
seperti tanah longsor, banjir, pencemaran air, tanah, dan udara, serta
punahnya banyak flora dan fauna.
Penulis mencatat beberapa
bencana alam akibat ulah manusia tersebut. Misalnya bencana tanah
longsor, banjir, dan air bah yang terjadi di Padang, Sumatera Barat,
pada awal Desember tahun 2000. Bencana yang disebut dengan ‘Galado” itu
menelan korban jiwa sebanyak 111 orang, serta kerugian finansial yang
mencapai Rp. 302 milyar. Pada tahun 2003 juga terjadi bencana banjir
bandang di Bohorok, Sumatera Utara, yang menelan 250 korban jiwa dan
kerugian materi yang tidak sedikit. Sepanjang tahun yang sama,
pemerintah juga mencatat terjadinya banyak tanah longsor di seluruh
Indonesia, terutama Jawa Barat yang mencapai 70 %. Bencana ini menelan
176 orang korban jiwa, 93 orang luka-luka, serta ribuan rumah rusak
maupun hancur (hlm. 11).
Selain bencana alam, penulis juga
mencatat pelbagai kelangkaan, bahkan kepunahan, yang menimpa banyak
satwa di Indonesia. Menurut penulis, Indonesia telah mencatat beberapa
hidupan liar yang sudah tidak dapat ditemukan lagi di muka bumi karena
telah punah. Misalnya harimau Jawa
(Panthera Tigris) dan harimau Bali
(Panthera Tigris Balica).
Selain itu, Indonesia juga dicekam dengan keprihatinan atas terancam
punahnya 126 jenis burung, termasuk diantaranya cendrawasih, beo, jalak
Bali, dan kakatua.
Dalam catatan lain, 63 jenis mamalia juga
terancam punah karena keruskan habitat mereka. Mamalia-mamalia yang
hampir punah itu antara lain orangutan di Kalimantan, gajah dan harimau
di Sumatera, serta jenis primata seperti ungko dan siamang. Satwa
lainnya yang juga terancam kepunahan adalah buaya, ular phiton, penyu
belimbing, penyu sisik, dan 17 jenis reptil lainnya (hlm. 13-14). Selain
rusaknya habitat alami satwa-satwa tersebut, kelangkaan dan kepunahan
satwa-satwa itu juga disebabkan oleh perburuan liar dan perdagangan
secara tak terkendali oleh manusia.
Ini semua berpangkal pada
pengelolaan yang salah terhadap ekosistem. Dalam memperlakukan alam,
manusia lebih mementingkan hawa nafsu dan keserakahan mereka daripada
keseimbangan dan kelestarian alam. Karena dominasi nafsu tersebut, maka
manusia dianggap sebagai aset produksi yang dengan leluasa dan
semena-mena mengeksploitasi alam tanpa mempertimbangkan akhlak, moral,
dan etika terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungan. Karena
itu, hendaknya manusia kembali kepada Sang Pencipta dalam memperlakukan
alam ini. Sebab, alam raya ini dan semua kekayaan yang terkandung di
dalamnya adalah ciptaan Tuhan. Maka, pengelolaannya pun haruslah
didasarkan atas petunjuk dan ajaran-ajaran-Nya.
Secara lebih
spesifik, penulis memformulasikan prinsip-prinsip Islam yang dapat
dijadikan sebagai landasan atas pengelolaan terhadap lingkungan. Dalam
Islam, menurut penulis, syariahlah yang harus melandasi teori dan hukum
lingkungan. Ini semua bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umat
manusia, khususnya orang-orang Muslim, baik di dunia maupun di akhirat
nantinya. Akan tetapi, dalam menerapkan hukum-hukumnya, syariah juga
mengutamakan keselamatan bagi semua makhluk hidup. Dalam konteks inilah,
Islam yang disampaikan kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad,
menjadi rahmat (penebar kasih sayang) bagi seluruh alam.
Prinsip-prinsip tersebut adalah tauhid,
khilafah (kepemimpinan),
istishlah
(kemaslahatan), dan halal-haram. Tauhid merupakan pengesaan dan
kepasrahan secara total kepada Allah. Dengan demikian, memahami
ketauhidan secara utuh berarti juga harus memberikan penghargaan yang
tinggi kepada ciptaan-Nya, yakni alam raya ini. Sebab, Allah telah
memberikan kepercayaan kepada manusia untuk mengelola alam ini dengan
sebaik-baiknya. Maka, manusia harus menjalankan amanat itu dengan
sebaik-baiknya.
Sedangkan
khilafah
dalam hal ini bermakana bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi
bergantung pada peran dan kepemimpinan manusia untuk melestarikannya.
Maka,
khilafah merupakan pilar penting yang dapat membawa perbaikan bagi lingkungan. Seorang yang diberi tanggung jawab sebagai
khalifah, baik dalam skala individu maupu kolektif, haruslah bertanggung jawab terhadap kelangsungan kehidupan bumi (hlm. 24). Mengenai
istishlah
atau kemaslahatan umum, ini berarti memberikan perawatan terhadap
lingkungan, baik hewan, tumbuhan, maupun manusia itu sendiri, secara
benar, proporsional, dan berkelanjutan. Artinya, apapun yang kita ambil
dari alam haruslah secukupnya, tidak berlebihan, dan tidak merusaknya.
Sedangkan
halal-haram merupakan perangkat dalam Islam yang mengatur apa saja yang
boleh dilakukan dan apa saja yang tidak boleh dilakukan. Kedua istilah
ini menjadi pembatas yang sangat tegas untuk mencegah perilaku manusia
agar tidak merusak tatanan yang teratur dalam ekosistem dan tata
kehidupan masyarakat. Halal dan haram ini didasarkan atas al-Qur’an dan
Sunnah Rasul (hlm. 30).
Dalam bab III, penulis memberikan
penjelasan tentang etika terhadap hidupan liar—khususnya
satwa—berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam. Hidupan liar mempunyai
peran penting dalam menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam. Sebab,
semua spesies yang hidup di alam berinteraksi satu sama lain dan
menjalin sebuah rantai ketergantungan di antara mereka. Apabila salah
satu spesies punah, maka rantai ketergantungan pun akan putus. Ini akan
sangat berpengaruh terhadap eksistensi spesies di komunitasnya maupun
spesies-spesies lainnya. Oleh karena itu, menurut penulis, Islam
memberikan pandangan yang tegas bahwa semua yang ada di bumi adalah
karunia Tuhan yang harus dipelihara agar semuanya menjadi stabil dan
lestari (hlm. 37).
Rasulullah sendiri sebagai pemimpin tertinggi
umat Islam memberikan teladan mengenai etika terhadap alam. Beliau
pernah menetapkan konsep
hima’,
yakni larangan terhadap umat Islam untuk menggarap sebidang lahan di
suatu daerah tertentu. Hima’ atau kawasan lindung itu semata-mata
ditujukan untuk menjaga ekosistem suatu daerah agar kelestarian makhluk
yang hidup di dalamnya dapat terpenuhi (hlm. 37). Di samping itu,
Rasulullah juga mencontohkan etika-etika yang harus dilakukan terhadap
satwa, seperti menyayangi mereka, tidak membakar habitat mereka, tidak
membebani mereka dengan pekerjaan-pekerjaan yang terlalu berat, tidak
menyakiti dan menyiksa mereka, dan lain-lain.
Menurut penulis,
dalam syariat Islam binatang pun harus dihormati hak-hak asasinya.
Penulis kemudian mengutip tulisan seorang ahli hukum Islam bernama ‘Izz
al-Din ‘Abd al-Salam dalam kitabnya
Qawa’id al-Ahkam
yang menetapkan hak-hak binatang sebagai salah satu unsur syariah.
Hak-hak binatang tersebut adalah: (1) Manusia harus menyediakan pakan
bagi mereka; (2) Manusia harus menyediakan makanan kepadanya, walaupun
binatang itu sudah tua atau sakit sehingga dianggap tidak menguntungkan
bagi mereka; (3) Manusia tidak boleh membebani binatang itu melebihi
kemampuannya; (4) Manusia dilarang menempatkan binatang itu bersama
dengan apapun yang dapat melukainya; (5) Jika hendak menyembelihnya,
hendaknya manusia menjagalnya dengan cara yang baik, tidak menguliti
atau mematahkan tulangnya sehingga tubuhnya menjadi dingin dan nyawanya
melayang; (6) Manusia tidak boleh membunuh anak-anaknya di depan
matanya; (7) Manusia harus memberikan kenyamanan bagi mereka, baik
tempat maupun wadah makannya; (8) Manusia harus menempatkan jantan dan
betina secara bersamaan pada musim kawin; (9) Manusia tidak boleh
membuang mereka dan menganggapnya sebagai binatang buruan; (10) Manusia
tidak boleh menembak mereka, atau membuat tulangnya patah, atau
menghancurkan tubuhnya, atau memperlakukan mereka dengan apa saja yang
membuat daging mereka tidak syah untuk dimakan (hlm. 48-49).
Semua
ini ditujukan utuk menjaga eksistensi dan kelestarian satwa-satwa
tersebut di alam. Lebih jauh, penulis mendorong intervensi
lembaga-lembaga negara, khususnya yang beratribut agama, untuk turut
memberikan fatwa mengenai pelestarian ekosistem. Misalnya dengan
mengharamkan pemeliharaan satwa yang hampir punah di luar habitatnya.
Atau dengan mengharamkan untuk menangkap, menjual, membunuh, ataupun
aktivitas-aktivitas lainnya yang mengakibatkan kepunahan hewan tersebut
di habitat aslinya.
Dalam bab yang membahas mengenai konservasi alam dalam Islam, penulis menghadirkan dua konsep, yakni
hima’ dan
ihya’ al-mawat. Hima’ adalah suatu kawasan yang secara khusus dilindungi oleh pemerintah (imam negara atau
khalifah)
atas dasar syariat guna melestarikan hidupan liar atau hutan. Termasuk
dalam pelestarian hutan ini adalah perlindungan terhadap lembah, sungai,
gunung, dan pemandangan alam lainnya di mana makhluk hidup tinggal di
dalamnya (hlm. 53). Terkait dengan hal ini, Rasulullah pernah
mencagarkan kawasan sekitar Madinah sebagai
hima’
guna melindungi lembah, padang rumput, dan tumbuhan yang ada di
dalamnya. Sunnah Rasul ini juga diikuti dan dilestarikan oleh para
Khalifah pengganti beliau, seperti Abu Bakr,’Umar ibn Khattab, dan
‘Utsman ibn ‘Affan.
Ihya’ al-mawat
(menghidupkan tanah yang mati) adalah pengolahan dan pengelolaan lahan
yang mati (tidak produktif) menjadi tanah yang produktif sehingga dapat
digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat (hlm. 58). Ini didasarkan pada
sebuah hadits Rasulullah yang mengatakan,
barang siapa yang menghidupkan dan memakmurkan sebidang tanah yang
belum dimiliki orang lain, maka dialah yang berhak atas tanah itu.
Menurut mayoritas ulama, sebagaimana dikutip oleh penulis, ketentuan
penggarapan lahan tersebut tidak berlaku untuk tanah yang telah dimiliki
oleh orang lain, atau terhadap kawasan-kawasan yang apabila digarap
akan mengganggu kemaslahatan umum (seperti lembah dan lereng yang dapat
berakibat tanah longsor).
Selanjutnya, dalam bab V yang membahas
mengenai pola konsumsi, penulis menyajikan gambaran dan penjelasan
tentang aktivitas konsumsi manusia di zaman ini, dampak yang ditimbulkan
oleh konsumsi tersebut terhadap ekosistem, dan ajaran-ajaran Islam
mengenai pola konsumsi manusia. Dalam Islam, manusia diperintahkan untuk
memakan makanan yang halal dan baik saja
(halalan thayyiban).
Perintah ini diturunkan tentu bukan tanpa alasan, melainkan dimaksudkan
untuk kebaikan dan kemaslahatan manusia. Sebab, dengan memakan makanan
yang baik maka akan berdampak kepada kesehatan manusia.
Dalam
skala yang lebih besar, pola konsumsi yang sembarangan, khususnya atas
hewan, akan berdampak negatif terhadap kelestarian alam. Perilaku
manusia yang merambah hutan secara membabi-buta, dan memburu segala
jenis hidupan liar untuk diperjual-belikan maupun dikonsumsi, akan
mengancam kelestarian satwa tersebut. Akibatnya, dalam jangka panjang
satwa-satwa itu pun akan punah. Dalam konteks inilah syariat Islam
tampil untuk menjaga kelestarian alam, khususnya satwa. Fiqh yang
merupakan perwujudan secara praktis atas syariat Islam, menjelakan
tentang binatang apa yang boleh dikonsumsi dan apa saja yang dilarang
untuk memakannya. Dengan kata lain, fiqh membatasi konsumsi hanya pada
spesies-spesies binatang tertentu (hlm. 74-75).
Belakangan
diketahui bahwa binatang-binatang yang tidak boleh dikonsumsi menurut
fiqh, kebanyakan adalah satwa-satwa yang termasuk dalam spesies kunci
(keynote species). Spesies kunci adalah flora maupun fauna yang mempunyai peran dan manfaat yang sangat besar terhadap keseimbangan ekosistem.
Keynote species
tersebut antara lain adalah karnivora pemangsa puncak, herbivora besar,
binatang penyebar biji, serangga penyerbuk, dan lain-lain. Lebih
spesifik, satwa-satwa yang termasuk dalam spesies kunci ini adalah
burung elang dan burung pemakan bangkai, binatang bertaring dan berkuku
tajam, harimau, kancil, tokek, binatang melata dan tikus, kodok, buaya
dan penyu, monyet dan kera, serta kelelawar.
Memang, para ulama
fiqh berbeda pendapat mengenai halal-haramnya sebagian binatang tersebut
(lihat tabel 2 halaman 78) dengan alasan-alasan tertentu. Akan tetapi
keputusan mereka itu dilakukan pada belasan abad yang lalu, jauh sebelum
permasalahan ekosistem terjadi. Maka, apabila mereka melihat kondisi
terkini atas satwa-satwa kita yang kian langka bahkan punah, tentu
putusannya akan lain. Karena itulah penulis berpandangan akan perlunya
pemahaman dan pertimbangan secara kontekstual-ilmiah oleh para ulama
dalam mengambil putusan hukum Islam terkait satwa-satwa tersebut.
Kemudian,
dalam bab yang membahas tentang perdagangan binatang berdasarkan
syariat, penulis dengan tegas menyatakan keharaman memperjual-belikan
satwa-satwa liar, terutama yang oleh agama Islam diharamkan. Dengan
mendasarkan pada syariat Islam, penulis menyatakan bahwa hewan yang
dagingnya haram dimakan, maka haram pula hukumnya memburunya,
menjadikannya sebagai cendera mata, memajang kulitnya, dan termasuk
memakan hasil jual-beli hewan tersebut (hlm. 99).
Sebagai
kesimpulan, penulis kembali menekankan kepada pembaca untuk kembali
kepada ajaran-ajaran Islam. Islam menyatakan bahwa segala perbuatan
kita, termasuk menjaga kelestarian alam, haruslah diniatkan sebagai
ibadah kepada Allah. Islam juga memerintahkan kepada kita untuk berbuat
kebaikan di muka bumi, serta tidak melakukan kerusakan, termasuk
kerusakan alam. Islam pun memerintahkan umatnya untuk memakan hanya
makanan yang halal dan baik. Menurut penulis, hikmah dari semua itu
adalah untuk menjaga kelestarian alam. Pada gilirannya, ini semua
ditujukan untuk kebaikan manusia juga. Kesadaran inilah yang harus
diterapkan oleh umat Islam khususnya, dan manusia pada umumnya. [*]